Kelemahan dan Keunggulan Generasi Millennial

Senin, 25 Desember 2017 | 05:00 WIB
0
2172
Kelemahan dan Keunggulan Generasi Millennial

Setiap generasi membawa ciri sekaligus konsekuensi. Penamaan atau nomenklatur "generasi" itu juga disepakati begitu saja oleh dunia Barat, misalnya mereka mengenal Generasi Baby Boomers dan setelahnya Generasi X. Saya membandingkan generasi Millennial dengan generasi sebelumnya, katakanlah generasi Baby Boomers, karena saya menjadi bagian dari generasi terdahulu dibanding Millennial.

Anak saya yang lahir tahun 1996 barulah bisa dikatakan Millennial. Boleh dibilang, Baby Boomers melahirkan Millennial, sehingga dengan mudah membandingkannya, setidak-tidaknya membuat perbandingan meski tidak berpretensi melakukan pendekatan ilmiah dan teoretis. Ini hanya pengalaman semata yang ingin saya ungkapkan terkait dengan pertanyaan di atas.

Dalam praktiknya, saya tidak mampu mengarahkan anak saya, anak laki-laki yang kini telah berusia 21 tahun itu, sesuai keinginan saya sebagai orangtuanya. Pun juga istri saya yang lebih banyak berada di rumah.

Meski segala sesuatunya dipersiapkan seperti pendidikan formal, pendidikan akhlak, sekolah mengaji, kursus tambahan di rumah, tetap saja sebagai orangtua saya tidak bisa membentuk anak saya itu sesuai keinginan saya. Ia bukan tanah liat yang mudah dibentuk. Ia adalah badan yang berjiwa yang ingin membentuk dirinya sesuai keinginannya sendiri.

Ternyata, dia punya sudut pandang berbeda dalam melihat satu persoalan. Sekolah yang bagi saya dan orangtua saya dulu sangat penting, dengan enteng dipandang Millennial sebagai "tidak perlu". Dalam bahasa sehari-hari, "ngapain kuliah"? Saya tidak paham, apakah ini pertanda Millennial percaya diri tinggi karena teknologi dan persoalan kekinian sudah dikuasainya hanya melalui internet atau sekadar apologi bahwa sesungguhnya ia malas belajar?

Generasi saya sebagai ayah Millennial adalah generasi yang gila baca, kutu buku, mengejar diskusi di manapun dilaksanakan dan selalu punya adrenalin untuk menambah ilmu baru. Karenanya yang dikejar adalah buku sampai berjam-jam berada di perpustakaan atau berburu buku bekas di pasar buku loakan. Koran dan majalah bila perlu dilanggan dan tentu saja semua isinya diserap sampai tak bersisa. Sekarang anak-anak Millennial menyentuh koran pun tidak, apalagi membacanya.

Dari sisi "isi kepala", anak-anak Millennial tergolong "ampang" untuk tidak mengatakannya "kopong" dari sisi pengetahuan, apalagi kajian filsafat. Dengan komik yang mereka baca, apa yang bisa didapat? Tidak lain dari dunianya sendiri, dunia praksis, dan bahkan dunia hyper-reality karena kerakrabannya dengan dunia internet.

Tidak perlu berpikir berat, filsafat menjadi momok menakutkan dan dalam bahasa mereka, "Apaan tuh?" Meski saya yakin tidak semua anak Millennial begitu.

Sepanjang filsafat tidak dikomikkan, mungkin Millennial tidak akan pernah mengenal filsafat. Padahal, filsafat adalah "baboon"-nya ilmu-pengetahuan, berkembangnya dialektika, dan pemikiran baru yang menggugat atau bahkan menumbangkan teori lama. Bagi mereka, ini cuma buang-buang waktu. Games lebih mengasyikkan. Tetapi dari sisi teknologi informasi, anak-anak Millennial harus diakui memang jagonya. Baby Boomers atau Generasi X harus mengakuinya.

Bila perlu, mereka tidak bersekolah atau kuliah dan seharian berada di komputer pribadi yang sekarang sudah berujud gawai sebesar telapak tangan. Mereka menjadi tersambungkan satu sama lain melalui media sosial, tetapi tidak terlalu suka berinteraksi langsung melalui "kopi darat".

Mereka cepat bosan dan membaca dengan cara scanning atau bahkan jumping saja. Jadi, jangan terlalu berharap anak-anak Millenials membaca buku tebal dan memahaminya secara utuh. Bila perlu membaca summary-nya saja, itupun sudah untuk masih berkehendak membacanya.

Dalam pekerjaan, jangan harap mereka menjadi loyalis di sebuah perusahaan. Mereka cepat bosan dan cenderung mencari tempat yang nyaman dalam pengertian bebas mengekspresikan dirinya. Bila perlu ke kantor pakai celana pendek dan sandal jepit, tetapi mereka biasanya menaruh perhatian terhadap KPI yang ditentukan dan mengejarnya. Itu kebanggaan mereka. Gaji kecil bukan soal, yang penting bebas berekspresi itu tadi. Bahasa yang digunakan pun bukan bahasa resmi. Bila perlu "elu-gue" saja, termasuk saat berbicara kepada atasan.

Pada tahun 2030-2035 nanti, Indonesia akan mendapatkan bonus kependudukan yang sedikit banyak bakal diisi Millennial. Wajah Indonesia 15 hingga 20 tahun mendatang adalah generasi Millenials ini. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan para teknokrat dan konglomerat papan atas sampai Presiden RI pun berasal dari generasi Millennial ini. Itulah keuntungannya!

***