Ade Armando dan Anggapan Atas Komunikasi Yang “Bebas Nilai”

Minggu, 7 Januari 2018 | 11:38 WIB
0
476
Ade Armando dan Anggapan Atas Komunikasi Yang “Bebas Nilai”

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa beberapa pernyataan yang terangkum dalam akun media sosial milik Ade Armando seringkali bermasalah karena menyinggung beberapa pihak tertentu, terutama sebagian kelompok umat muslim. Paling tidak, berbagai pernyataan dirinya yang diunggah di media sosial, tidak saja menyulut kontroversi si ranah publik, namun lebih jauh dari itu, menggugah kebencian dari berbagai pihak.

Entah apa yang menjadi alasan dosen salah satu universitas ternama di Indonesia ini, padahal dengan latar belakang dirinya sebagai dosen ilmu komunikasi, tentu saja memahami secara baik, bagaimana semestinya sebuah komunikasi dijalankan dalam rangka menyampaikan pesan secara baik dan benar.

Komunikasi, tentu saja dalam banyak hal melibatkan dua belah pihak dalam suatu interaksi, di mana sebuah pesan dalam bentuk lambang-lambang memang ditujukan kepada pihak-pihak tertentu, agar memahami apa yang dimaksudkan oleh si komunikan tersebut.

Komunikasi tentu saja merupakan bagian dari kegiatan manusia yang teramat penting, karena hampir seluruh perkembangan kehidupan manusia, baik dalam soal agama, budaya, dan peradaban—tanpa sadar atau dengan kesadaran—terbangun melalui kegiatan yang disebut “komunikasi”.

Karena komunikasi melibatkan kegiatan kemanusiaan, maka sudah pasti ia berada dalam wilayah hukum moral yang tak bebas nilai, sehingga nilai baik atau buruk sebuah komunikasi berlaku di dalamnya.

[irp posts="5314" name="Islam sebagai Tempat Duduk"]

Saya kira, ketika suatu aktivitas sosial itu dijalankan, maka tak ada satupun yang bebas nilai, termasuk dalam hal mengemas suatu komunikasi di ranah publik. Hukum moral yang mengikat seluruh aktivitas kemanusiaan, sudah barang tentu memberikan penilaian “baik” dan “buruk” terhadap seluruh aktivitas apapun, termasuk berkomunikasi.

Terlebih di Indonesia, sudah diterapkan aturan-aturan hukum positif yang mengatur, membatasi, bahkan memberi sangsi hukum terhadap kegiatan komunikasi yang mengandung muatan kebencian atau merugikan pihak lain. Karena sangsi sosial saja dirasa tidak cukup, maka sangsi hukum dirasa dapat memberikan efek jera terhadap siapapun yang melanggar batas-batas “nilai” dari sebuah iklim berkomunikasi.

Baru-baru ini, kasus Ade Armando yang dianggap telah melecehkan agama Islam, melalui unggahannya yang mendiskreditkan para ulama dan kritiknya atas hadis Nabi Muhammad yang tidak seluruhnya mencerminkan perkataan dan perbuatan Nabi, merupakan contoh dari sebuah komunikasi yang dianggapnya “bebas nilai”, tak terkait hukum moral dan bahkan tak ada kaitannya dengan aspek hukum yang secara tegas melarang unggahan yang bernuansa provokatif dan mengandung unsur-unsur kebencian kepada masyarakat.

Padahal, ketika sebuah pernyataan itu dirasa “mengganggu” pihak lain, berarti sebuah pernyataan tersebut dapat berimplikasi secara hukum, baik hukum moral maupun hukum positif. Namun yang pasti, sebuah “pesan” yang disampaikan dalam sebuah komunikasi tentu dinilai berhasil, jika timbul “reaksi” dari pihak yang dituju sebagai “objek” dari komunikasi tersebut.

Melihat kepada “objek” yang dikomunikasikan oleh Ade Armando yang menuai kritikan dari berbagai pihak, memang terkait langsung dengan kenyataan ulama dan agama Islam.

Di saat sebagian ulama yang berlatar belakang “garis keras” menolak mengucapkan “selamat natal” yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa yang terekam dalam beberapa hadis Nabi Muhammad, Ade malah terkesan “nyinyir” bahkan membuat pernyataan yang terkesan “melecehkan” para ulama yang mempersoalkan ucapan “selamat natal”, sekaligus mengomentari salah satu pedoman hukum ajaran Islam kedua, yaitu hadis yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.

Saya memahami, bahwa betul di mana hadis sesungguhnya dengan beragam perbedaan redaksional (matan) sekaligus banyaknya jalur periwayatan (sanad), kemudian menjadikan statusnya berbeda-beda di antara para ulama hadis. Meskipun, selain ulama hadis apalagi yang belum memahami benar soal ‘ulumul hadits, tidak serta merta melakukan penilaian secara langsung, karena pada umumnya mereka sekadar ittiba’ (imitasi) terhadap kriteria penilaian status hadis yang sudah terlebih dahulu ada.

Selain para ulama hadis, tentu saja tidak gegabah dalam melakukan penilaian terhadap kriteria sebuah hadis, namun mereka tetap meyakini bahwa hadis merupakan sumber otoritatif hukum Islam kedua setelah kitab suci Al-Quran. Karena hadis merupakan sumber hukum Islam yang “kedua” setelah Al-Quran, maka hadis memiliki nilai “kesucian” yang setingkat dibawah Al-Quran.

Pernyataan Ade Armando yang mengomentari hadis bagi saya sangat berlebihan, bahkan dapat menyesatkan, ketika menganggap hadis itu tidak suci, karena hanya Al-Quran saja yang suci. Padahal, jika merujuk pada sebuah ayat Al-Quran yang menyatakan, bahwa apa yang terucap dari lisan Nabi Muhammad tidaklah sesuatu atas dorongan hawa nafsunya (wa maa yanthiqu ‘anil hawa), sebab ucapannya itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya (in huwa illa wahyuy yuuha).

Bagi saya, derajat kesucian hadis tidak berkurang karena kondisi status sebuah hadis yang berbeda-beda, karena tetap dianggap sebagai rujukan teks (naql) yang lebih didahulukan daripada akal manusia itu sendiri.

[irp posts="7153" name="Percaya Diri Islam Tak Perlu Diucapkan lewat Kata-kata"]

Saya pun merasa heran dengan pernyataan berlebihan dosen komunikasi ini, yang menyebut hadis itu baru 200 tahun ditulis setelah Nabi Muhammad meninggal. Yang benar adalah hadis baru dikumpulkan dan dihimpun secara resmi dan masal sudah sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kira-kira tenggat waktunya 90 tahun setelah Nabi Muhammad wafat.

Bahkan, jika merujuk pada beberapa kajian ‘ulumul hadits, penulisan hadis Nabi sudah dilakukan semenjak Nabi masih hidup, walaupun dengan segala keterbatasan karena minimnya jumlah sahabat yang mempunyai kemampuan baik dalam menulis. Saya kira, memang terdapat unsur komunikasi yang justru sengaja diunggah untuk tujuan-tujuan tertentu yang menghendaki polemik ditengah publik.

Jika melihat pada banyak pernyataan Ade Armando yang menyasar ulama dan agama Islam, wajar jika kemudian disebut telah masuk unsur “pelecehan” yang tidak sekadar dianggap kritik dirinya atas fenomena menguatnya beragam kasus “politisasi agama”. Ungkapannya terlampau jauh mengomentari berbagai ajaran Islam yang justru tidak dikuasainya sama sekali.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah anggapannya terhadap sebuah aktivitas komunikasi yang “bebas nilai”, padahal setiap aktivitas manusia—termasuk berkomunikasi—terikat hukum moral dan hukum positif didalamnya.

Lagi pula, sebagai pakar dalam bidang komunikasi, sudah semestinya memahami, mana komunikasi yang baik dan membangun dan mana yang buruk dan “merusak”. Jikapun harus mengkritik, tentu saja kritik yang membangun dan didahului oleh pemahaman yang baik dari objek yang akan dikritiknya, jika tidak, kritik hanya akan jatuh menjadi kalimat-kalimat “penghinaan” bahkan “pelecehan” yang berimplikasi luas dalam wilayah hukum.