Saya, Antara Islam, Indonesia, dan Arab

Sabtu, 13 Januari 2018 | 19:00 WIB
0
451
Saya, Antara Islam, Indonesia, dan Arab

Saya muslim, warga negara Indonesia asli, ras melayu mongoloid, bukan orang Arab atau keturunan Arab, tak perlu menjadi orang Arab, dan tak kan pernah menjadi orang beretnis Arab.

Tetapi karena muslim, setidaknya 5 kali dalam sehari saya merapalkan bacaan-bacaan berbahasa Arab dalam gerakan yang teratur. Dalam bahasa Arab, disebut sholat.

Saya menghafal bacaan-bacaan itu sekaligus mempelajari artinya agar saat mengucapkan sebuah kalimat, saya paham maknanya. Dan saya tidak akan pernah mengganti bacaan sholat itu dengan bahasa Indonesia.

Saya juga sedang menghafalkan kitab tebal berbahasa Arab serta memahami makna dan tafsirnya. Kitab itu disebut Al-Quran. Tak ada buku dalam bahasa Indonesia setebal Al-Quran yang saya hafal. Saya sediakan waktu setiap hari untuk membaca kitab itu.

Bila berkesempatan, pada waktu-waktu tertentu saya akan mengeraskan suara menghimbau orang banyak dalam bahasa Arab. Atau yang disebut dengan adzan. Bertujuan mengajak orang sholat. Saya tak kan mengganti seruan itu dengan bahasa Indonesia.

[irp posts="8054" name="Tren Islam: Antara Kelompok dan Umat"]

Memulai segala aktivitas, saya mengawalinya dengan kalimat berbahasa Arab. Kemudian saya rapalkan juga kalimat lain sebagai doa - juga berbahasa Arab. Hendak makan, tidur, masuk kamar mandi, naik kendaraan, saya lafalkan bacaan berbahasa Arab. Menyudahi segala aktivitas pun saya ucapkan juga kalimat berbahasa Arab.

Bila menyapa rekan sesama muslim, saya ucapkan salam berbahasa Arab yang mengandung doa.

Ada satu sosok yang sangat saya cintai, melebihi cinta kepada diri sendiri. Sosok itu dari etnis Arab. Ia bernama Muhammad SAW. Saya meneladani prilakunya, mencontoh bagaimana ia bergaul dengan manusia, bahkan hingga bagaimana ia masuk ke dalam jamban.

Termasuk cara berpakaian. Sebagaimana pecinta musik Jepang, Korea, musisi Barat dll mencontoh cara berpakaian idola-idola mereka dan budayanya. Atau sebagaimana pecinta sepakbola gandrung dengan jersey klub bola kesayangannya. Atau pecinta anime yang punya istilah cosplay. Apa salahnya saya mengenakan pakaian yang mirip dengan Muhammad saw pernah pakai? Tentu saja itu pakaian khas orang Arab.

Tetapi dengan pakaian itu, saya tak merasa paling baik lalu merendahkan orang lain. Sekedar ekspresi cinta yang diniatkan ibadah, sesekali saya kenakan pakaian model itu.

Tak ada manusia lain walaupun dari bangsa sendiri yang begitu saya cintai dan teladani lebih dari orang Arab itu, beserta keluarganya. Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala ali sayyidina Muhammad.

Dan saya pun mencintai sahabat-sahabatnya yang juga beretnis Arab. Saya mempelajari bagaimana sejarah kehidupan mereka dan meneladani hal yang baik yang terjadi di zaman itu.

Ada orang-orang besar, atau pahlawan, dari bangsa Indonesia yang saya kagumi. Tapi dalam kadar kekaguman yang tak melampaui orang-orang Arab sahabat Muhammad saw.

Saya pun mencintai garis keturunan Muhammad SAW, yang notabene adalah orang-orang Arab.

Saya orang Indonesia yang terpukau dengan keindahan alam Nusantara yang terbentang dari Sabang hingga Marauke. Tetapi kepuasan tertinggi saya bila telah sampai mengunjungi jazirah Arab, khususnya di kota Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji.

Minimal 5 kali sehari saya hadapkan badan ke kota itu untuk mengerjakan ritual sholat. Karena di tengah kota ada bangunan Kakbah yang menjadi kiblat, pusat orang-orang di seluruh dunia menghadapkan tubuhnya ketika sholat.

Saya orang Indonesia. Beragama Islam. Saya dambakan ketika di akhir hayat, kalimat terakhir yang saya ucapkan dalam bahasa Arab. Yaitu dua kalimat syahadat. Semoga Allah permudah. Amin.

Saya orang Indonesia. Muslim. Berinteraksi begitu banyak dengan hal berbau Arab. Meski tak perlu menjadi orang Arab. Interaksi tersebab konsekuensi keimanan.

***

Editor: Pepih Nugraha