Jendela

Selasa, 2 Januari 2018 | 13:29 WIB
0
407
Jendela

Di sebuah kota kecil, terdapat sebuah jalan.

Di seberang jalan terdapat sebuah rumah. Di rumah itu ada sebuah jendela menghadap ke jalan. Di jendela itu ada seorang anak perempuan. Anak perempuan itu menghabiskan waktu berjam-jam memandang dunia dari jendelanya.

Di seberang jalan terdapat sebuah rumah lain. Rumah tersebut juga memiliki sebuah jendela yang menghadap ke jalan. Di jendela itu ada seorang anak laki-laki. Dia juga menghabiskan waktu berjam-jam memandang keluar dari jendelanya. Tapi, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di jendela untuk memandang ke seorang gadis cilik yang memandang dunia dari jendelanya.

Kemudian, suatu hari pemuda tersebut mengetuk pintu rumah di seberang jalan.

Gadis itu membuka pintu dan mereka berdua tersenyum.

Bintang-bintang lahir dan alam semesta terbentuk oleh getaran detak jantung yang berdebar hebat menimbulkan ledakan kosmik. Riak gelombang besar melanda dunia dan naik seperti paru-paru menghirup udara kehidupan. Pemuda dan gadis itu mengelus beledu langit, mencium bulan purnama di malam musim kemarau yang hangat.

Beberapa tahun kemudian, mereka menikah. Gadis itu sekarang menjadi seorang wanita dewasa. Dia melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan dan mereka hidup sebagai keluarga yang bahagia selama bertahun-tahun. Seperti rumah tangga umumnya, terkadang ada pertengkaran. Kadang melibatkan isak tangis. Namun, secara garis besar, pria dan wanita  serta anak laki-laki mereka hidup bahagia.

Bersama bertambahnya waktu, bayi laki-laki menjadi seorang pemuda. Dia pindah ke lain kota jauh di seberang pulau, mengarungi dunia luas.

Waktu terus berlalu, wanita dan suaminya menjadi tua renta.

Inti bintang mendingin saat entropi menyebar melalui alam semesta yang tak lagi mampu bergetar bersama bersama detak jantung yang lemah. Gelombang pasang surut setiap kali naik ke tepian menggeser garis batas. Udara semakin gelap dan tipis.

Suatu hari, lelaki tua itu meninggal. Dan setelah pemakaman, setelah air mata habis menetes di pemukaan album foto usang, setelah semua keluarga dan teman-teman pulang untuk meneruskan hidup mereka, wanita tua itu duduk sendirian di rumah tuanya sambil memandang ke luar dari jendela lamanya.

Jam demi jam, hari demi hari, dia menghabiskan banyak waktu melihat keluar dari jendela itu sambil menggosok tangannya yang keriput dan lelah. Dia menghabiskan banyak sekali waktu melihat ke luar jendela, melayangkan pikirannya pada pemuda kecil yang bertahun-tahun lalu mengetuk pintu rumahnya.

Tidak ada seorang pun di jendela rumah di seberang jalan itu sekarang. Rumah yang kini kosong tanpa warna rindu, bahagia atau kesedihan.

Suatu hari yang sunyi, alam semesta dan arus pasang surut berhenti untuk wanita tua itu.

Dan di suatu tempat, di luar alam semesta yang kita kenal, lelaki tua itu mendengar pintunya di ketuk. Dia membuka pintu.

Wanita tua itu berdiri di sana, dan mereka berdua tersenyum.

Bandung, 2 Januari 2018

***