Chocholicious Indonesia dan Keberkahan Prinsip

Senin, 25 Desember 2017 | 16:01 WIB
0
437
Chocholicious Indonesia dan Keberkahan Prinsip

Pertama kali saya membaca tentang Chocholicious Indonesia (CI) ini dari postingan seorang teman di dinding publik Facebook dimana akun yang bernama Lanny Serestyen-Fransiska menyindir CI sebagai penjual kue yang rasis dikarenakan CI tidak mau menuliskan ucapan selamat Natal dan sejenisnya di dalam produk kue-kuenya. Postingan Lanny yang sempat viral tersebut kemudian ditanggapi secara resmi melalui Facebook Fans Page CI.

"Dengan segala kerendahan hati dan segala hormat. Sebelumnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami dari Chocolicious Indonesia belum bisa memberikan atau menyediakan tulisan ucapan selamat Natal dan semisalnya.

Bukan berarti kami tidak menghargai agama mas/mba. Akan tetapi dengan segala hormat inilah yang harus kami jalankan dari prinsip agama kami. Sekali lagi kami mohon maaf dari hati kami yang paling tulus dan rasa saling menghormati dan menghargai sebagai anak bangsa Indonesia.

Kami tetap menyediakan kartu ucapan dan papan cokelat sebagai kelengkapan pesanan mas/mba. Silakan diberikan ucapan sendiri. Sekali lagi, kami mohon perkenaannya."

We love you, Chocolovers 😊

Hormat kami,

Chocolicious Indonesia.

Meskipun telah ditanggapi secara elegan, sebagian netizen yang tidak menyukai sikap atau prinsip CI tersebut, tetap terus membulli dan berupaya memboikot serta menjelek-jelekkan produk-produk CI. Di antaranya dengan memberikan bintang satu pada CI Fanspage.

Namun yang terjadi malah sebaliknya. Tadi malam saya sempat melihat langsung, likers page CI "hanya" 20 ribuan, sekarang sudah mencapai 37 ribuan hanya dalam semalam. Reviewer bintang lima juga meningkat drastis menjadi 25k vs bintang satu, sebanyak 1,8k.

Tren positifnya kemungkinan besar akan terus berlangsung.

Pertama-tama, saya mungkin perlu menyampaikan bahwa saya sendiri seorang muslim yang tidak mempersoalkan bolehnya memberikan ucapan selamat merayakan Hari Natal dan Tahun Baru. Pada faktanya, setiap tahun saya selalu menyampaikannya kepada teman-teman yang beragama Kristen. Mengingat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga SMA di lingkungan sosial budaya yang hampir 100% beragama Kristen.

Lingkungan yang sikap toleransinya sangat tinggi. Kemudian, belasan tahun yang lalu saya sempat bekerja freelance sebagai graphic designer di perusahan percetakan skala kecil. Sehingga ada beberapa kali mendesain ucapan selamat Natal dan Tahun Baru.

Nah, di sini saya hendak menyampaikan sedikit opini bahwa saya salut dan kagum dengan keteguhan CI dalam memegang prinsip yang diyakininya. Mereka tidak takut bisnis mereka akan jatuh dikarenakannya. Alih-alih jatuh, yang terjadi malah sebaliknya.

Sikap mereka pun tidak melanggar norma toleransi antar ummat beragama dan hukum yang berlaku di negara kita. Sikap yang berdasarkan prinsip "Lakum dinukum waliadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku." Prinsip yang sangat efektif menjaga kerukunan antar ummat beragama.

Di sinilah letak kedewasaan kita dalam hal toleransi antar ummat beragama diuji. Apakah kita bisa menerima perbedaan secara dewasa atau tidak.

***