Ketelanjangan Prabowo Dipandang dari Kultur Jawa

Senin, 15 Januari 2018 | 10:15 WIB
0
709
Ketelanjangan Prabowo Dipandang dari Kultur Jawa

Tulisan saya ini bukan pertama kalinya secara sadar saya membela Prabowo Subianto (PS). Apalagi yang dihadapinya adalah seorang oportunis kelas dewa semacam La Nyalla Matalitti (LNM) yang didukung oleh eksponen Alumni 212 seperti Al Khattah itu, lepas dari kemunafikan publik yang se-olah-olah kaget menganggap Prabowo memalak LNM.

Saya memahami kasus ini terutama dari kacamata kultur Jawa: siapa yang suka "tumbak cucukan" dialah manusia yang paling pantas dicurigai dan patut disingkirkan. Tumbak cucukan dalam bahasa Indonesianya adalah "seorang pengadu", pengeluh yang ujungnya adalah pengadu domba. Ia akan selalu memposisikan diri, bergaya playing victims seolah-olah dia adalah seorang korban yang innocent. Ia tahu banyak, tapi berpura-pura dikadali dan perlu dikasihani.

Orang seperti ini, dalam masyarakat desa kuno dianggap berbahaya karena dianggap mengganggu harmoni dalam masyarakat. Dari kultur seperti inilah lahir istilah "ngono ya ngono, ning ya aja ngono". Begitu ya begitu, tapi ya jangan begitu!

Singkat kata: figur seperti ini "ilang drajade, rusak rupane". Hilang kehormatannya, rusak wajahnya. Dan dari sudut inilah perbandingan PS dan LNM.

Kita semua tahu LNM adalah "preman" senyatanya dalam dunia politik di Jawa Timur. Ia hidup laksana bermain boom-boom car dalam mengendarai mobil, selap selip, tikung sana sini, tabrak sana-sini. Hanya saja, yang tidak ia sadari geraknya hanya di ruang sempit yang terbatas. Ruang di mana ia berani ngomong apa saja, berlaku apa saja semau-mau dia. Tapi mau keluar dikit, naik sedikit: habis!

Coba lihat, tatkala ia sesaat berhasil menguasai PSSI melalui Kongres di Surabaya. Saat itu pula, ia langsung sukses dipatahkan, bahkan dipidanakan. Karena itulah, wajar saja ketika ia berambisi menjadi Gubernur Jawa Timur tembok baja itu sudah menghadang saat pertama ia mengajukan diri. Dan kalaupun, PS benar menuntut ia memberikan mahar itu adalah pre-test dasar untuk menguji kesungguhannya.

[irp posts="8246" name="Mahar Politik dan Deviasi Demokrasi"]

Surat PS yang beredar di area publik, sudah sangat jelas menjabarkan syaratnya. Mau ambil, tidak mampu tinggalkan. Dan belakangan LNM ngomong besar jangankan 40M, bahkan 300M pun akan disediakan jika ia diberi rekomendasi. Tentu saja PS tak sebodoh yang diharapkan LNM. Yang belakangan menyadari bahwa ia bahkan tidak mungkin mencalonkan figur dari partainya sendiri, mengingat realitas politik di Jawa Timur sama sekali berbeda dengan di DKI Jakarta.

Hal ini hanya membuktikan sekali lagi, bahwa Jakarta itu sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan Indonesia. Sebagai mana mitos bodoh yang selalu dibangun oleh media, pengamat atau politikus Jakarta itu. Bahkan Jakarta itu tak lebih imperialis baru yang menjadi penjajah bagi cara berpikir orang-orang yang berada di luar radar mereka. Dalam konteks seperti inilah, sangat bisa dipahami bagaimana Khofifah yang sudah jadi menteri, rela "mundur dan turun" hanya sekedar untuk jabatan gubernur.

[caption id="attachment_8297" align="alignleft" width="468"] Prabowo dam La Nyalla Mattalitti[/caption]

Pesan lain dari kasus ini adalah apa yang disebut Alumni 212, FPI, atau apapun yang terafiliasi di dalamnya itu. Jualan berita dan derita yang mereka asong itu, hanya laku diperdagangkan di Jakarta. Kawasan yang sebenarnya absurd dalam pergaulan sosial dan berselera rendah dalam berpolitik populis. Kewarasan adalah barang langka dalam hirup pikuk kemacetan Jakarta.

Karena itu permintaan adanya "jalur khusus" bagi figur yang mereka dukung, laksana permintaan anak kecil yang minta kiriman uang dari pesawat yang melintas di atasnya. Persis lagu anak Jawa: montor mabur njaluk duite! Kekanak-kanakan dan memang mereka cuma anak2 ingusan yang baru belajar berpolitik.

Kasus di atas memberikan pesan bahwa PS tetaplah tokoh yang menyisakan kewarasan dan nasionalisme dalam peta politik Indonesia. Bagi saya ia terlalu rasional malahan. Apa yang saya sebut ia terlalu telanjang!

[irp posts="8242" name="Sulit Dipercaya Kalau Prabowo Subianto Lagi Bokek"]

Ia memahami betul betapa sulitnya mencari figur yang tepat untuk didorong sebagai pemimpin di tingkat lokal apalagi nasional. Dan ia merasakannya betul di Jawa Timur, ketika ia akhirnya bersikap cair dan fair bersedia bergabung dengan PDI-P dan PKB, seraya menyeret-nyeret PKS.

Sekali lagi ini menunjukkan betapa longgar dan pragmatisnya peta politik di Indonesia kontemporer. Ini juga pesan buat teman-teman yang sedemikian parno (bila kurang jelas paranoid), takut Jokowi gak bisa Dua Kali.

Aih, aih....yang kalian pantas khawatirkan itu nanti Jokowi bermusuhan dengan (baca: melawan) kotak kosong.

Dan itu yang akan terjadi!

 

***