Sekilas Perjalanan SBY dengan Partai Demokrat Besutannya

Senin, 8 Januari 2018 | 09:21 WIB
0
410
Sekilas Perjalanan SBY dengan Partai Demokrat Besutannya

Semua orang tahu, Partai Demokrat punya tokoh sentral. Namany Susilo Bambang Yudhoyono. Ia Presiden ke-6 Republik Indonesia yang kini memegang kendali partai. Mengawali karier politik dengan menjadi menteri di kabinet Presiden Megawati, tetapi di akhir menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati ia mengundurkan diri dari menteri Menkopolhukam, sepaket dengan Menkokesra Jusuf Kalla.

Sejarah kemudian mencatat, "Duo Menko" ini menggulingkan mantan bosnya, Megawati Soekarnoputri, pada Pilpres langsung pertama yang diadakan di negeri ini, yaitu pada Pilpres 2004. Nah, di tahun itu pulalah Partai Demokrat besutan SBY itu menjadi peserta pemilu dan berhasil menduduki peringkat ke-5 dengan perolehan suara 8,455,225 (7,45 persen). Debutan pertama partai ini menempatkan wakil-wakil rakyatnya dari segala penjuru daerah dengan 57 kursi di DPR.

Sekalipun hanya dengan suara 7,45 persen partai ini bisa mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Secara, waktu itu belum ada aturan Presidential Threshold. Dengan koalisi beberapa partai, pasangan SBY dan JK akhirnya memenangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 2004, Pilpres paling bersejarah karena unsur "pertamanya" itu, yaitu pemilihan presiden langsung pertama.

Dengan bermodalkan karier militer yang cemerlang dan dianugerahi wajah yang tampan/gagah tokoh sentral Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan perhatian dari publik khususnya dari kalangan kaum hawa, khususnya emak-emak. Di sisi lain, ada kecenderungan saat itu justru emak-emaklah yang agak "sebel" kepada Megawati sehingga ada gerakan ABM, Asal Bukan Mega.

Segala puja-puji tertuju pada yang bersangkutan. Dengan gaya bebicara yang santun dan baik menjadi kesempurnaan atau pelengkap dalam mengembam tugas menjadi Presiden, namanya semakin harum dan berkibar di akhir masa jabatan Presiden periode pertama.

[irp posts="3417" name="Membaca Makna Pertemuan Presiden Jokowi dengan SBY"]

Pada Pemilu Tahun 2009, Demokrat menjadi partai pemenang pemilu dengan perolehan suara yang naik secara signifikan atau mengejutkan yaitu 21.703.137 (20,5 persen). Perolehan suara ini dibanding tahun 2004 naik hampir 3x lipat, sebuah pencapaian suatu partai baru pada waktu itu ini sangat fantastis. Demokrat banyak memenangkan suara di daerah seperti Aceh, Jawa Barat, dan Ibu Kota yaitu DKI Jakarta. Hampir di setiap daerah suara Demokrat naik secara signifikan atau fantastis dengan tokoh Sentral Susilo Bambang Yudhoyono itu tadi.

Dengan kemenangan 21,703,137 (20,5%) juta suara, Demokrat bisa mengirimkan wakil-wakil rakyatnya dari seluruh pelosok negeri sebanyak 150 kursi atau 26,4% di DPR. Ini rekor tersendiri dan sepertinya belum pernah ada partai lain yang  mengungguli pencapaian Demokrat.

Dan tentu sangat mudah bagi Demokrat untuk mengusung kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon Presdiden untuk periode yang kedua.

Dengan berpasangan dengan Budiono yang sebelumnya sebagai mantan menteri Keuangan, pada Pilpres 2009, pasangan SBY-Budiono dengan mudah memenangkan Pilpres 2019 dengan rival yang sama, yaitu Megawati Soekarnoputri yang saat itu berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Tapi, prestasi Pemilu dan Pilpres tidak dibarengi kinerja yang bagus dari segelintir oknum kader partai, khususnya yang mendapat jabatan tetapi tidak amanah. Selama SBY menjadi Presiden, misalnya, sejumlah kader partai harus berurusan dengan lembaga penegak hukum yaitu KPK.

Memang sih sudah hal umum atau jamak bahwa setiap partai yang berkuasa sering kali memanfaatkan “Aji Mumpung” yaitu mencari pundi-pundi materi atau memanfaatkan jabatan untuk melakukan perbuatan melawan hukum, dalam hai ini KKN; korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejumlah kader Demokrat tersangkut kasus hukum di KPK, sebut saja Anas Urbaningrum, Muhammad Nazarudin, Engelina Sondakh, bahkan nyaris saja Pangeran Cikeas yaitu Ibas, masuk pusaran kasus "Trio Demokrat" itu.

Kasus demi kasus mau tidak mau akhirnya merusak atau menggerus citra Demokrat secara masif karena hal itu tidak luput menjadi pemberitaan media massa online, surat kabar dan televisi. Bahkan sang tokoh sentral yang tak lain dan tak bukan Presiden SBY sendiri tidak bisa menahan badai yang sangat dahsyat menggoyang pemerintahannya, khususnya berimbas pada Demokrat sendiri.

Pada Pemilu Tahun 2014 perolehan Demokrat menurun atau merosot dan terlempar ke nomor utur empat dari 10 partai di DPR. Partai Demokrat memperoleh suara 12,728,923 (10,19 persen). Suara ini merosot atau tergerus oleh banyaknya kader Partai yang tersangkut masalah hukum.

Akhirnya puncak kejayaan Demokrat berakhir atau meredup sudah saat tidak bisa mencalonkan kadernya untuk maju dalam Pilpres 2014, bahkan saat itu Demokrat menerapkan "politik mengambang" yang belum ada duanya di dunia, yaitu tidak condong ke kanan atau pun ke kiri. Partai dibiarkan mengambang begitu saja, termasuk dalam berbagai pengambilan keputusan terkait pemerintah. Oposisi bukan, memerintah kagak.

[irp posts="2756" name="Alasan di Balik Keengganan Megawati Menjabat Tangan SBY"]

Semua orang tahu Presiden SBY adalah sosok yang melankolis bahkan romantis. Terbukti prestasi mengeluarkan album lagu ciptaannya semasa dia menjadi Presiden. Tetapi mesti tentara dan berpangkat Jenderal, ia juga seperti emak-emak yang kerap berkeluh kesah atau curhat di medsos baik itu Youtube atau Twitter, khususnya saat pertama Presiden Jokowi menduduki kursi RI-1.

Kerap ia membanding-bandingkan kinerja pemerintahannya yang yahud dibanding Jokowi yang dia anggap ga ada apa-apanya, bahkan membuat ekonomi rakyat merosot. Tetapi Jokowi tidak suka perang mulut di media, apalagi berbuat kegaduhan yang tidak perlu. Jika SBY sudah mengeritiknya, Jokowi cukup pergi menengok proyek-proyek yang mangkrak seperti Hambalang dan sejumlah kilang minyak di daerah, lalu Jokowi meminta proyek mangkrak itu dilanjutkan.

Dalam permainan catur, sebenarnya ini yang dinamakan "skakmat" Jokowi terhadap SBY. Biasanya setelah itu SBY diam seribu bahasa, sampai publik melupakan "skakmat" itu lagi. Tetapi, belakangan SBY sudah semakin arif dalam hal mengeluarkan pernyataan, khususnya terkait pemerintahan Jokowi. Bahkan terakhir dia malah memuji kemajuan yang dicapai Jokowi. Artinya, SBY sebenarnya rasional juga jika tidak terlalu dikuasai emosi sentimentilnya.

***