Bagaimana Cara Menjadi Menteri di Indonesia?

Minggu, 17 Desember 2017 | 17:49 WIB
0
5959
Bagaimana Cara Menjadi Menteri di Indonesia?

Beberapa waktu lalu di situs tanya-jawab Selasar, saya pernah mendapat pertanyaan unik dari seorang Selasares atau pengguna situs tersebut. Pertanyaannya, "Bagaimana cara menjadi menteri di Indonesia?"

Tentu saja menteri di sini adalah anggota kabinet atau pembantu Presiden. Karena keunikan dari situs itu si penjawab harus menjawab secara spontan tanpa harus membuka Wikipedia atau buku lainnya, maka saya pun menjawab pertanyaan itu dengan hanya mengandalkan ingatan. Saya menjawab begini....

Menjadi menteri boleh dibilang garis tangan saja. Tidak ada sekolah khusus untuk menjadi menteri. Menteri adalah pembantu presiden. Meski dekat dengan presiden, kalau garis tangan belum didapat, sekalipun meminta, tetap saja tidak akan menjadi Menteri. Di Indonesia, jabatan menteri sangat prestisius seolah-olah jabatan itu merupakan pencapaian tertinggi prestasi hidup manusia.

Kalau ada pertanyaan siapa Presiden paling hebat dalam mengatur orang-orangnya sebagai menteri, saya harus menjawab; dialah Presiden Soeharto. Pada zaman Soeharto berkuasa selama 32 tahun, tidak pernah terdengar kabar ia melakukan "kocok ulang" menteri-menterinya, kecuali pada saat akhir-akhir kekuasaannya, saat ia mengganti Menteri Penerangan Harmoko oleh Jenderal Hartono.

[irp posts="5599" name="Kekeliruan Menteri Susi di Hari Korupsi Internasional""]

Kesalahan Harmoko sederhana, ia terlalu "berkuasa" di Partai Golkar sehingga kadang ucapan dan tindak-tanduknya tidak terkontrol. Karena sudah diangkat menteri sejak tahun 1983, untuk menjaga agar tidak kehilangan muka, Soeharto membuat pos setingkat menteri yang benar-benar dibuat-buat, yaitu Menteri Urusan Khusus yang sering diplesetkan menjadi Menrakus.

Demikian "firm"-nya nama-nama menteri yang diangkat Soeharto seolah-olah nama itu menjadi jaminan mutu dalam mem-back up pembangunan yang dicanangkan Soeharto. Masing-masing menteri mendapat tugas sesuai bidang kerjanya atau kementeriannya. Anak-anak sekolah dasar wajib menghapal nama-nama menteri, mulai Menteri Luar Negeri Adam Malik sampai Menteri Agama Idham Chalid. Ada lebih dari 30 menteri atau setingkat menteri yang selalu mendampingi Soeharto selama lima periode lebih ia berkuasa.

Komposisi menteri zaman Soeharto berbeda dengan rezim-rezim setelahnya, apalagi setelah Reformasi di mana jatah menteri seolah-olah diperuntukkan bagi politisi atau pengurus partai politik pemenang pemilu.

Di zaman Soeharto, para menteri diisi para profesional, pakar, purnawirawan, teknokrat atau ABRI aktif, dan hanya segelintir saja pengurus partai yang berasal dari Golkar. Tidak mungkin ada menteri yang berasal dari PPP dan PDI.

Berbeda dengan di zaman rezim setelahnya, posisi menteri (demikian juga duta besar), seolah-olah menjadi bancakan para petinggi partai politik. Jika Presiden saat pemilu disokong sejumlah partai atau partai yang menyokong setelahnya, maka sudah dipastikan ada "jatah" dari partai tersebut. Sialnya, "jatah" itu diisi oleh para petinggi partai yang kental dengan politiking-nya, bukan oleh para profesional. Tidak jarang gonta-ganti menteri terjadi, seperti gonta-ganti pasangan saja.

Jika dahulu, zaman Soeharto menjadi menteri harus benar-benar profesional, pakar, teknokrat, dan orang-orang yang menguasa bidangnya, di zaman sekarang keputusan mengangkat menteri dilakukan melalui "jembatan" partai terlebih dahulu. Artinya, presiden memberi jatah kepada beberapa partai pendukungnya, maka partai politik tersebut mencarikan calon menteri dari kadernya, sangat jarang mencari kader yang benar-benar profesional di bidangnya.

[irp posts="5091" name="Peraturan Jokowi soal Menteri Rangkap Jabatan, Bagaimana dengan Puan?"]

Memang benar, ada dari kalangan profesional yang diangkat atau menjadi orang dekat presiden, tetapi karena menjadi presiden tidak bisa berjalan sendirian saat pilpres dan harus disokong partai lain, maka presiden harus memberi jatah kepada partai secara proporsional (kalau bisa) tergantung seberapa besar partai tersebut memberikan sumbangsihnya bagi presiden terpilih.

Sebelum memakhiri jawaban ini, saya mengingatkan, meski menteri adalah pembantu presiden, belum tentu seorang "pembantu" (menteri) loyal kepada "majikannya" (Presiden). Contohnya, saat pemerintahan Presiden Soeharto kolaps dan menunjukkan tanda-tanda bahwa kekuasaannya akan tumbang, sejumlah menterinya seperti Akbar Tanjung dan Ginandjar Kartasasmita melakukan hal itu. Selain Akbar dan Ginandjar, ada sekitar 10 menteri lainnya menolak diangkat kembali menjadi menterinya Soeharto.

Harmoko sendiri membelot dan berbalik melawan Soeharto saat jabatan ketua MPR berada di genggamannya. Harmoko yang dipecat Soeharto berbalik meminta Soeharto mundur, satu tindakan politik yang menyelamatkan Harmoko dari perundungan dan sempat dianggap sebagai "pahlawan reformasi" saat ribuan mahasiswa mengepung gedung parlemen.

BJ Habibie ternyata dianggap sebagai "Brutus" juga oleh Soeharto selain Ginandjar, Akbar, dan Harmoko. "Kesalahan" Habibie, kalau boleh dikatakan sebagai kesalahan, adalah tidak mau diajak sepaket saat Soeharto menyatakan mundur, yang naskah pidato pernyataan muncurnya disusun oleh Yusril Ihza Mahendra itu.

Habibie berpandangan, menurut konstitusi, jika presiden mangkat atau mengundurkan diri (karena suatu sebab), maka wakil presidenlah yang menggantikan kedudukannya. Soeharto menghendaki dia dan Habibie sama-sama "berhenti" dan nahkoda pemerintahan dijalankan oleh triumvirat. Pada saat-saat akhir keruntuhannya, Presiden Soeharto memang menempatkan BJ Habibie sebagai wakil presiden. Karenanya, Presiden Soeharto sangat kecewa atas tindakan BJ Habibie tersebut.

***