Fahri Hamzah, Anomali Politik Kekinian Indonesia

Minggu, 17 Desember 2017 | 08:30 WIB
0
127
Fahri Hamzah, Anomali Politik Kekinian Indonesia

Politik Indonesia memang khas. Ada-ada saja ulah elit politik. Biasanya, bagi yang melawan elit partai. Maka sang kader bisa menerima pemecatan. Ini sih biasa. Mau dibahas beberapa kali. Mau melihat dari berbagai sudut pandang. Pemecatan kader sudah engga seru lagi.

Tapi, bukan politik Indonesia namanya jika memberikan hal yang biasa-biasa saja. Pembaca Peps pasti sudah tahu. Hal yang menarik kali ini juga telah dimuat oleh Pepnews dalam artikel Fahri Hamzah Menang “Hattrick”, PKS Dipecundangi Tiga Kali.

Kang Pepih Nugraha menuliskan kalimat yang menohok bagi pembaca wabil khusus para elit PKS dengan bahasa;

Memang masih ada dua upaya hukum lagi bagi PKS, yaitu kasasi ke Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali jika PKS menemukan bukti-bukti baru (novum). Akan tetapi untuk sementara ini, Fahri Hamzah menang “hattrick” lawan PKS, bahkan ironisnya PKS juga harus membayar denda sebesar Rp30 miliar. Benar-benar “hattrick” yang bertaburkan hadiah rupiah!

Ya begitulah politik di Indonesia. Ada saja yang lucu dan menggelikkan. Bahkan kasus Fahri Hamzah melawan PKS bisa dikatakan yang pertama. Fahri sekarang bukan hanya ‘solo fighter’. Dia juga pahlawan bagi para kader partai lain.

Fahri menjadi tolak ukur dan bukti nyata, bahwa setiap kader bisa mendapatkan haknya dengan melawan partai. Tentu saja perlawanan sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan. Kehebatan Fahri Hamzah menjadi yurisprudensi atau dalil hukum bagi para penggugat partai.

Di lain sisi, Fahri Hamzah seharusnya menerima penghargaan kader partai terhebat sepanjang masa. Fahri Hamzah adalah satu-satunya kader partai yang sanggup membuat partai sendiri jantungan. Atau bisa juga jantung para elit PKS hampir copot akibat ulahnya.

Fahri adalah anomali politik Indonesia. Tetap teguh mengakui ke-PKS-annya. Tetapi berani melawan penguasa partai. Berbeda dengan banyak kader partai lain, kisah pemecatan hanya sampai di media massa. Heboh di media sosial. Atau ngoceh di layar televisi.

Oleh sebab itu, Fahri Hamzah harus maju sebagai anggota DPD pada pemilu 2019. Kenapa? Karena PKS tentu saja tidak akan mengusulkan namanya pada daftar nama calon legislatif. Sungguh gila, kalau ada kader yang melawan partai, tetapi masih terdaftar sebagai caleg. Kalau iya, maka elit PKS harus berkonsultasi ke psikolog politik.

Nah, akibatnya, Fahri Hamzah harus pindah ke partai lain. Apabila dia masih niat menjadi anggota DPR untuk periode 2019-2024. Namun, partai mana yang berani menampung Fahri? Bayangkan saja, seorang diri sanggup melawan partai. Bila pindah ke partai lain, posisi elit partai bisa goyang.

Ada sih yang ngusulin Fahri pindah ke Partai Gerindra. Ini cerita di meja kopi rakyat jelata. Tapi, apa Prabowo Subianto siap menerima Fahri. Ingat loh, Prabowo itu mantan militer yang terdengar “otoriter” dalam memimpin. Jika kena goyang oleh Fahri, bisa-bisa kepemimpinan Prabowo di Gerindra usai sebelum dia tutup usia.

Degan demikian, sebagai Solo Fighter, Fahri harusnya mampu meraup suara pemilih via jalan DPD. Dia tidak perlu partai dan tidak harus mencari pendukung. Popularitas cukup mumpuni, sehingga, Fahri bisa memimpin DPD sebagai senator paling keras dan kritis.

Ada juga pilihan lain yang agak nakal. Bagaimana kalau Presiden Jokowi menerima Fahri Hamzah, lalu memaksakannya masuk ke struktur PDI Perjuangan. Sehingga, PDIP memiliki warna nasionalis yang pro kepada ummat sebagaimana perjuangan Soekarno. Nah, dengan cara ini, Jokowi bisa menggoyang kepemimpinan Megawati dan mengambilalih PDIP dari trah Soekarno.

Partinya, semua partai harus berpikir ribuan kali bila ingin meminang Fahri Hamzah. Bukan hanya pertimbangan peningkatan suara partai. Tetapi sikap tegas dan kritisnya mampu menggetarkan partai secara keseluruhan. Selamat meneliti dan mengkaji anomali politik dengan tokoh Fahri Hamzah.

“Tidak Penting, Tapi Perlu”

***