Mahar Politik dan Deviasi Demokrasi

Senin, 15 Januari 2018 | 07:17 WIB
0
602
Mahar Politik dan Deviasi Demokrasi

Sudah menjadi hal yang wajar dan bahkan sebuah keniscayaan, bahwa siapapun yang akan mengikuti ajang kontestasi politik, harus mengikuti prosedur pemilihan secara demokratis. Sebuah “prosedur” politik, tentu saja ada yang secara kasat mata terlihat, sebagaimana disebut dalam undang-undang, baik itu diusung oleh partai politik atau gabungannya, memenuhi kuota jumlah kursi di parlemen, atau dapat mencalonkan diri sendiri berdasarkan jumlah dukungan dari masyarakat yang telah ditetapkan (independen).

Namun demikian, ada prosedur politik yang hampir tak kasat mata, yaitu ongkos politik, atau mahar politik, atau dalam konteks deviasi demokrasinya adalah “politik uang” dengan segala macam perluasannya.

Mahar politik sudah seharusnya “off the record” bukan sesuatu yang harus diumbar ke publik, apalagi dengan menunjukkan kekecewaan, bahwa itu adalah beban politik yang paling berat bagi seorang kontestan. “Tak ada makan siang gratis” dalam politik, terlebih jika anda mengadu nasib dalam suatu kontestasi.

Dalam sebuah iklim demokratis, bentuk deviasi politik, seperti keharusan memberikan mahar, black campaign, atau politik uang, khusus di saat menjelang berlangsungnya sebuah kontestasi, sulit untuk dihindarkan. Bahkan di negara-negara berkembang dan negara maju sekalipun, deviasi demokrasi ini selalu saja menjadi persoalan yang tak terelekkan.

Demokrasi hanya mampu mengatur pada aras “prosedural” politik, namun gagal dalam mengelola “substansial” sistem yang dianggap paling baik dalam membangun konsep negara-bangsa ini.

Sejak era reformasi digulirkan di Indonesia, katup-katup kebebasan berpolitik secara perlahan terbuka, sehingga harapan akan sebuah negeri demokrasi yang lebih adil—secara politik—tampak terlihat di depan mata. Parpol bermunculan bak jamur di musim hujan, tak ketinggalan, banyak aktor-aktor politik turun gunung dan berkongsi dengan para pengusaha ikut terlibat dalam euforia demokrasi. Mereka kemudian saling bekerjasama, membangun sistem kepolitikan yang bersifat “komersial”.

Dunia politik tak ubahnya seperti jualan komoditas, di mana setiap produk politiknya dijajakan dan ditawarkan kepada masyarakat. Keberadaan “marketing politik” pada akhirnya menjadi sangat penting, di mana seluruh sumber biaya dibebankan kepada siapa saja yang hendak menjadi kontestan politik.

Istilah “mahar politik” mungkin saja pada awalnya merupakan biaya-biaya yang harus ditanggung para kontestan, terutama selama masa kampanye politik. Bagaimana tidak, ketika dunia politik sudah menjadi ajang “pasar politik” maka seluruh transaksi jual-beli sudah pasti terjadi. Para pengusaha jelas melakukan persekongkolan dengan politisi guna menyokong seluruh aktivitas kampanye politiknya.

[irp posts="8242" name="Sulit Dipercaya Kalau Prabowo Subianto Lagi Bokek"]

Semakin berpeluang dalam iklim pasar politik, semakin tak terhitung jumlah biaya yang harus dikeluarkan kontestan untuk mendongkrak “produk” politiknya. Nilai mahar politik tentu saja bervariasi, tergantung besar-kecilnya wilayah yang secara “potensial” dapat dikuasai. Untuk dapat menjadi bupati, pasti maharnya relatif sedikit dibanding harus menjadi kontestan di tingkat provinsi, menjadi seorang gubernur, lebih-lebih menjadi presiden!

Komersialisasi dunia politik akibat tekanan globalisasi dan kecenderungan ke arah sistem demokrasi, pada akhirnya banyak melahirkan penyimpangan (deviasi). Alih-alih membuat sistem lebih adil dan transparan, para aktor sosial seringkali lebih pragmatis, mencari keuntungan-keuntungan secara ekonomis melalui jalur-jalur politik.

Politik yang semestinya terkait erat dengan nilai dan ideologi, malah jatuh terpuruk, tak lagi mempersoalkan nilai apalagi ideologi. Selama dapat memperoleh keuntungan bagi dirinya, kelompoknya, afiliasi politiknya, maka tak jadi soal jika nilai luhur politik dan ideologi pada akhirnya dikorbankan.

[caption id="attachment_8196" align="alignleft" width="480"] Prabowo Subianto dan La Nyalla Mattalitti (Foto: Suratkabar.id)[/caption]

Yang dipersoalkan oleh La Nyalla Matalliti ketika gagal nyagub di Jatim, bukan soal ideologi atau nilai-nilai politiknya yang dipertentangkan, tetapi soal uang yang sudah dikeluarkan, tetapi menguap begitu saja menjadi ongkos politik yang terbuang sia-sia. Nilai uang yang tidak sedikit, tentu saja sangat memperlihatkan betapa komersialnya dunia politik kita, yang sulit dihindarkan menjadi ajang praktik politik “dagang sapi”: siapa yang kuat modal dan mampu bayar mahal, dialah menjadi pemenangnya.

Tak jauh berbeda, ketika kemudian tiba-tiba muncul seorang kontestan di daerah, hanya gara-gara soal “kurangnya” mahar politik, lalu menggugat parpol lainnya ke pengadilan. Ternyata demokrasi sekadar “prosedural” dalam kepolitikan, tapi telah banyak melanggar nilai-nilai “substansial” dalam kebaikan politik itu sendiri.

Hampir tak ada dalam sebuah sistem demokrasi di negara manapun—termasuk sistem monarki—yang tak ada mahar politik. Seluruh proses politik harus dijalankan dengan uang, bukan popularitas apalagi kekharismatikan seseorang. Itulah kenapa, para politisi termasuk pemerintah ngotot menaikkan dana parpol hingga sepuluh kali lipat, mengingat semakin tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan seorang kontestan yang didukung oleh parpol.

Lalu, bagaimana seharusnya cara menekan serendah mungkin biaya-biaya politik, termasuk menghilangkan mahar politik?

[irp posts="8234" name="“Bau Tak Sedap” dalam Pilkada Jatim 2018"]

Tidak ada cara lain, kecuali meningkatkan kesadaran politik kepada masyarakat, melalui pendidikan politik yang baik, di mana politik tidak melulu mengejar “kekuasaan”, tetapi juga bagaimana memperteguh  nilai-nilai dan ideologi yang harus diperjuangkan demi kemanusiaan.

Sejauh ini, persaingan dalam hal politik tak ubahnya seperti persaingan dalam dunia usaha, penuh intrik dan hampir berjalan tanpa etika. Dunia kaum elit sangat sulit terjamah oleh rakyat biasa, walaupun kontrol masyarakat secara umum, mampu menguak sedikit persekongkolan-persekongkolan kaum elitis. Dunia kaum elit tetap saja menjadi “rahasia” yang hanya diketahui secara pasti oleh mereka sendiri dan mungkin sebagian para penguasa.

Apa yang kita ketahui soal politik dan praktik-praktik para elitnya, hanyalah sisi terluarnya, tak pernah tahu lebih jauh soal apa yang terjadi senyatanya. Deviasi demokrasi seringkali terjadi, bahkan jatuh dalam berbagai praktik oligarki.

Tak ada lagi loyalitas dalam hal politik, yang ada soal bagaimana mencari mitra-mitra yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka sendiri. Semuanya diukur berdasarkan keuntungan pasar, mana yang menguntungkan, itulah yang akan diusung, diperjual-belikan sebagai produk politik. Deviasi demokrasi sulit dihindari, akibat praktik etis politik tak ada lagi.

***

Editor: Pepih Nugraha