Pilkada Tiga Provinsi di Pulau Jawa: Pragmatis, Intrik, dan Drama

Kamis, 11 Januari 2018 | 13:04 WIB
0
472
Pilkada Tiga Provinsi di Pulau Jawa: Pragmatis, Intrik, dan Drama

Politik itu adalah perang tanpa pertumpahan darah. Sebaliknya, perang itu adalah politik dengan pertumpahan darah. Demikian ujar-ujar Mao Tse Tung, Bapak Bangsa Republik Rakyat China (RRC).

Mencermati Pilkada 3 Provinsi di Pulau Jawa tidak ubahnya menyajikan sebuah sinetron yang penuh dengan intrik dan drama. Namun, ujung-ujungnya tetap saja pragmatis. Begitulah dunia (politik) Indonesia, ceritanya mudah berubah dan jadi panggung sandiwara!

Mari lihat apa yang terjadi pada proses menuju penetapan bakal pasangan calon di Pilkada Jawa Barat sebagai lembar pertamanya. Drama “sandera-menyandera” yang dialami Ridwan Kamil alias Kang Emil, Walikota Bandung, dalam menentukan pasangannya menjadi catatan tersendiri bagi Partai Golkar hingga berakhir pada pencabutan dukungan.

Tidak hanya Golkar, parpol-parpol lainnya juga sempat mengancam hengkang dari pemberian rekomendasi kepada Kang Emil. PPP dan PKB terutama, berebutan mendudukkan kadernya sebagai bacawagub. Hingga akhirnya Kang Emil memilih berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum, Bupati Tasikmalaya yang diusung oleh PPP.

Drama Pilkada Jabar tidak hanya menerpa Kang Emil. Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Jabar sekarang, tidak luput dari permasalahan serupa. Dukungan dari Partai Gerindra kepadanya dan berpasangan dengan Ahmad Syaikhu dari PKS telah dicabut dari awal.

Sempat dilirik oleh banyak parpol, akhirnya Demiz, sapaan akrab “Jenderal Naga Bonar” ini, melabuhkan pilihan melalui Partai Demokrat dan (lagi-lagi) berharap berpasangan dengan Ahmad Syaikhu. Namun, harapan Demiz tidaklah seindah kenyataannya.

Konon, tersinggung dengan poin-poin pada Pakta Integritas Demiz dengan Demokrat, PKS mencabut dukungan dan mengalihkannya kepada Gerindra dengan menggandengkan Syaikhu sebagai bacawagub bagi Mayjen (Purn.) Sudrajat. Demiz pun menjomblo.

Nasib baik dan keberuntungan tampaknya masih menaungi Demiz. Tak dinyana dan tak diduga datanglah Golkar mengajaknya berkoalisi. Dedi Mulyadi, Ketua DPD Golkar Jawa Barat pun diajukan sebagai pasangan calon bagi Demiz.

Soal siapa yang menjadi bacagub dan bacawagub silakan mereka rundingkan sendiri. Hingga akhirnya terwujudlah Koalisi 2 DM: Deddy Mizwar sebagai bacagub dan Dedi Mulyadi, yang masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta sebagai bacawagubnya.

[irp posts="7865" name="Pilkada Jatim di “Injury Time”, Titik Terang Terungkapnya Pendongkel Azwar"]

Sementara Sudrajat dan Syaikhu (SS) mendapatkan tambahan gerbong dari PAN; Kang Emil dan Uu juga dapat membuat parpol-parpol pengusung dan pendukungnya (PPP, PKB, Hanura, dan Nasdem) semakin solid; 2 DM aman dan nyaman dengan koalisi Demokrat-Golkar, dan PDIP pun menjadi bertambah galau.

Sempat muncul wacana untuk memperkuat Kang Emil, yang ketika itu belum memunculkan bacawagubnya, namun PDIP akhirnya memilih mengusung jago sendiri. TB Hasanuddin dan Anton Charliyan pun diajukan.

Sebuah perpaduan berlatar TNI dan Polri ini diharapkan bisa mencuri suara yang signifikan di tengah ramainya prediksi Pilkada Jabar “hanya” akan menjadi “pertempuran” pasangan calon Kang Emil – Uu dengan 2 DM.

Lepas dari Pilkada di Jabar, pertarungan agak tidak berimbang terjadi di Pilkada Jawa Tengah. Petahana Ganjar Pranowo kembali dipilih PDIP untuk mempertahankan hegemoni parpol ini di “kandangnya”. Dengan cerdik PDIP menggandengkan Ganjar berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen Zubair dari PPP, putra ulama kharismatis Maimoen Zubair.

Pasangan “kelas berat” ini akan mendapatkan persaingan tangguh dari jago "Trio Kwek-kwek" (Gerindra, PAN dan PKS): Sudirman Said (SS). Dengan cerdik pula mereka mampu “memecah koalisi sehati”: PDIP-PKB.

Maka, diambillah Ida Fauziah sebagai bacawagub dari PKB mendampingi SS sebagai bukti nyatanya. Meski harus berpeluh-keringat melawan petahana yang diusung oleh PDIP, PPP, Demokrat, Golkar, Hanura, dan Nasdem, SS dan Ida Fauziah mengaku tidak gentar.

Adu cerdik di Pilkada Jateng akan menjadi drama dan intrik tersendiri, mengingat banyak tokoh nasional ikut terjun dalam “pertempuran” ini. Bagi PDIP, menang di Jateng akan menunjukkan bahwa Provinsi ini benar-benar menjadi basis mereka; sementara bagi Gerindra cs menang di sini berarti mengukir sejarah. Ibaratnya, pertempuran Daud vs Jalut atau David vs Goliath!

Kuras energi dan pikiran

Tanpa mengesampingkan Pilkada di dua Provinsi lainnya, Pilkada Jawa Timur bisa dikatakan sebagai Pilkada yang paling melelahkan. Banyak drama dan intrik tersaji hingga mendekati masa-masa injury time.

Bahkan, menurut Shohibul Iman, Presiden PKS, “Pilkada Jabar adalah Pilkada yang menguras perasaan, dan Pilkada Jatim adalah Pilkada yang menguras pikiran,” ujarnyua seperti dikutip Tempo.co.

Apa yang disampaikan Presiden PKS itu memang benar adanya. Sedari awal tingkat kegaduhan penentuan bakal pasangan calon untuk Pilkada Jatim memang terhitung tinggi. Hanya Pilkada Sumatera Utara saja yang hampir menyamai kegaduhannya, karena berlangsung hingga last minute masa pendaftaran bakal pasangan calon.

Dimulai dari drama outsourcing. Drama yang bermula ketika Emil Elistianto Dardak diusung mendampingi Khofifah Indar Parawansa dan mendapatkan rekomendasi dari Demokrat-Golkar dalam satu waktu yang mengakibatkan PDIP tersinggung.

Sebab, Emil yang menjabat sebagai Bupati Trenggalek itu adalah kader PDIP dan sempat masuk bursa bacawagub bagi Saifullah Yusuf alias Gus Ipul. Tapi, PDIP lebih memilih Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi yang juga kader PDIP sendiri.

[irp posts="4811" name="Stigma Baru Yang Disematkan kepada SBY; Politik Outsourcing!"]

Drama outsourcing ini bahkan sempat menimbulkan ketegangan antara para pengurus DPP PDIP dengan Demokrat. Adu argumen antara Sekjen PDIP dan Ketua Umum Demokrat, bahkan Ketua Harian Demokrat sempat mewarnai pemberitaan nasional.

Belum lagi drama evaluasi ulang pasangan bakal calon ini pasca Setya Novanto dilengserkannya dari Ketua Umum DPP Golkar dan digantikan Airlangga Hartarto. “Pembelotan” Emil Dardak ini juga membuat rakyat Kabupaten Trenggalek dan kawasan Mataraman ikut tersinggung.

Bagi mereka Emil Dardak adalah pengkhianat dan ingin melarikan diri dari tanggung jawabnya memimpin Trenggalek yang baru dijalaninya sejak dilantik pada 2015 silam. Dan kemungkinan, pasangan bakal calon ini harus berpeluh-keringat untuk mendapatkan suara di kawasan ini.

Drama yang tidak kalah menghebohkan berikutnya adalah mundurnya Azwar Anas sebagai bacawagub bagi Gus Ipul setelah “digoyang” foto syur. Siapa dalang di balik masalah ini hingga kini belumlah terungkap. Begitu pula dengan bagaimana tindak lanjut dari kasus ini: dibawa ke ranah hukum atau tidak, juga tidak jelas.

Drama ini semakin menghebohkan ketika Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, menolak untuk menggantikan Azwar Anas. Padahal, Risma, panggilan akrabnya, merupakan calon kuat dan dianggap pantas menjadi bacawagub mendampingi Gus Ipul.

Hingga akhirnya PDIP melabuhkan pilihan kepada Puti Guntur Sukarnoputra untuk menjadi bacawagub. Drama lain yang tersaji adalah retaknya kongsi Trio Kwek-kwek yang sepertinya “sehidup semati”.

Berawal dari rencana memajukan La Nyalla Mahmud Mattaliti sebagai bacagub Gerindra dengan berbekal surat tugas; menduetkan La Nyalla dengan Anang Hermansyah, selebriti dan kader PAN asal Kabupaten Jember.

Kemudian, menduetkan mantan pembalap Moreno Soeprapto dengan Suyoto, kader PAN yang menjadi Bupati Bojonegoro; hingga tidak diizinkannya Zanubah Arifah Chafsoh alis Yenny Wahid) oleh para sesepuh ulama Jatim untuk menjadi bacagub Gerindra, semua deadlock.

Akhirnya, pada detik-detik akhir, PAN memilih untuk memperkuat pasangan Khofifah – Emil Dardak Emil yang diusung Demokrat, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura. Sementara, PKS dan Gerindra mendukung pasangan Gus Ipul – Puti Guruh Soekarno yang diusung PKB dan PDIP. Dan kedua pasangan tersebut sama-sama sudah mendaftar ke KPU Jatim pada hari terakhir pendaftaran, Rabu 10 Januari 2018.

Apakah drama Pilkada Jatim sudah selesai? Belum tentu. Kedua pasangan ideal ini masing-masing masih memiliki masalah yang menghantui. Bagi Khofifah, Keppres penghentian dan pergantian Menteri Sosial, jabatan yang disandangnya saat ini menjadi momok menakutkan.

Setidaknya, soal Keppres itu juga yang mengkhawatirkan. Bagi Emil, masalah dalam lingkup keluarganya yang sewaktu-waktu bisa saja muncul akan menjadi batu sandungan yang amat dahsyat nantinya.

Sementara, bagi Puti Guruh, hampir tidak ada masalah, kecuali jika ketika keponakan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri ini menjabat sebagai anggota DPR RI terseret di dalam kasus-kasus di tempat kerjanya itu.

Bagaimana dengan Gus Ipul? Masalah-masalah yang muncul ketika menjabat sebagai Wagub Jatim atau sebelumnya bisa saja mencuat, seperti namanya yang disebut-sebut mantan Ketua DPRD Jatim Fathorrajid (almarhum) dalam kasus P2SEM yang dilaporkan ke KPK.

Terlepas dari itu semua, Pilkada di 3 Provinsi Pulau Jawa ini memiliki satu kesamaan “satu benang merah”. Namanya: penuh drama, intrik dan tidak lepas dari pragmatisme! Politiknya hanya berorientasi pada kemenangan dengan cara apa pun.

***