Apakah Kebencian Bisa Malmingan?

Minggu, 14 Januari 2018 | 07:17 WIB
0
157
Apakah Kebencian Bisa Malmingan?

Bisa jadi tidak. Karena kebencian bukan anak kemarin sore. Ia telah ada bahkan sebelum Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. Sekiranya langit di bawah bumi, mungkin istilahnya Adam dan Hawa dinaikkan ke bumi.

Ini tentang apa? Tentang cinta setengah mati! Dan jika setengah mati sekiranya sama dengan setengah hidup, artinya hidup sama dengan mati bukan?

Terserah-serah situ saja. Di Indonesia ini, apa yang tak bisa diperdebatkan dan pertentangkan? Bukankah berdebat dan bertentang itu fitrah? Agar lebih beradab? Demokratis? Berkebudayaan?

Namun buat apa jika hanya debat demi debat? Hanya untuk memastikan dirinya eksis? Sukur bage memenangkan perdebatan dan ngehit?

[irp posts="7883" name="Rocky Gerung: Ada Infeksi dalam Demokrasi Kita"]

Indonesia tak kurang-kurang. Setelah Fahri Hamzah surut, bersamaan kendornya drama Setnov dalam kasus e-KTP, kini muncul Rocky Gerung. Dia terlihat lebih intelektual, pilihan diksinya sedikit lebih bagus ketimbang Fahri. Lebih nyastra dan milsafat, meski kontennya berhenti pada kemewahan debat saja. Nggak penting banget untuk seluruh rakyat Indonesia yang hidup berdarah-darah.

Sayang banget momentum untuk mengubur masa lalu nan kelam, tak disambut sebaik-baiknya oleh generasi baru Indonesia kini. Utamanya generasi transisi, yang pernah merasakan era Soeharto berkuasa, dan kini dalam usia mateng antara 40-60. Generasi transisi ini malah lagi asyik nyari panggung ke sana kemari.

Pantesan Prabowo masih punya pendukung para terpelajar formal, kelas menengah atas kita, yang tentu nggak bisa nerima Jokowi jadi presiden. Ndesit banget sih, nggak kayak idaman Panji Pragiwaksono. Persis ibu-ibu dulu merindukan sosok perkasa bernama Susilo Bambang Yudhoyono.

Generasi itu, dari kalangan itu-itu juga, masih mantab jiwa dengan comofortable zone mereka. Jika bukan karena Jokowi, siapa coba bisa mempersatukan yang dulu berseberangan kini bergandengan? Jokowi secara berbarengan dituding antek kapitalis asing tapi juga antek komunis aseng.

Makanya tak heran Amien Rais nyempatin ke Arab Saudi, nemui sohib barunya yang jadi DPO Kepolisian RI di Arab Saudi. Buya Syafii senyam-senyum saja, ketika saya tanyakan hal itu. No comment, karena sohib.

Tapi, apa sesungguhnya yang dibenci pada Indonesia kini? Mengapa masih saja terdengar suara tak menghargai keputusan majoritas rakyat, yang menyebabkan Jokowi presiden, dan Prabowo tidak, pada 2014 kemarin? Karena kita tak punya tradisi demokrasi untuk kalah. Demokrasi baru diakui kalau mereka yang menang.

Ingin bertanya pada Bung Karno, betulkah gotong-royong sesuatu yang khas Indonesia? Sayangnya, Bung Karno lagi malmingan. Nggak boleh diganggu. Saya curiga dia lagi ngedate, dengan gacoan baru lagi. Apalagi di malam minggu yang hujan. Dan kebencian tak bisa malmingan, sibuk cari apalagi yang mau kita perdebatkan.

Ingat dulu bagaimana Prabowo pidato menolak hasil Pilpres 2014. Kini, malah ribut dengan La Nyala Mattalitti. Padahal, kalau ra nyala mati listrik, ya laporke mbek PLN tah? Karena tiang listriknya ditabrak Setnov? Trus sekarang Fredrich Yunandi yang ditahan KPK?

Lelakon kok absurd. Kapan giliran Fahri Hamzah?

Metmalming with love!

***

Editor: Pepih Nugraha