Sadar Dirilah, Kang Emil, Anda Bukan Kader Parpol!

Rabu, 20 Desember 2017 | 07:47 WIB
0
138
Sadar Dirilah, Kang Emil, Anda Bukan Kader Parpol!

Mundurnya dukungan Partai Golkar terhadap Ridwan Kamil selaku calon gubernur Jawa Barat menyisakan sebuah dikotomi akut yang sudah lama diidap politik modern Indonesia, yaitu kader partai politik versus orang independen. Dalam pusaran politik Pilkada, hanya berapa gelintir saja calon independen yang mampu melaju dan menaklukkan kader parpol. Selebihnya, mereka bahkan tersapu sebelum melaju.

Contoh terbaru adalah Ridwan Kamil atau biasa disapa Kang Emil. Dengan alasan tak kunjung menemukan jodoh padahal calon jodoh sudah dimakcomblangi Golkar, yaitu tinggal meminang Daniel Muttaqien, Kang Emil akhirnya harus gigit jari. Ia dtinggalkan Partai Golkar karena belum meminang kader partai golkar itu sebagai bakal calon wakil gubernurnya.

Untuk mencari bakal pendampingnya, Ridwan Kamil lebih memilih membuka jalur indenden, suatu tindakan yang menyinggung marwah Partai Golkar sebagai partai besar pemilik kursi yang cukup signifikan. Selain itu, Kang Emil ditetapkan saat Setya Novanto dan Idrus Marham masih memimpin Golkar. Sekarang, kepemimpinan sudah beralih ke Airlangga Hartarto. Desakan untuk menyingkirkan Ridwan Kamil yang bukan kader partai pun menyeruak.

[irp posts="2698" name="Ridwan Kamil Terancam Nunggeulis" Alias Ditinggal Sendirian"]

Di sini terlihat, pusaran arus Pilkada Jawa Barat sedemikian kencang. Siapa yang menguasai Jawa Barat dianggap jalan mudah menuju pentas politik nasional, yaitu Pemilu dan Pilpres 2019. Golkar tidak ingin bakal calon wakil Kang Emil disosor partai politik lokal lainnya yang juga mengincar posisi itu seperti PKB dan PPP.

Ketika alasan telat menemukan jodoh dijadikan alasan Golkar, maka melayanglah kesempatan Kang Emil. Dia tidak bisa berjalan sendiri dengan hanya mengandalkan dukungan Nasional Demokrat yang cekak dalam perolehan kursi di DPRD Jawa Barat, yaitu cuma lima kursi. Alhasil Kang Emil yang memiliki elektabilitas tertinggi dan tanpa tanding menjadi hanya dianggap sekadar "angin"; tak teraba tapi terasa.

Jauh sebelumnya, Ridwan Kamil membuat gusar PDI Perjuangan yang sudah menggadang-gadang dan melakukan PDKT intensif. Bahkan kalau sabar menunggu saja, RK alias Ridwan Kamil bisa cukup didorong partai banteng itu yang sudah memiliki kursi minimal 20 sebagai syarat bisa mengusung calon. Tapi apa lacur, Kang Emil tidak sabaran dan tergoda bujuk rayu setan, eh maaf, Nasdem. Ketika RK terbuai bujuk rayu itu, PDI Perjuangan tersinggung dan marah besar, yang akhirnya melakukan aksi mirp Menteri Susi terhadap RK: tenggelamkan!

Ketika surat keputusan dukungan terhadap Ridwan Kamil kemudian dicabut oleh DPP Golkar, kini, Golkar kembali sibuk membahas siapa bakal calon gubernur Jabar baru yang akan diusungnya.

Sudah pasti nama Bupati Purwakarta yang juga Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi kembali berada di atas angin dan mulai diperhitungkan, padahal secara elektabilitas Dedi masih "jauh tanah ke langit", disparitasnya bisa diibaratkan bagai "langit dan comberan" jika dibanding RK.

Kekuatan Bupati Purwakarta itu hanya pada bidang budaya, meski sesungguhnya ia mampu menata Purwarkata menjadi sebuah kabupaten "ikonik" di bawah kepemimpinannya. Akan tetapi, isu mengedepankan budaya adilihung Sunda yang dilekatkan dengan agama atau keyakinan "Sunda Wiwitan", bakal menjadi batu sandungan di mana warga Jawa Barat masih didominasi Islam tradisional yang taat. Jika isu "agama" ini diembuskan oleh lawan politiknya di Pilkada, maka Dedi Mulyadi  juga hanya akan menjadi "angin" alias tidak bisa berbuat banyak untuk meraih suara.

Dengan segala dinamika yang ada, Pilkada Jawa Barat sungguh sangat menarik perhatian. Moral cerita seperti ini; "Elektabilitas tinggi seseorang menjadi hampa tak berguna jika ia tidak menjadi kader partai atau minimal patuh dengan kehendak partai pengusung".

Sesungguhnya saat Golkar masih memegang janjinya, dengan 22 kursi bersama Nasdem, cukuplah untuk mengantarkan Kang Emil sebagai calon pengantin. Dengan hengkangnya Golkar, persyaratan kursi untuk maju tidak cukup meski ada PPP dan PKB yang sudah mendeklarasikan dukungannya. Yang mungkin terjadi, PKB dan PPP juga idem dito dengan Golkar, sama-sama meninggalkan RK.

[irp posts="6083" name="Dedi Mulyadi Kini Mulai Berani Melawan Ridwan Kamil"]

Yang berada di atas angin tentu saja calon dari Gerindra, Mayjen (Purn) Sudrajat. Meski elektabilitasnya masih berada di "comberan", toh dengan lengsernya RK namanya sebagai calon gubernur yang disorong Prabowo Subianto akan semakin diperhitungkan. Berhadapan dengan Dedi Mulyadi dari Golkar, sekali isu "SARA" diembuskan, tumbanglah bupati Purwakarta itu dengan mudah. Sudrajat dan timnya tinggal menata diri saja untuk merayap dari "comberan" ke bintang di langit elektabilitas.

Seharusnya Kang Emil berkaca pada Basuki Tjahaja Purnama yang mesti "bermulut besar" bakal didorong oleh Teman Ahok untuk maju sebagai calon independen, tetapi niat itu diurungkan. Ahok akhirnya harus maju lewat kendaraan PDI Perjuangan yang memiliki kursi dominan di Jakarta. Ahok sadar, sebagai "orang biasa" atau orang independen, ia tidak akan mampu menahan mesin partai politik yang datang menggilas.

Tetapi, RK terlalu percaya diri dan terlalu meremehkan permintaan Partai Golkar untuk segera menetapkan Daniel sebagai wakilnya. Memilih membuka jalur indenpenden untuk wakilnya jelas menyinggung harkat martabat Golkar sebagai partai besar. Selain menunjukkan RK kurang terampil dalam melakukan PDKT kepada partai politik, bagi Golkar sendiri ia sudah menunjukkan pembangkangan luar biasa.

Begitulah, ketika jodoh terlalu pilih-pilih, jebakan lubang jomblo abadi menganga di depan mata.

Jangan-jangan Kang Emil sudah terperosok ke lubang itu.

***