Gagalnya Islam Politik Dan Kekecewaan Gerakan 212

Jumat, 12 Januari 2018 | 21:04 WIB
0
436
Gagalnya Islam Politik Dan Kekecewaan Gerakan 212

Kelompok yang menginisiasikan dirinya dengan atribusi 212, belakangan tampak semakin terpecah-pecah, ada yang konsisten di gerakan politik, dan ada yang kembali ke jalur sebelumnya, lebur ke dalam gerakan-gerakan sosial-keagamaan.

Mereka yang masuk dalam wadah “alumni” tampaknya keukeuh memperjuangkan aspirasi politik mereka melalui jalur-jalur parpol resmi atau dengan mengusung beberapa kandidat pilihan mereka agar dapat terakomodasi dalam ajang kontestasi politik.

Bagi mereka yang tidak mengidentifikasikan dirinya dengan “alumni”, cenderung melebur dengan ormas-ormas keagamaan yang ada dan tak terlalu merisaukan soal kekuasaan politik. Gerakan yang sempat menguat dua tahun belakangan ini, sulit untuk tidak dikatakan, memang berasal dari beberapa ormas Islam yang ada di Indonesia.

Kegagalan Islam politik yang dibawa oleh gerakan ini, lebih disebabkan ketidaksepahaman para tokoh penggerak internalnya. Tak ada kesamaan ideologi politik—terutama dalam hal formalisasi dan substansi kepolitikan Islam—semakin membuat gerakan ini tampak berantakan.

[irp posts="4933" name="Sayang, Rizieq Tak Pulang dan Batal Hadiri Reuni 212"]

Salah satu tokoh penggeraknya, Habib Rizieq Shihab, bahkan tampak nyaman dengan pengasingannya selama ini di Tanah Suci. Keberadaannya di Mekkah, tidak saja membuat gerakan-gerakan “Islam politik” tak jelas arah, bahkan dalam banyak hal, tampak terpecah-belah.

Saya kira, kelompok yang menginisiasi atribusi 212, merupakan mereka yang concern untuk menggagas formalisme Islam dalam segala hal, termasuk kekuasaan politik. Hal ini tampak jelas, dari ungkapan kekecewaannya terhadap beberapa parpol yang diharapkan dapat mendukungnya secara “formal”, malah tak mampu mengakomodasi kecenderungan politik mereka.

[caption id="attachment_8101" align="alignright" width="532"] Bachtiar Nasir (Foto: Kompas.com)[/caption]

Tokoh utama lainnya dalam gerakan 212 ini, Bahtiar Nasir, semakin kehilangan pendukung, terlihat dari beberapa kali safari dakwahnya yang seringkali mendapatkan penolakan umat muslim. Kecenderungannya yang kuat terhadap formalisme Islam justru semakin menjauhkan dirinya dari ormas Muhammadiyah, tempat selama ini dirinya bernaung.

Popularitas Bahtiar, tentu saja merupakan bagian dari intrik politik dirinya agar mendapatkan suara warga Muhammadiyah dan mendapat simpati untuk dapat menduduki posisi strategis di ormas Islam terbesar ini. Saya kira, Muhammadiyah sebagai ormas Islam moderat, juga tak akan memberi tempat bagi gerakan-gerakan “formalisme” Islam, karena bagaimanapun, gerakan seperti ini dikhawatirkan akan mengganggu keutuhan sebuah ideologi negara.

Sepanjang pengetahuan saya, atribusi 212 yang kemudian diwadahi dalam bentuk gerakan alumninya, saat ini lebih kental nuansa formalisme Islam politik, tidak berada dalam ruang lingkup gerakan “kultural”. Itulah kenapa, beberapa aktor penggeraknya, sepertinya selalu “memaksakan diri” agar dapat terakomodasi dalam ruang-ruang formal politik kekuasaan.

Bukan tidak mungkin, bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan juga mendapat sokongan dari beragam partai politik, yang tentu saja memiliki kesamaan “ideologi politik” dengan mereka. Bagi saya, formalisme Islam—termasuk dalam hal politik—akan sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat muslim, karena Islam Indonesia sejauh ini terbentuk oleh beragam realitas kutlural.

Bukan sebuah kebetulan, bahwa Habib Rizieq yang selama ini dianggap sebagai motor penggerak beragam aksi umat muslim, nampaknya juga lebih cenderung memperteguh “politik Islam” ketimbang “Islam politik”. Politik Islam yang dimaksud tentunya saja lebih berwajah kultural dan menjauhi praktik-praktik ke arah “formalisme” Islam yang bersifat politik.

Hal ini senada dengan ungkapan Rizieq Shihab ketika acara peringatan setahun Aksi Bela Islam di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Melalui rekamannya, Rizieq menyatakan, agar umat muslim berjuang secara konstitusional dengan berpolitik, namun tak harus menjadi kader salah satu partai politik.

Terdapat perbedaan yang cukup banyak di antara para aktor yang menggagas aksi-aksi umat muslim di Jakarta, sehingga berdampak langsung pada perbedaan pola gerakan yang pada akhirnya diwujudkan. Kekuatan politik yang tergabung dalam wadah alumni-pun tampaknya tak seluruhnya diamini oleh Habib Rizieq, sehingga tampak jelas menunjukkan pola gerakan yang sangat jauh berbeda.

Tokoh kunci gerakan alumni yang diperjuangkan oleh salah satu aktor politiknya, Muhammad Al-Khatthath, lebih cenderung memperjuangkan “Islam politik”: menggalang dukungan terhadap formalisme Islam dengan membuat “deal-deal” politik dengan beberapa parpol. Tentu saja secara tidak langsung, gerakan formalisme Islam yang sedang disuarakan, mendapat sokongan penuh secara formal dari beberapa parpol yang dianggap memiliki kedekatan ideologi politik dengan mereka.

Namun demikian, kegagalan Islam politik di Indonesia lebih banyak karena berbenturan langsung dengan kecenderungan gerakan kultural, karena kebanyakan umat muslim merasa yakin, Indonesia sejauh ini sudah benar-benar terwujud secara “Islami” melalui gerakan kultural politik. Sulit untuk tidak menyebutkan, beberapa istilah politik yang diakomodasi dalam sistem kenegaraan jelas berasal dari bahasa politik Islam.

Ra’iyyah” (yang dipimpin) dalam bahasa Arab telah diadopsi dalam kultur politik Indonesia menjadi “rakyat” yang memiliki konotasi sama. Apalagi kalimat itu digabung, “Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah keseluruhannya berasal dari budaya Islam, karena ketiga kata ini jelas berasal dari bahasa Arab. Islam kultural, akan lebih diterima sebagai bagian dari “politik Islam” tanpa perlu melakukan wujud formalisasi keagamaan tersendiri.

Saya kira, tidak hanya di Indonesia, di mana gerakan-gerakan Islam politik ini menuai kegagalan, di beberapa negara di Timur Tengah juga nampak terkesan hancur berantakan.

[irp posts="5030" name="NU Tolak Rizieq Shihab sebagai Imam Umat Islam Indonesia"]

Hal inilah saya kira, yang membuat Habib Rizieq Shihab tampak menarik diri secara perlahan, dari berbagai gerakan “formalisme” Islam politik yang belakangan cenderung menginginkan kekuasaan. Dengan “pengasingannya” selama ini, tidak saja membuat kultur politik di Indonesia lebih kondusif, tetapi pada akhirnya memperlihatkan secara lebih tegas, mana “Islam politik” dan mana “politik Islam”.

Gagalnya Islam politik, tentu saja tampak terlihat dari kekecewaan gerakan alumni 212 yang hampir seluruh rekomendasinya dalam hal pilihan kandidat politiknya, tak satupun terakomodasi dalam parpol yang selama ini diharapkan mendukungnya.

Kekecewaan ini, tentu saja akan berdampak luas, tidak saja pada gerakan alumni yang sejauh ini memperjuangkan formalisme Islam politik, tetapi justru pada sebagian yang memiliki kecenderungan kultural dalam memperjuangkan politik Islam.

Pada akhirnya, mereka yang tergabung dalam atribusi 212 akan semakin terpecah dan semakin sulit dipersatukan, mengingat para aktor penggeraknya-pun seakan selalu berbeda pandangan dalam hal aksi dan perjuangan politik kekuasaan.

Saya bahkan semakin melihat adanya suasana yang lebih tenang dan damai selama Habib Rizieq Shihab menjauh dari hingar-bingar kepolitikan tanah air. Terakhir, media menampilkan beberapa foto Habib yang tampak sumringah bersama keluarganya ketika mendapat undangan silaturahim ke Turki.

***