Kesederhanaan Artifisial alias Dibuat-buat Para Politisi

Selasa, 9 Januari 2018 | 12:48 WIB
0
395
Kesederhanaan Artifisial alias Dibuat-buat Para Politisi

Sebagai rakyat, kebahagiaan saya bukan saat melihat pemimpin berkaos oblong, memakai sandal jepit, atau tampilan ngenes lainnya. Tidak. Saya bahagia bila pemimpin berhasil membuat rakyatnya punya daya beli sandang yang layak.

Maka bila nanti media menampilkan pemimpin negeri ini masak menggunakan kayu bakar, saya tidak terharu. Tapi saya bahagia bila rakyat Indonesia tidak lagi mengantri untuk membeli gas 3Kg, tidak mengeluh harga bahan bakar mahal. Bila itu terwujud, maka sang pemimpin telah bekerja dengan benar.

Cerita ada orang yang mendadak berpenampilan miskin menjelang even kontestasi demokrasi (misal pilkada, pemilu, pilpres, dlsb) menjadi terlalu basi di negeri ini. Ada kandidat pemilihan gubernur tiba-tiba rajin naik angkot. Ada pemimpin partai politik tumben-tumbenan suka menyamar menjadi rakyat biasa, naik becak dan sebagainya di masa kampanye.

Mendadak, tumben-tumbenan, karena biasanya si politisi gak gitu-gitu amat. Mereka terbiasa naik mobil berkelas, berpenampilan necis, layaknya pejabat. Mereka juga bukan orang miskin. Hanya saja ada keperluan menebar jaring simpati ke tengah masyarakat. Ada harapan untuk dinilai merakyat. Dianggap memiliki kehidupan yang setara dan dekat dengan rakyat. Dan usaha itu dilakukan dalam momen sesekali saja.

[irp posts="7188" name="Masih Efektifkah Strategi Pencitraan Joko Widodo?"]

Inilah kesederhanaan artifisial. Kesederhanaan buatan. Tak alami dan dibuat-buat. Kecuali para pemuja politisi itu, khalayak malah melihatnya sebagai sesuatu yang norak. Malu-maluin.

Idealnya yang dijual oleh peserta kontestasi demokrasi adalah prestasi dan gagasan. Tapi sejak disadari pentingnya pencitraan bagi politisi, maka tampilan merakyat itu menjadi bumbu yang dijual. Makanya tahun 2014 lalu di pinggir jalan-jalan raya di Indonesia terpampang baliho foto full body seorang tokoh dengan deskripsi harga barang-barang yang dikenakan (kemeja, sepatu, celana, dll). Ingin menggambarkan si tokoh suka memakai sesuatu yang murah-murah.

Kalau ini menjadi tren, ya sudah silakan para politisi beradu penampilan paling gembel. Sekalian saja mereka mencicipi tidur di emperan toko selama sebulan, lalu fotonya disebar viral ke publik.

Tapi apa iya itu adalah cara untuk menggaet pemilih? Yang pasti, cara seperti itu tidak akan pernah ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang akan dipimpinnya.

Maka makin jauhlah negeri ini dari demokrasi yang mencerdaskan. Cara begini mencoba membodohi rakyat bahwa pemimpin dipilih berdasarkan tingkat kegembelannya. Bukan kerjanya.

Inspirasi Umar bin Khattab

Khalifah kedua sepeninggal Rasulullah saw ini memang mewarisi kesederhanaan gurunya. Bekas tikar di punggung Rasulullah – padahal ia adalah seorang pemimpin umat, begitu berkesan. Maka Umar bin Khattab r.a. memimpin dengan slogan yang menyejarah: “Kalau rakyatku kenyang, aku yang paling terakhir kenyang. Kalau rakyatku lapar, aku yang paling pertama lapar.”

Ia orang yang tak silau melihat kilau kekayaan Kisra. Dalam keseharian, ia berpergian dengan pakaian yang punya tambalan di mana-mana. Padahal ia memimpin wilayah yang kian luas dan kaya. Dalam perjalanan dari Madinah ke Palestina setelah pembebasan Al-Quds, ia bergantian menuntun unta dengan pelayannya. Sampai-sampai orang mengira Umar bin Khattab adalah pelayan, dan yang di atas unta itu khalifah.

[irp posts="3440" name="Makna di Balik Unggulnya Jokowi atas Prabowo di Jawa Barat"]

Tapi kesederhanaan Umar bin Khattab itu dilaluinya hari demi hari. Umar tidak tumben-tumbenan memakai sandal jepit setelah beberapa waktu lalu menikahkan anaknya dengan pesta yang teramat mewah. Ia tidak bangga berkaos oblong padahal tangannya menggenggam ponsel mahal. Ia tidak pamer kepada media sedang sarapan arem-arem padahal biasanya makanannya berkelas.

Kesederhanaan Umar bin Khattab yang menginspirasi itu bukanlah kesederhanaan artifisial. Dalam semua aspek kehidupannya ia memang hidup sederhana (kecuali dalam ibadah dan visi kepimpinan). Alami dan setiap hari begitu adanya.

Kepemimpinan Umar beserta kesederhanaannya mengagumkan manusia di dunia. Membuat orang-orang memimpikan punya pemimpin seperti Umar. Makanya para politisi ingin dianggap seperti dia.

Pemimpin berpenampilan apa adanya

Memang, rakyat tidak suka dengan pemimpin yang memamerkan kemewahan di saat kondisi rakyat yang masih banyak yang susah. Itu pemimpin yang berjarak. Tak peka terhadap krisis.

Memang, masyarakat merindukan pemimpin yang merakyat. Tidak gila kemegahan, tidak gila sanjung, tapi rendah hati dan punya kehidupan yang membaur dengan rakyatnya. Idealnya seperti itu.

Tetapi rakyat tidak akan mengeluh bila sang pemimpin memakai pakaian yang pantas pada acara seremonial. Berbatik, bersepatu tertutup yang mengkilat, itu masih dalam ambang wajar. Yang penting dalam balutan yang dikenakannya tetap terjaga kewibawaannya. Berpenampilan nyeleneh di acara resmi malah bisa menjatuhkan wibawa pemimpin.

Dan lebih penting dari penampilan, adalah hasil kerja yang bisa memakmurkan rakyat. Kalau bersendal jepit dan berkaos oblong tidak bisa membuat harga bahan pokok terjangkau, tak bisa mencegah gas LPG langka, buat apa?

Akhirnya penampilan seperti itu cuma jadi hiburan dan candaan masyarakat. Tak ada pengaruh apa-apa dengan kesejahteraan rakyat.

***