Cinta Abadi

Minggu, 24 Desember 2017 | 16:22 WIB
0
484
Cinta Abadi

Ketika aku menikahi Helen, aku tidak tahu persis apa yang akan aku hadapi.

Tinneke baru saja meninggalkanku. Aku juga kehilangan pekerjaan.

Syafri sudah memperingatkanku: "Terlalu cepat, sob!"

Dia sering bilang begitu saat aku mulai membicarakan Helen.

Namun dia akan mendengarkannya, setiap bunyi dari kata-kataku.

Siapa yang tidak menyukai deskripsi yang mendetail tentang kekasih teman akrabmu yang sedang kasmaran? Oh, aku menjelaskannya  secara rinci kepada Syafri, dan dia membiarkanku mengoceh dengan segenap gairah, temanku yang bodoh itu. Dia akan menangkap suaraku tanpa sekalipun mencoba memotong kalimat yang kumuntahkan ke ruang pendengarannya.

Tapi segera setelah aku menuntaskan isi hatiku yang ditandai dengan jeda satu menit diam, dia akan mengatakan bahwa dia sudah pernah mengalami hal yang sama denganku sebelumnya, dan itu sama sekali bukan jalan yang ingin dilaluinya lagi. Terutama saat dia ingin menjalani hidup yang tenang, menikah,  anak-anak, menetap. Begitulah yang dikatakannya sambil tertawa cengengesan. Sulit bagiku untuk percaya bahwa kata-katanya sebagai amaran yang diucapkan dengan maksud serius.

Bukannya aku ceroboh. Aku sangat putus asa saat itu. Aku tidak ingin sendirian. Aku terdampar. Aku bukan diriku sendiri. Dan dia manis sekali, sumpah!

Kami mulai berkencan setelah tiga bulan berkenalan. Ini berlangsung selama enam bulan lagi.

Dia wanita yang keibuan. Tubuhnya langsing, kulitnya lebih terang dariku dengan tawa yang menggelitik telinga, dan terkadang bisa mengganggu syaraf. Jika tersenyum seperti tertahan oleh pikiran buruk. Namun mata besarnya yang pertama menarik perhatianku. Lekuk liku tubuhnya adalah bonus semata.

Pernikahan kami stabil. Helen sedang putri kedua, dan aku tak terlalu mempersoalkan jika ternyata kami tak punya anak laki-laki.

Aku memiliki pekerjaan memberikan penghasilan lebih dari cukup. Jauh lebih dari cukup. Mestinya aku bahagia, tapi nyatanya tidak.

Aku tahu aku mencintai Helen. Ini kuucapkan dengan sungguh-sungguh. Kalian bisa memintaku bersumpah untuk ini. Aku selalu jujur padanya, kecuali tentang Tinneke. Aku tak bisa menghancurkan impiannya dan merusak keluarga yang kumiliki.

Aku akan menjadi laki-laki yang kejam jika hal itu sampai terjadi. Helen wanita yang baik. Dia punya masalah, tapi dia tidak pantas kuperlakukan seperti ini.

Sudah mencoba beberapa kali aku mencoba untuk berhenti pikirkan Tinneke, membunuh semua kenangan bersamanya. Semua email telah kuhapus, menghapus foto-foto dari gawai dan media sosial saat kami berdua. Namun Tinneke tidak pernah membiarkan aku sendiri.

Aku merindukannya. Aku masih mencintainya. Tiga tahun setelah dia pergi meninggalkanku.

Aku tidak sepenuhnya bersalah. Tinneke adalah cinta pertamaku. Panjang jalan yang telah kami lalui bersama. Hidup menjadi asing saat dia tak ada. Tinneke adalah—adalah ... hidupku.

Aku seorang ayah yang mempunyai istri yang baik. Tapi aku tak bisa hidup tanpa mantan kekasihku. Akhirnya, aku telah mengungkapkan isi hatiku!

Aku mencintai istriku. Namun saat Helen membuatku kesal atau sedih—saat-saat masa dia begitu sensitif dan begitu juga aku—maka aku akan menyetir sejauh hampir 19,7 kilometer untuk menjumpai Tinneke. Di hadapannya, aku menangis dan berkata padanya betapa aku merindukannya. Bahwa dia kejam meninggalkanku sendiri. Bahwa aku menginginkannya kembali.

Biasanya, aku menghabiskan sisa sore bersama Tinneke, berbicara dan teus bebicara sampai kehabisan kata-kata.

Lalu jari telunjukku akan menyusuri huruf demi huruf dari namanya yang terukir di pusara. Mengucapkan selamat malam dan pulang ke rumah, bertanya-tanya apakah dia pernah mendengarkan keluh kesahku.

Bandung, 24 Desember 2017

***