Rocky Gerung: Ada Infeksi dalam Demokrasi Kita

Rabu, 10 Januari 2018 | 19:57 WIB
0
345
Rocky Gerung: Ada Infeksi dalam Demokrasi Kita

Forum hari ini komposisi antara talkshow, konfrensi pers, dan kampanye, gitu.

Ee... Judulnya panas sebelum mulai, sebelum dimulai, benar-benar mirip judul sinetron itu… Panas Sebelum Dimulai.

Saya mendeteksi ada semacam upaya untuk menerangkan, di mana panasnya dan apa bahaya dari panas itu, tapi…nggak keluar tadi.

Belakangan saya juga merasa bahwa sebetulnya ini pembicaraan yang sangat teknis, tapi untung ada tiga pembicara terakhir yang mengeluarkan dalilnya, yaitu ingin mengganti pemerintah. Dan seharusnya kenekadan itu yang mesti diucapkan hari-hari ini.

Saya sebut saja nekad sebab normalnya orang berani mengucapkan, tapi kan dihambat untuk diucapkan, dihegemoni supaya tak terucap. Sekarang ada kenekadan untuk menembus hegemoni itu. Di situ orang punya peluang untuk bikin analisis, sebab kalau nggak ada orang yang punya dalil untuk mengganti pemerintah ya nggak perlu ada analisis politik. Itu satu poin yang bagus saya kira.

Tadi saya agak telat datang karena saya menghadiri ujian disertasi dari seorang teman di Universitas Indonesia. Namanya, Andi Akhdian. Satu disertasi yang sangat bagus karena dia mempelajari proses demokratisasi di tahun 1906 di kota Surabaya yang adalah kota kolonial tapi tumbuh dengan dalil-dalil politik modern.

Temuan dari disertasi itu dan sangat relevan dengan kondisi hari ini. Temuannya begini. Publik Surabaya terlibat secara aktif dengan politik medern, walaupun politik itu asal usulnya dari Eropa karena itu kota Kolonial, jadi ada diskurus rasional dalam kebijakan publik di kota Surabaya.

Kota Surabaya pada 1906 kota yang sudah metropolis, lalulintas perdagangan dunia ada di situ, seluruh pembicaraan filosofi ada di situ, teori politik tumbuh di situ. Jadi itu kota dengan diskursus politik yang rasional. Tetapi kultur politiknya feodal. Masih ada kultur itu.

Sekarang, dari 1906 ke 2018 pola politik kita itu persis sama. Kita hidup dengan fasilitas dengan institusi modern, tapi kultur kita, kultur politik kita feodal.

Saya tertarik keterangan dari Ibu Megawati beberapa hari lalu yang secara otoritatif bahwa kader partai itu adalah petugas partai. Dan itu pikiran yang benar. Petugas partai. Karena memang dia dibrief oleh partai, untuk mengucapkan kepentingan partai supaya ada kompetisi.

Jadi secara prinsipil, Ibu Megawati benar menyebutkan itu. Tetapi saya menangkap bahwa ucapan itu diselenggarakan dalam satu kultur yang feodalistik… Sehingga orang bingung, yang mana pesannya tuh…

Arah penunjuk yang feodalisitik, atau dalil yang rasional, bahwa partai itu… Presiden adalah petugas partai. Jadi kita ada di dalam semacam skizofrenia, mau membaca keadaan itu, apakah Ibu Megawati benar-benar mengucapkan pikiranya pada waktu itu sebagai dalil politik, atau sebagai ekspresi dari semacam arogansi untuk mengatur.

Nggak pernah ada keterangan tentang itu sehingga orang meraba-raba apa yang terjadi sebetulnya, tuh… Lha kita, hari ini dipanaskan oleh politik justru karena soal tadi. Nggak ada kejelasan apa sebetulnya yang sedang dipertengkarkan.

Surabaya tumbuh sebagai kota metropolis. Isu yang masuk di situ adalah isu moral. Nggak ada soal isu moral, kalau isu moral itu dievaluasi oleh publik, jadi yang mengucapkan adalah publik, kalau dia diucapkan oleh lawan politik, maka dia bukan jadi isu moral, dia diucapkan untuk tukar tambah.

Isu moral itu mesti absolut, bahwa itu adalah standard moral. Tapi kalau dia dijadikan, dimainkan sebagai isu dan di belakangnya ada upaya tukar tambah, maka dia menjadi wilayah permainan politik. Jadi di situ soal etisnya, tuh.

Nah, beberapa teman tadi mempertanyakan, apa artinya pilkada serentak hari ini. Seolah-olah akan menyumbang pada demokratisasi. Sebetulnya yang terjadi adalah sebaliknya. Kalau saya perhatikan, upaya untuk menghasilkan pemimpin hari ini, diselenggarakan bukan melalui koalisi dalam pengertian ideal istilah itu. Tetapi dalam upaya untuk mencari celah mengumpankan diri di dalam suatu transaksi under table, dan itu yang terjadi hari-hari ini.

Jadi kalau beberapa teman mengatakan, ya… koalisinya sangat cair. Lho, Koalisi nggak boleh cair, yang liquid kiri- kanan, artinya tadi benar bapak Said Didu. Politik yang tidak menghasilkan batas idiologi, itu jadi semacam dagang sapi, yang paling dangkal itu.

Nah, Anda perhatikan misalnya bahwa kalau koalisi itu memungkinkan orang untuk tukar tambah sampai menit terakhir, artinya garis politik ideologi tidak bekerja. Kalau bekerja, sejak awal garisnya lurus nggak mungkin menunggu detik terakhir. Setiap penundaan di dalamnya ada kejahatan. Entah itu mahar, entah itu tukar tambah, itu soal kita hari-hari ini.

Nah, kita bikin evaluasi lebih komprehensif misalnya, ada yang salah di dalam ide politik kita, kita termasuk profesor Tjipta tadi menganggap bahwa politik itu adalah duel. Perang. Politik itu... dia mengutip Sun Tzu, lalu mengutip Aristoteles, bahwa politik itu adalah upaya untuk demi kekuasaan.

Lho, Aristoteles nggak begitu melihat politik. Politik di dalam pengertian awal Yunani adalah upaya untuk menghasilkan keadilan, karena itu istilah zoon politicon, binatang politik, salah diterjemahkan di Indonesia, mestinya, binatang yang berpolitik, karena politik adalah pembeda dari binatang. Di sini justru disamakan. Jadi dalil itu saja keliru sehingga benar-benar politisi dianggap sebagai... semacam kebinatangan, padahal ada yang suci dalam politik, yaitu menghasilkan kemakmuran, menghasilkan keadilan. Nah ini yang lewat dari kurikulum partai.

Nah, yang terakhir. Kalau kita survey secara garis sejarah misalnya, bangsa ini memang pernah kehilangan pikiran dalam beberapa momentum politik. Di tahun tiga puluh misalnya, sebelum kita merdeka, negeri ini kehilangan pikiran karena elitnya ditangkap Belanda. Ditaruh di Digoel, ditaruh di …apa namanya….Bung Karno dibuang ke Ende, Sutan Syahrir di taruh di Maluku, Hatta ada di Digoel, segala macam.

Jadi ada saat itu, negeri ini kehilangan pikiran sehingga masuklah cara berpikir yang nasionalistik yang chauvinistis karena nggak ada debat lagi di kalangan elit pada waktu itu. Itu sebelum merdeka pada tahun tiga puluhan. Lalu kita mengalami hal yang sejenis kira-kira zaman orde baru. Bukan saja tidak ada pikiran, tapi orde baru anti pikiran.

Sekarang kita ada di dalam suasana yang kita nggak ngerti. Ada pikiran apa nggak? Ada pikiran kehidupan politik kita? Saya menganggap bahwa bukan sekedar anti pikiran, tapi memang tidak berpikir …karena sibuk dengan aksi kerja kerja kerja. Itu soal kita. Jadi konsep kerja kerja kerja dimaksudkan sebetulnya untuk menutupi kondisi tidak berpikir. Itu problem fundamental kita hari-hari ini.

Nah, saudara-saudara kalau kita anggap bahwa setiap kali pemerintah mempromosikan bahwa negeri ini bertumbuh secara demokratisasi, kalau kita tanya pada internasional yang lebih netral untuk melihat kita, sebetulnya negeri ini memburuk dalam demokrasi, karena ada Perppu, karena ada threshold.

Nah, Anda bayangkan misalnya, ada partai kecil baru masuk pemilu hari ini. New kid on the block, dia menang 98 persen, dan semua partai besar menang 2 persen dibagi berempat, yang berhak nyalonin presiden, siapa? Secara logika mestinya partai itu… tapi dia nggak punya threshold. Partai yang menang 2 persen karena threshold pemilu sebelumnya, justru dia yang akan mencalonkan presiden. Kan absurd politik kita!

Keabsurdan itu dipelihara melalui hoax, melalui institusi pers, dikontrol, nah kita nggak mampu lagi melihat yang mana sebetulnya yang disibut politik bernalar, dan mana yang disebut politik pragmatis atau bahkan sekarang oportunis. Nah bertemulah kepentingan partai-partai yang oportunis, dengan pemimpin yang pragmatis. Di situ panasnya akan dimulai nanti, dan panas ini akan berlanjut sampai 2019.

Jadi kalau orang menganggap bahwa demokrasi kita sedang bertumbuh, menurut saya tidak bertumbuh, sekedar membengkak, politik yang Anda sebut tadi panas. Panas itu kalau di dalam ilmu fisika, mesin yang panas itu artnya tidak effesien, karna tidak bisa ditransfrer menjadi energi kinetik. Itu masalahnya.

Tapi di dalam politik, panas itu kalau kita sebut dalam demokrasi itu panas, sebetulnya kan ada infeksi tuh. Kan kalau tubuh kita infeksi, kita panas gitu kan? Jadi ada infeksi di dalam demokrasi kita.

Nah, dalam demokrasi kita, bukannya tidak bertumbuh karena tidak ada kelas menengah, tapi tidak bertumbuh karena tidak ada kelas yang berpikir.

Terima kasih.

***

Catatan: transkrip dari acara ILC di TVOne.