Benarkah susah mencari (calon) gubernur di Jawa, seperti Jabar, Jateng, dan Jatim, setelah DKI Jakarta? Bagi rakyat, sih, mudah. Tinggal pilih yang disodorin, atau tinggalin. Selebihnya tinggal menghitung siapa beroleh terbanyak.
Partai politiklah (yang berwenang dalam kontestasi demokrasi itu), yang mempersulit diri. Lihat bagaimana perjalanan Ridwan Kamil sampai hari ini di Jabar, hingga ancaman PKB jika kadernya tak ditunjuk sebagai cawagub. Sementara di Jatim, kita tak tahu apa yang dicari Saefullah Yusuf dan Kofifah Indar Parawansa tahun ini, dengan konfigurasi pendukung yang berubah total. Anomali adalah penyakit politikus.
[irp posts="5797" name="Prabowo Subianto Semakin Meneguhkan Dirinya sebagai Kingmaker""]
Sementara itu, tiba-tiba Sudirman Said, dimunculkan PKS, juga Gerindra, setelah sebelumnya ia bagian dari JK (Jusuf Kalla), ketika masih menjadi menteri. Meski kita juga tahu, Sudirman Said menjadi tim Anies Baswedan yang merupakan ‘orang’ Gerindra dan PKS dalam proyek mengalahkan Ahok.
Apa yang bisa dibaca dari semua itu menjelaskan, Pilkada 2018 hanyalah urusan para elite parpol (terutama para ketumnya), dengan proyeksi pada pilpres 2019. Apakah ada yang mikir gubernur untuk rakyat setempat? Tidak. Mikirnya, gimana gubernur menjadi panglima pengaman suara partai mereka di pileg dan pilpres 2019.
Siapa yang ingin melakukan itu? Biasanya, yang dirugikan pemerintahan berkuasa, di mana mereka tak diikutkan. Maka jadilah poros pelangi, gabungan orang-orang yang bukan sekedar tak puas, melainkan tak suka, bahkan benci banget, dengan Jokowi.
Siapa mereka? Kita sudah tahu, meski konfigurasinya aneh. Bagaimana Prabowo, kakak dari Hashim Djojohadikusumo (sayap Kristen dalam Gerindra) ini bisa didukung PKS dan kelompok Islam Wahabis, yang sebagiannya menginginkan khilafah Islam. Mereka ini gampang menuding pemerintahan Jokowi tidak islami, terus kemudian teriak kopar-kapir. Seolah orang percaya kalau sudah teriak-teriak gitu. Malah sebel.
Lebih aneh lagi, di situ bergabung Amien Rais, Rizieq Shihab, kelompok radikal yang merasa senasib (disingkirkan atau dipinggirkan oleh Jokowi), Klan Cendana dan para Soehartois. Meskipun ada juga Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Permadi, Nani S. Deyang, yang kita nggak ngerti mereka ini siapa dan apa mimpinya.
Bagaimana pun, Jawa adalah lumbung suara bagi pilegnas dan pilpres. Dan gubernur, sebagai representasi kekuasaan di masing-masing daerah itu, menjadi penting kehadirannya. Pertarungan yang mbulet dalam Pilkada 2018, bagian dari alarm besar 2019. To be or not to be untuk Prabowo. Jika pun tak bisa menyingkirkan Jokowi, bagaimana mereka bisa melakukan tawar-menawar posisi. Meski bagi Prabowo, mendingan menghindari pertarungan 2019, dengan mengorbankan orang lain. Daripada malu.
[irp posts="5134" name="Imam Besar Umat Indonesia dan Hormat Jokowi kepada Guru"]
Kelompok ini meyakini, Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin, awal konsolidasi mereka. Menguasai Jawa adalah menguasai Indonesia. Dan kita sudah menduga, model kampanye dan politik macam apa yang bakal dijalankan.
Untungnya, ada Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa, sesuai keputusan UUD 1945. Setidaknya bisa jadi perbandingan. Daerah setingkat provinsi ini, tak ikut-ikutan pemilihan yang konon gambaran sistem demokrasi. Tapi toh tanpa pilgub, tingkat kebahagiaan dan harapan hidup daerah ini, tetap tertinggi secara nasional. Indeks korupsi rendah, dan indeks demokrasi tinggi. Beda dengan DKI, yang tahun ini terpental dari 10 besar, dan menduduki peringkat 22 dari 34 propinsi.
Tapi, contoh Yogyakarta itu tak baik. Khususnya bagi yang biasa bikin proyek demokrasi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews