Pilihan Sulit untuk Palestina

Jumat, 5 Januari 2018 | 21:29 WIB
0
435
Pilihan Sulit untuk Palestina

Nikki Haley, inilah wanita cantik Amerika Serikat (AS) yang sering menghiasi berbagai halaman media akhir-akhir ini. Wajahnya yang saya up load kali ini sangat cerah. Tetapi ketika terjadi pemungutan suara di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang dukungan terhadap penentangan ucapan Presiden AS Donald Trump yang mengatakan Jerusalem sebagai ibukota Israel, wajahnya terlihat  tanpa senyum.

Presiden AS Donald Trump memang mempercayai Nikki Haley sebagai Duta Besar untuk PBB. Baru saja, ia tampil dalam konferensi pers di Markas Besar PBB yang menegaskan akan menghentikan bantuan kepada negara yang memberikan dukungan menentang kebijakan Trump bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel.

Khusus tentang Palestina mungkin kita agak terkejut karena masalah perdamaian antara Palestina dengan Israel keluar dari mulut Duta Besar AS untuk PBB itu, ketika Palestina sudah tidak mempercayai AS sebagai juru runding damai antara Palestina-Israel.

Tampaknya Trump ingin melihat Palestina berada dalam dilema, apakah lebih mementingkan perdamaian antara Palestina-Israel atau tetap menentang kebijakan AS yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Sejauh ini memang bangsa Palestina yang awalnya memiliki tanah air, belum juga merdeka secara ;de facto," dan "de jure."

Bangsa Palestina menghadapi kesulitan setelah penduduk Yahudi memproklamirkan tanggal 14 Mei 1948. Setelah itu bangsa Palestina sedikit demi sedikit terusir dari wilayahnya sendiri. Berbagai konsep Israel untuk mengusir bangsa Palestina adalah dengan mendirikan pemukiman untuk warga Yahudi di wilayah Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Coba saksikan Menlu RI Retno Marsudi pada tahun 2016 ingin terbang dari Yordania ke Tepi Barat, wilayah Palestina, tidak diizinkan Israel. Nah secara logika, bukankah yang mengeluarkan larangan itu Palestina, bukan Israel. Ini menunjukkan ke dunia internasional bahwa meski Palestina menyebut pimpinannnya sebagai Presiden dan memiliki Duta Besar hampir di 100 negara, itu hanya secara "de facto," bukan "de jure."

[irp posts="6871" name="Ketika Israel Memanipulasi Sejarah di Jerusalem"]

Apalagi jika kita menyaksikan pengungsian warga Palestina setelah Perang Enam Hari antara pasukan Arab dengan Israel pada bulan Juni 1967. Waktu itu Israel ke luar sebagai pemenang perang dan berbagai wilayah Arab. Tepi Barat sungai Yordan, bagian timur (Arab) kota Jerusalem, sektor Gaza, sebagian wilayah Mesir yang telah kembali lagi sesuai Perjanjian Camp David serta wilayah Golan (milik Suriah) sebuah dataran tinggi, waktu itu berhasil direbut Israel.

Diperkirakan waktu itu Israel berhasil merebut 68,6 ribu kilometer persegi wilayah Arab, sama dengan empat kali lipat melebihi wilayah Israel yang ditetapkan PBB tahun 1947.

Memang benar Resolusi Dewan Keamanan PBB No 237, 14 Juni 1947, meminta Israel segera menarik pasukannya serta minta jaminan keamanan bagi para pengungsi Palestina dan memberinya kemungkinan kembali lagi, tetapi apakah pernah ditaati. Malah yang saya dengar peta Palestina yang semula terlihat sangat luas, lama-lama mengecil. Boleh jadi hilang.

***