Watak Hubungan Palestina dan Indonesia

Sabtu, 23 Desember 2017 | 06:28 WIB
0
519
Watak Hubungan Palestina dan Indonesia

Hari  Jumat, nanti setelah Sholat Jumat biasanya di Jogja selalu saja ada aksi Bela Palestina. Tidak ada angin mendesir halus pun, bila ada waktu longgar (dan mungkin sedikit dana), pasti di sekitaran kantor pos Jogja akan berkumpul selingkaran manusia membawa-bawa bendera Palestina. Apalagi saat ini, ketika isu Palestina mencapai puncaknya, ketika Jerusalem resmi diakui oleh Donald Trump sebagai Ibukota Israel.

Donald Trump di sini, harus dipahami tidak selalu mencerminkan sikap umum unsur pemerintahan resmi, apalagi sikap pribadi politikus lain, apalagi warga AS secara keseluruhan. Perlu diketahui juga, bahwa secara diam-diam Israel sejak mungkin 10 tahun lalu, telah memindahkan perangkat dan bangunan pemerintahannya dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Alasan umum, yang digunakan adalah bahwa hanya Israel-lah yang mampu menjamin "keterbukaan, keamanan, dan keadilan" Jerusalem sebagai kota suci tiga agama terpenting di dunia. Di sinilah mungkin makna penting yang menjadi "ambigu", membingunkan secara politik bagi seluruh masyarakat global. Kenapa ambigu?

[irp posts="6385" name="Palestina Tetap Menyatakan Jerusalem Timur Ibukota"]

Di satu sisi, sulit dipungkiri bahwa sejak 1948 ketika Israel memerdekakan diri (atau lebih tepatnya dimerdekakan oleh Inggris) dengan diberi wilayah untuk dikuasai bagi kaum Yahudi diaspora, ia memang bisa memberikan jaminan bagi seluruh warga dunia mengunjungi Jerusalem untuk berziarah.

Sebagai ilustrasi dasar, wilayah suci Jerusalem terbagi empat bagian yang disebut, sebagai bagian Islam, Katolik, Yahudi, dan Kristen Ortodok Armenia. Artinya apa? Berdasarkan komposisi penganut agama sedunia (tanpa menyebut sektenya), kota ini mempunyai pengaruh kuat bagi umat Kristen yang jumlahnya pada tahun 2010 sebanyak 2,2 M (31,5%), Islam 1,6 M (22,32%), dan Yahudi 14 juta (0,2 %).

Israel lebih dipilih oleh kekuatan Pax Britanica (ini adalah wilayah pengaruh Inggris di dunia) untuk menjadi wakil mereka di tanah suci. Kenapa ia tidak memilih Palestina? Di sinilah letak, persoalan yang selalu menjadi perbedaan pemahaman yang jauh lebih besar dan mendasar.

Saya selalu setuju dengan pendapat H. Agus Salim, yang dinyatakannya jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut beliau Palestina lebih menunjukkan citarasa Arab, dibanding Yahudi yang lebih bercitarasa global. Karena itu pertentangan Arab-Yahudi di Palestina bukanlah pertentangan karena agama. Hal ini lebih soal nasionalisme rakyat Palestina yang terbit karena perasaan kebangsaan yang dilukai dan hak-hak sebangsa yang dilanggar oleh kekuasaan Inggris.

Padahal kita tahu, bahwa Palestina sendiri tidak bersifat tunggal (untuk tidak menyebut Islam), ia adalah bangsa plural yang mungkin jauh lebih plural dari bangsa Arab manapun. Di dalam tubuh bangsa Palestina juga terdapat yang beragama Kristen bahkan Yahudi. Di dalamnya pun tumbuh ideologi yang paling beragam mulai dari yang Islamis, bahkan di dalamnya terbelah secara kuat antara Syuni dan Syiah.

Jangan lupa menyatukan keduanya sama sulitnya dengan mendamaikan Saudi dengan Iran. Juga terdapat golongan ideolis demokratis-sekuler, sosialis, bahkan ketika di mana-mana ketika ideologi komunis telah mati, di Palestina malah masih berkembang dengan baik.

Persoalan-persoalan inilah yang menegaskan sekali lagi, persoalan Palestina bukanlah masalah agama tetapi nasionalisme. Ia adalah bangsa di mana ketika nyaris, seluruh dunia sudah menyandang diri sebagai negara merdeka. Ia menjadi sepotong negara yang masih tertinggal terjajah.

Realitas lain yang perlu dipahami, jangan lupa bahwa Palestina itu adalah suatu bangsa, ia pun mengalami kolonisasi yang panjang sejak masa Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Aursalaim di tahun 1187, sampai runtuhnya Kesultanan Turki pada 1918. Sebelum kemudian sejak berakhir PD I dan dilanjut PD II di bawah kekuasaan Inggris.

Peran Indonesia

Lalu di mana keunikan hubungan antara Indonesia dan Palestina? Lagi-lagi hal ini diawali oleh seorang putra Jogjakarta (asli Kotagede) bernama Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973). Pada pertengahan tahun 1920-an, ia datang ke Mesir, selain kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul Ulum. Ia juga aktif memperkenalkan Indonesia yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui tulisan-tulisannya di surat-surat kabar Mesir seperti Al-Ahram, Al-Balagh, Al-Fatayat, dan Al-Hayat.

Berkat aktivitasnya itu, Mudzakkir populer di Mesir. Pada 1931, Mudzakkir diminta oleh Mufti Besar Palestina, Sayyid Amin Al-Husaini untuk mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina sebagai wakil umat Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mudzakkir untuk lebih mengenalkan Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim dan meminta dukungan Muktamar bagi perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Mengenai peristiwa ini, Tashadi, penulis biografi Mudzakkir, menulis: "Kongres Islam di Palestina pada tahun 1931, bagi bangsa Indonesia yang terjajah merupakan satu tonggak sejarah. Ia berani menentang seluruh struktur kolonial Belanda pada 1930, yakni ketika Perdana Menteri Belanda, Colyn, mengatakan bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia kokoh seperti gunung.

Dari sinilah, tidak salah bila ada anggapan bahwa Palestina memiliki andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks inilah, harusnya dipahami kenapa di Jogja penuntutan kemerdekaan Palestina tak pernah padam dan terus bergelora. Jejaknya terlalu jelas dan pantas diteladani!

Dalam konteks ini pulalah, Jokowi barangkali harus dipahami kenapa sedemikian ngotot ikut bersuara dan bergerak menentang apa yang dilakukan Trump. Sialnya wadahnya adalah organisasi yang bernama OKI yang notabene sektarian melulu Islam. Hal inilah yang sering disalahpahami bahwa permasalahan Palestina sebagai masalah agama. Padahal mestinya Palestina adalah masalah global yang jauh lebih mendasar: penegakan HAM dan nasionalisme yang terenggut.

Ia adalah persoalan penjajahan, yang memang harus dihapuskan dari muka bumi (sebagaimana amanat UUD 1945). Hal inilah yang menjelaskan kenapa bahkan banyak warga Yahudi, baik di Israel sendiri maupun di berbagai belahan dunia lain ikut menentang kebijakan Trump. Ia menilai apa yang dilakukan Trump hanya memperpanjang derita mereka, terutama stigma negatif yang harus mereka tanggung sebagai warga atau minimal keturunan Yahudi.

[irp posts="6140" name="Selain Ikhtiar Diplomasi, Indonesia Bantu Palestina dengan Berdoa"]

Padahal jangan lupa sumbangan besar etnis Yahudi sebagai warga negara dunia yang sangat luar biasa. Lebih dari 150 orang, paling banyak di dunia yang memeproleh Hadiah Nobel, yang mencakup semua bidang: Kedokteran, Fisika, Ekonomi, Sastra, bahkan Perdamaian.

Mereka menyadari satu-satunya cara untuk memgakhiri hal ini adalah dengan mengakui kemerdekaan Palestina secra penuh dan melakukan pembagian yang adil untuk hidup secara bersama. Termasuk di dalamnya masalah Jerusalem, tanpa campur tangan yang berlebihan dari pihak manapun.

Campur tangan asing dan campur aduk persoalan agama dan nasionalisme inilah yang memperumit persolan Palestina, yang diperburuk dengan konteks Jerusalem yang harusnya dijadikan koloni internasional, simbol perdamaian dunia, yang lepas dari ikatan agama, etnis, dan negara.

Apa yang terjadi di Indonesia hari ini adalah simplifikasi masalah sebagai tegakkan Palestina, hapuskan Israel. Atau dalam konteks agama bangkitkan Islam, lenyapkan Yahudi. Di luar gak mungkin, juga memperpanjang persoalan.

Kunci persoalan inilah yang sering membuat bahkan Kedutaan Palestina sendiri risi dan jengah, ketika bendera mereka dibawa-bawa dalam banyak persoalan domestik bernuansa agama. Mereka menyadari bukannya agama menolong mereka segera keluar dari masalah, tetapi semakin memperumitnya. Dan itu terbukti terjadi.

Sentimen agama itu baik, tapi bila berlebihan justru akan semakin sulit menyelesaikan masalah. Dan itulah yang dilakukan oleh "sebagian umat" yang keburu nafsu, kurang bacaan dan kurang menimbang masa depan yang lebih berkeadilan dan saling bersedia berbagi!

***