Drama Pilgub Pulau Jawa, Derai Air Mata sampai NU Yang Dibikin Galau

Kamis, 4 Januari 2018 | 16:03 WIB
0
500
Drama Pilgub Pulau Jawa, Derai Air Mata sampai NU Yang Dibikin Galau

Mesin-mesin politik mulai menderu. Silaturahim sana-sini dilakoni, lobi-lobi demi ikatan koalisi. Partai-partai mulai adu cepat, saling sanding calon pilih yang tepat. Dinamikannya berlangsung kilat dan ketat bahkan sampai ada yang kena pecat.

Juni 2018 mungkin akan jadi bulan paling sakral bagi para pelaku politik elektoral. Selain butuh pemodal andal, mereka juga perlu menggenjot kader milenial agar perjalanan calon tak terganjal. Juni 2018 mungkin akan jadi bulan sakral, kontestasi mereka akan jadi portofolio di 2019 agar syahwat politik tetap lancar.

Konstelasinya dijamin sengit dengan turut sertanya perwira militer, polisi, artis yang jadi politisi dan perwakilan kaum santri. Itulah mengapa Pilkada 2018 menjadi menarik diikuti. Naga-naganya, Pilkada 2018 menentukan posisi Jokowi di 2019, tentu kubu Prabowo tak akan ikhlas. Sepertinya polarisasi warisan Pilpres 2014 akan kembali memanas.

Jabar penuh drama

Pilgub Jawa Barat menjadi arena tarung yang penuh drama. Deddy Mizwar (Demiz)-kalau boleh-saya deklarasikan sebagai bintangnya sementara ini. Lepas dicerai PKS Demiz langsung digaet Dedi Mulyadi (Demul) yang langsung menyeka air matanya. Demiz sempat menangis lantaran puisi sahabatnya, Fahri Hamzah, yang juga sama-sama bersengketa dengan PKS.

Aliansi ini memiliki angka kursi yang cukup untuk mendaftar ke KPU Jawa Barat, Partai Golkar (17 kursi) ditambah Partai Demokrat (12 kursi) sama dengan 29 kursi. Secara “Matematika Politik” Demul paling berhak jadi Cagub, tetapi pesona Demiz membuka peluang untuk kita tebak-tebak buah manggis siapa yang tokcer dimajukan. Lagipula ini belum final, Golkar masih ada pertimbangan soal isu kontrak politik yang diminta Demokrat untuk dukungan Pilpres tahun mendatang.

Ridwan Kamil (RK) sempat lama menjomblo (jangan-jangan ini karma lantaran sering menyinggung kaum jomblo di instagram-nya). Informasi yang berkembang, RK lagi PDKT sama PDIP. Hasilnya nama Anton Charliyan bikin wajah RK sumringah. Sebelumnya, Partai Nasdem, Hanura, PPP dan PKB telah memberinya sokongan dengan total 24 kursi.

Dibanding lawan-lawan politiknya, Sudrajat tak banyak dikenal. Perbincangan politik tiba-tiba berubah ketika Prabowo mengumumkan pencalonannya mendampingi Ahmad Syaikhu dari PKS, menggantikan Demiz. Alasan Prabowo simpel, dirinya sudah lama mengenal sosok Sudrajat sejak di dunia militer. Rekam jejak Sudrajat cukup moncer.

“Masyarakat Jawa Barat pernah mengenal saya di tahun 90-an dan tahun 2000-an,” kata Sudrajat menanggapi elektabilitasnya dikutip Kompas.com. Yang pasti kebanyakan mereka orang tua, sementara sekarang eranya milenial. Duet ini juga belum final, PAN-mitra koalisi-masih naksir kepada Demiz sebagai Cawagub. Move On itu susah ternyata.

Jateng masih anteng

Konstelasi Pilgub Jawa Tengah (Jateng) sampai saat ini tak sebergejolak Jabar. Perdebatannya masih normatif ala-ala Parpol mencari koalisi. Apa karena kultur masyarakat jawa yang penyabar dan nrimo atau karena narasi politik didominasi tokoh yang bisa dibilang sampean lagi.. sampean lagi. Patut diingat, Jateng adalah kawasan loyalis terbesar PDIP.

Nama Jenderal Gatot Nurmantyo mencuat membuat suhu politik menghangat. Beberapa partai sudah memberi sinyal positif, tetapi sinyal saja tak cukup lah ya, kalau pulsanya tidak ada. Belum lagi Sudirman Said yang dulu terlibat kasus Papa Minta Saham tentu masih diingat.

PDIP sebagai “ahlul wilayah” masih menyembunyikan jagoannya. Meskipun sayup-sayup terdengar Petahana Ganjar Pranowo akan maju kembali menaiki banteng moncong putih itu. Rencananya, Kamis ini, 4 Januari 2017 PDIP akan mengumumkan calonnya di Jakarta. Mayoritas loyalis yakin PDIP memajukan Ganjar. Wakilnya siapa? Tunggu pengumuman Megawati. Adalah Nasdem yang kini berdekat-dekat ke PDIP.

Menjatuhkan banteng tentu susah sendirian, kecuali matador. Wacana Poros Tengah pun menguat. Sejak 2 Januari lalu, begitu setidaknya menurut berita, Golkar, PPP, dan Partai Demokrat tengah mengintensifkan komunikasi men-deal-kan koalisi itu. Koalisi garis tengah ini tentu membuat pesta politik Jateng meriah.

Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo masuk dalam obrolan mereka. Lalu ada Letjen TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo, mantan Sekda Jateng Hadi Prabowo. Sekda Jateng Sri Puryono juga diincar. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso juga sempat disebut pada Desmber silam.

“Daripada berdua (head to head), kan nggak asyik,” kata Petahana Ganjar Pranowo menanggapi Poros Tengah dikutip Tibun Jateng. Ya, politik harus seru agar kader-kader muda tetap menggebu. Dengan begitu sirkulasi tokoh-tokoh politik diharapkan terus melaju. Masa mau sampean lagi-sampean lagi.

Sudirman Said melaju lewat koalisi Gerindra-PKS-PAN. Wakilnya di antara delapan nama ini: Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono, Ketua DPW PKB Jawa Tengah KH Yusuf Chudlory atau Gus Yusuf, mantan Wakil Gubernur Jateng Rustriningsih dan 4 putra KH Maimun Zubair, yakni Gus Wafi, Gus Kamil, dan Gus Ghofur, Gus Yasin, serta politisi Golkar Arianti Dewi.

Pilkada Jatim bikin warga NU tak intim

Tiga trah Nahdlatul Ulama (NU) yang masuk arena kontestasi membuat suasana Pilgub semakin wah. Ketiganya  Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Khofifah Indar Parawansa (Khofifah), dan Zanubah Arifah Hapsah (Yenny Wahid) putri Gus Dur. Nama yang disebut terakhir ini memilih mundur.

Kehadiran ketiganya tentu membuat NU bangga bahwa kalangan santri masih bertaring dalam kancah politik lokal maupun nasional, tetapi NU harus siap menerima dilema, pun jika sementara waktu ini ada “ukhuwah” yang terbelah. Ini pula salah satu alasan Yenny mundur, ia menolak “khitbah” Prabowo untuk maju lewat Gerindra dan koalisinya.

Modal nama besar Gusdur dan NU saja belum cukup. Namun mengingat portofolio Gerindra yang mengusungnya bisa jadi catatan bagi lawan politiknya. Sayangnya, nama Yenny tinggal kenangan, Gerindra-PKS-PAN kembali bergerilya mencari sosok idaman lainnya.

Pengurus Besar NU merespons dinamika  di Jatim, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan agar jajarannya sampai tingkat pengurus paling bawah bersikap netral. Namun perebutan suara di tingkat grass root terjadi dengan “brutal”. Artikel sebelumnya berjudul Membelah Suara “Nahdliyyin” di Pilkada Jawa Timur yang ditulis Syahirul Alim menyuguhkan pandangan menarik:

Para kiai NU-pun nampaknya ikut terjun ke dalam gelanggang politik di Pilkada Jatim, menggalang suara nahdliyyin bagi dukungan para kadernya yang saat ini berlaga dalam kontestasi. Bagi barisan  kiai NU yang sejak awal tidak sepakat atas formalisasi politik NU, sepertinya memang lebih nyaman berada dalam kubu Khofifah, sebaliknya, para kiai yang memiliki afiliasi politik dengan PKB, sudah tentu menggalang dukungan bagi Syaifullah Yusuf.

Tokoh senior NU, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) bahkan resmi ditunjuk sebagai Ketua Tim 9 bagi pemenangan Khofifah di Pilgub Jatim. Gus Sholah seakan menunjukkan konsistensi dirinya yang sejak awal tak pernah setuju terhadap formalisasi politik NU. Dulu, ketika PKB dideklarasikan kakaknya, Gus Dur, ia malah lebih memilih bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU), sebagai bentuk protes atas formalisasi politik NU.

NU memang tidak lagi partai politik, tetapi massa NU selalu menjadi bancakan pada momen politik; kiainya, santrinya, masyarakatnya, budayanya, pesantrennya. Sebagaimana kampanye NU agar tak membawa Islam ke politik, beranikah Pengurus Besar-nya mengatakan jangan bawa NU ke area politik? Atau Kiai Said masih bermimpi soal Kementerian Bidang Pesantren?

***