Mencari Politisi Damai Yang Tak Gunakan Agama Demi Raih Kekuasaan

Selasa, 19 Desember 2017 | 09:48 WIB
0
368
Mencari Politisi Damai Yang Tak Gunakan Agama Demi Raih Kekuasaan

Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2018, memasuki tahapan pendaftaran Bakal Calon Perseorangan. Komisi Pemilihan Umum menyelenggarakan Pilkada Serentak Jilid III pada 171 daerah. Sangat Banyak? Benar sekali, 171 daerah serentak akan mempengaruhi konstelasi politik nasional.

Namun, masih segar dalam ingatan, bagaimana kondisi bangsa jatuh sakit akibat politik. Hanya karena perebutan kursi kepala daerah. Indonesia yang terkenal dengan persatuan pun hampir tercerai berai.

Politik yang menyakitkan itu terjadi saat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Perbedaan yang menyatu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, seakan tidak berlaku pada Pilgub DKI Jakarta. Permainan politik mengikutsertakan isu agama menjadi akar masalah tak berkesudahan.

[irp posts="5694" name="Di Balik Pernyataan Irak, Masalah ISIS Telah Selesai"]

Di saat itu, persaingan terjadi antara pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Anies Bawesdan dan Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY. Politik Pilkada memang parah. Semua mainan menjadi ‘halal’ demi kemenangan. Tidak pernah kita belajar saling mencaci dan menghina. Tapi dalam politik, semua kejelekan menjadi benar.

Isu politik menyerang pribadi Ahok yang beragama Kristen dan turunan Cina. Konten politik juga merambah kepada Anies yang turunan Arab dan dikenal sebagai "Wan Abud". Sedangkan AHY mendapatkan serangan isu pemaksaan perintah politik keluarga. Masih banyak lagi masalah-masalah yang lahir akibat Pilgub DKI Jakarta.

Bhineka tanpa Tunggal Ika

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki motto hidup Bhineka Tunggal Ika. Kalimat itu berarti ‘berbeda tetap satu’. Kalimat indah ini lahir secara alami. Bhineka Tunggal Ika adalah nilai-nilai luhur Nusantara. Tumbuh dan berkembang sebagai pemersatu bangsa.

Dalam pencarian kalimat Bhineka Tunggal Ika. Ternyata, kalimat ini berasal dari kutipan kakawin jawa kuno. Wikipedia membantu kita mengetahui asal muasal dari kalimat indah penuh makna ini.

Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular, kutipan ini tertuang dalam pupuh ke 139 bait ke lima. Kakawin Sutasoma ini mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Bayangkan betapa luhurnya ajaran toleransi Bhineka Tunggal Ika. Kalimat sakti pemersatu ini sudah ada sejak masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14.

Bagaimana dengan kehidupan toleransi jaman sekarang? Mungkin perlu renungan mendalam untuk menjawab. Apakah kita masih memiliki semangat Bhineka Tunggal Ika?

[irp posts="5005" name="Reuni Akbar Aksi 212 Panggung Besar untuk Anies Baswedan"]

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kesatuan. Bukan homogen. Tapi Indonesia berdiri atas heterogen. Beragam-ragam jenis suku, budaya, agama, dan bahasa. Jadi, Indonesia harus bersatu dalam perbedaan. Bukan memaksa persatuan dalam mayoritas.

Sehingga, isu agama yang meruncing pada Pilkada Jakarta memang menyakitkan. Seandainya Ibu Pertiwi bisa bicara. Ibu akan menangis sembara berkata, “Wahai anak-anakku, apakah Bhineka Tunggal Ika sudah hilang dari jiwamu?”

Mungkin Ahok telah dinyatakan bersalah oleh palu hakim. Dia khilaf atas ucapannya. Tapi, apakah semua orang yang membela Ahok juga bersalah? Tidak kawan. Lihatlah mereka yang mendukung Ahok, Anies dan AHY. Awal dukungan karena melihat kinerja, visi dan misi. Bukan karena agama, turunan, dan hal-hal lain perusah persatuan bangsa.

Merindukan politikus damai

Menjelang perhelatan Pilkada 2018. Kita tidak menginginkan lagi perdebatan, fitnah dan tuduh menuduh. Cukup sudah ancaman kehancuran Bhineka Tunggal Ika di Pilgub Jakarta. Sudah saatnya semua warga negara bergandengan tangan. Saling bahu membahu untuk perdamaian.

Politik adalah politik. Ia (politik) adalah alat untuk mencapai tujuan. Sebatas itu dan tidak lebih. Jadi, berpolitik lah, karena politik juga hak asasi manusia. Hulu politik berasal dari hak untuk memilih dan dipilih. Hak politik ini dijamin oleh Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Hak asasi ini juga dijamin oleh konstitusi.

Dengan demikian, siapapun bebas berpolitik. Pemilih bebas menentukan pilihan. Calon bebas menyampaikan pesan politik. Semua merdeka dengan batasan aturan perundang-undangan. Oleh karena itu, demi menjegah keruntuhan bangsa akibat politik. Pilkada 2018 mengharapkan kelahiran para bakal calon kepala daerah dengan konsep politisi damai.

Politisi damai, seorang anggota atau kader partai atau pekerja politik yang memiliki tujuan menciptakan kedamaian. Damai dalam artian membangun toleransi dan kesetaraan. Damai yang bermakna sejahtera tanpa ada kelas-kelas sosial. Damai ini membangun perbedaan menjadi persatuan.

[irp posts="6214" name="Istana Iri, Anies Baswedan Kembali Raih Simpati Umat"]

Politisi damai akan membangun jaringan politik yang menyatukan keberagaman. Dia menerima perbedaan dalam pandangan. Lalu membahas isu bersama fakta yang disampaikan dengan lemah lembut. Politisi damai menghimpun kekuatan atas rasa cinta dan kasih sayang. Dia menawarkan gerakan anti perdebatan mengurat syaraf.

Polisi damai adalah calon kepala daerah yang ditunggu-tunggu. Dia sebagai penawar rindu akan persatuan. Dengan langkah yang santai. Politisi damai mengajak persaingan yang sehat. Orang seperti ini lah yang bisa menyelamatkan politik dari andagium buruk, kotor dan jelek. Silahkan berpolitik.

Tapi ingat, kita lahir sudah berbeda maka jangan perjelas dan hentikan permusuhan berbasis suku, agama, ras dan antar golongan. Lihat lah pelangi sebagai bukti nyata. Bahwa perbedaan warna yang bersatu menjadi indah.

***