Semangkuk Mie Ayam

Sabtu, 30 Desember 2017 | 16:11 WIB
0
884
Semangkuk Mie Ayam

Ketika malam semakin larut, hujan pun turun dengan deras. Petir menggelagar. Kilatan cahaya tak henti-hentinya menyala. Udara dingin menusuk. Soleh berjalan di bawah guyuran air hujan. Melangkahkan kakinya yang mungil dengan kemarahan. Membawa payung tapi tak ia gunakan.

Air matanya menetes. Tubuhnya dibiarkan basah. Semakin basah juga hatinya yang resah. Semakin malam, semakin jauh langkah kaki yang ia gerakan. Entah kemana tujuan kaki mungilnya melangkah. Tidak ada yang tahu, bahkan ia sendiripun tidak tahu.

Hingga sampai di sudut jalan, ia menemukan tempat berteduh. Ia duduk dengan kaki yang terlipat ke dada. Tangan kecilnya merangkul kaki yang terlipat itu. Kepalanya tertunduk, tubuhnya kedinginan. Menggigil hebat seperti terserang hipotermia di kutub utara.

"Tok.. tok.. tok... Mie Ayam. Tok.. tok.. tok... Mie Ayam.."

Seseorang sedang berkeliling menjajahkan mie ayam di bawah hujan deras. Dengan menggunakan gerobak kayu yang nampak reot. Berjalan perlahan, melihat kanan-kiri berharap ada seorang pembeli yang memanggil dirinya.

Tidak henti-hentinya penjual mie ayam itu mengetok kentongan guna memanggil para pembeli. Tapi saat itu hujan deras, wajar saja jikalau sepi pembeli. Orang-orang enggan keluar rumah. Beda halnya dengan hujan yang hanya rintik-rintik apa lagi hujan tidak sedang turun, orang-orang pasti mau keluar rumah untuk membeli mie ayam yang ia jajahkan.

Penjual itu terus berjalan tak henti, keluar-masuk gerbang perumahan dari perumahan satu ke perumahan yang lainnya. Menulusuri jalan raya, kemudian penjual mie ayam melihat seorang anak kecil di sebuah gubuk nasi uduk yang sudah tutup. Hatinya merasa terpanggil dan penjual mie ayam itu menghampiri.

"Hey, Dik.. bangun..." Penjual mie ayam coba membangunkan anak kecil yang tertunduk kedinginan. "Bangun, Dik."

Anak kecil itu mengadahkan kepala dan bertanya kepada seseorang yang membangunkan dirinya dari tidur. "Ada apa, Bang?"

"Siapa namamu, Dik?" Tanya penjual mie ayam.

"Soleh, Bang."

Penjual mie ayam itu mengeluarkan pakaian yang dibungkus kantong pelastik berwarna hitam.

"Ini, cepat ganti pakaian mu dengan yang ini. Ga perlu merasa malu, ganti celanamu dan bajumu!"

Dengan lugu Soleh menuruti apa yang diperintahan penjual mie ayam tersebut. Ia mengganti pakaiannya.

"Agak kebesaran yah, Dik?"

"Iya, Bang. Pakaianmukah ini?"

"Iya. Tapi nggak apa-apa, itu jauh lebih baik dari pada pakaianmu yang bisa membuatmu masuk angin."

"Kenapa kamu ada di sini?"

"Anu, Bang. Tadi sore saya habis ngojek payung."

"Lalu?"

"Hasil uangnya diminta sama Ibu saya semua. Padahal dari hasil itu saya mau membeli sepatu sekolah. Saya kesal, lalu saya pergi dari rumah niatnya buat ngojek lagi, tapi sampai malam ini saya masih belum bisa melupakan kekesalan itu, Bang."

"Ohh jadi seperti itu ya.."

"Iya, Bang. Saya minta dibelikan sepatu ke Ibu, Ibu selalu jawab, nanti-nanti. Minta ke Bapak saya, Bapak selalu jawab, sabar dan sabar. Saya harus meminta ke siapa lagi kalo bukan ke diri saya sendiri yang harus berusaha?"

"Baiklah, aku mengerti perasaanmu. Begini Dik Soleh yang baik hatinya, terkadang apa yang kita inginkan sulit kita dapatkan dan yang kita dapatkan bukanlah yang kita inginkan. Ternyata, disaat Tuhan memberi apa yang kita inginkan, keinginan tersebut tidaklah cukup membuat kita bahagia. Maka, mintalah yang terbaik."

Soleh terdiam, tak mampu berbicara apa-apa. Kata-kata itu berkecamuk di hatinya. Sejenak ia berpikir memikirkan kondisi Ibu dan Bapaknya yang tertatih meraih sesuap nasi, sementara dia sedang menyantap mie ayam yang diberikan oleh pejual itu dengan lahap.

"Baik, Bang. Saya mengerti. Sunguh saya mengerti. Terimakasih banyak, Bang. Atas pertolongannya. Saya sangat menyesali, saya ingin segera pulang."

"Pertolongan apa?"

"Abang sudah menasehati saya dengan bijak dan memberikan pakaian ini, juga memberi semangkok mie ayam ini yang sangat nikmat."

"Sudah, sudahlah, Dik."

"Bagaimana saya bisa membalas kebaikan Abang. Sementara saya tidak punya apa-apa..."

"Sudah, sudah. Ku Bilang sudah, Dik. Kamu begitu berterimakasih kepadaku, sementara kamu marah ketika orang tuamu membutuhkanmu. Apa kamu tau, orang tuamu bilang sudah kenyang padahal ia lapar, dan makanan yang ada hanya diberikan untukmu agar kamu makan sampai kenyang. Apalah arti semangkuk mie ini."

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2017/12/24/kopi-traktiran/