Waktu kampanye kemarin, saya lihat Cagub dan Cawagub berbusa-busa mulutnya menjelaskan program OK-OCE. Katanya ini adalah terobosan program yang penting untuk membangun kewirausahaan di Jakarta.
Ada spanduk beredar: Mau bangun usaha? Modal dicariin, lokasi siapkan, pembeli didatangkan. Kalau mati, pasti disholatin, plus dijamin masuk surga. Apalagi yang kurang?
Hidup begitu mudah: Masih kecil bersenang-senang, saat muda berfoya-foya, tua kaya-raya, dan mati masuk surga.
Pengusaha mana yang gak mau diberikan program seperti itu? Bahkan seorang pemalas yang kerjanya setiap hari ngadu semut juga akan tertarik jadi seorang pengusaha. Betapa mudahnya, cuma mangap sebentar, langsung dapat duit.
Eh, rupanya modalnya bukan dicariin. Tapi diarahkan ke bank. Sama seperti kalau mau pinjam duit di bank pada umumnya, Perlu agunan. Perlu proposal kredit. Perlu kelayakan usaha. Juga harus membayar bunga.
"Lho selama ini memang begitu kalau mau pinjam duit di bank. Anak bebek yang masih balita juga sudah tahu. Lalu buat apa ada OK-OCE?" tanya Abu Kumkum.
"Ya, buat membuka lapangan kerja."
"Lapangan kerja untuk siapa?"
"Untuk orang-orang yang akan memberi pelatihan OK-OCE itu. Mereka lebih butuh pekerjaan ketimbang rakyat Jakarta," jawab Bambang Kusnadi.
"Jadi program ini justru untuk memfasilitasi orang yang sok-sokan memberi pelatihan? Dia dibayar untuk ngoceh, ngajarin orang jadi pengsuaha, sementara dia sendiri dapat kerjaan dari ngocehnya itu?"
"Ah, akang kayak gak tahu aja..."
Jadi dalam program OK-OCE, perkara modal sudah selesai. Kalau mau pinjam duit, pinjamnya di bank. Bukan di dukun sunat. "Jelaskan, bapak-bapak?"
"Jelassssss...."
[irp posts="6639" name="Ketika Jokowi Diseret Sandiaga ke Keruwetan Pasar Tanah Abang"]
Sekarang soal lokasi usaha. Dulu para PKL dan pengusaha kecil, dikelola oleh preman untuk menempati trotoar dan jalan. Tentu saja dengan membayar sejumlah duit tertentu kepada preman. Preman itu mengokupasi fasilitas umum, membendung jalan, lalu lapaknya dijual kepada PKL. Itu tentu gak boleh.
Karena melanggar UU tentang penggunaan jalan juga aturan soal trotoar, ahirnya pedagang sering dirazia Satpol PP. Tugas Satpol PP memang memastikan jalan sesuai fungsinya. Sedang tugas preman, menjual lapak jalan umum kepada pedagang.
Tapi kini tidak perlu lagi ribut-ribut. Sesuai janji kampanye Pemda telah menyiapkan lokasi usaha. Di mana lokasinya? Di tengah jalan!
Proyek percontohan sedang dicobakan di Tanah Abang. Jika proyek ini berhasil, maka akan diluaskan ke Jalan Sudirman, Thamrin, Kuningan, Gatot Subroto. Jika kurang juga, mungkin tol dalam kota juga akan dijadikan lapak PKL.
"Semua orang bisa jualan bebas, dong Mbang?" kata Abu Kumkum.
"Oiya bebas. Aku nanti mau buka kios bubur pas di depan gedung DPR-MPR. Di tengah jalan tol dalam kota," ujar Bambang Kusnadi.
"Kalau aku mau jualan minyak telon oplosan di tengah-tengah lobi hotel Kempinsky. Tendanya sudah ada, bekas kampanye dulu. Ada wajah anies dan Sandi juga," hayal Abu Kumkum.
Bagaimana mencarikan pembeli? Di Tanah Abang, pembeli dicarikan dari penumpang kereta api yang saban hari turun naik. Mereka harus jalan kaki melewati lapak-lapak kaki lima. Angkutan umum dilarang lewat, karena jalan ditutup.
"Masa kalau mereka jalan kaki, beli air mineral aja gak mau?" begitu logika Pemda.
Jadi sudah genap, ya? Modal dicariin. Maksudnya ditunjukan alamat bank-nya.
Lokasi disiapkan, maksudnya silakan mengokupasi jalan semaunya.
Pembeli dicariin, dengan dipaksa jalan kaki melewati dagangan PKL di tengah jalan.
"Gubernur dan Wagub gue sih, gak pernah bohong dengan janji kampanyenya. Semua dipikirkan dengan matang."
"Soal janji tidak menggusur? Itu kemarin di Jatipadang, dia mau menggusur rumah juga?"
"Bedain, dong. Itu cuma digeser, bukan digusur. Jadi nanti Gubernur gue akan mendatangi rumah-rumah itu, terus dia ngomong dengan santun kepada yang punya rumah. 'Mas, tolong geseran dikit, dong.'..."
"Kayak duduk di bangku Warteg, ya mblo?"
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews