Tangkal Ideologi Radikal, Tanamkan Pancasila melalui Aplikasi

Sabtu, 16 Desember 2017 | 06:30 WIB
0
159
Tangkal Ideologi Radikal, Tanamkan Pancasila melalui Aplikasi

Dengan penduduk mencapai lebih dari 260 juta jiwa, penetrasi Internet terhadap penduduk Indonesia mencapai 50 persen. Menurut data Kemkominfo, kini pengguna Internet di Indonesia mencapai 132,7 juta orang. Sebanyak 52,5 persen pengguna pria, dan 47,5 persen perempuan. Sebanyak 86,3 juta penggunanya ada di Pulau Jawa atau mencapai 65 persen.

Yang cukup mecengangkan bukanlah banyaknya orang Indonesia berada di Internet dan telah menjadi “warganet” di sana, melainkan waktu yang mereka gunakan di dunia maya, yakni hampir sepertiga waktu dalam sehari-semalam mereka berada di Internet atau penjadi pengguna (Internet users) selama 8 jam 44 menit.

Jika ditarik ke angka 9 jam rata-rata, maka lebih dari sepertiga hidup warganet Indonesia selama 24 jam dihabiskan hanya untuk Internetan. Waktu yang relatif panjang ini menyita atau merampas kehidupan wajar mereka sebelum Internet ditemukan Sir Timothy Berners-Lee di tahun 1990-an.

Di Indonesia, dari 132,7 pengguna Internet itu 82,2 juta atau 62 persen dihabiskan untuk belanja online, 45,3 juta atau 34,2 persen dihabiskan untuk bisnis personal dan 5 juta pengguna lainnya atau 3,8 persen untuk keperluan lainnya.

Daur kehidupan manusia dewasa Indonesia selama 24 jam umumnya dibagi 3, yakni 8 jam untuk istirahat tidur, 8 jam untuk bekerja formal, dan 8 jam lainnya untuk kehidupan sosial, keluarga, dan lain-lain. Demikian pula daur hidup untuk anak-anak atau pelajar, 8 jam untuk tidur, 8 jam untuk belajar, dan 8 jam lagi untuk bermain atau les.

[caption id="attachment_6050" align="alignleft" width="495"] Diskusi terbatas di UKP-PIP (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]

Ketika teknologi Internet sudah tidak terbendung dan citizen Indonesia sudah menjadi netizen di dunia Internet, rentang waktu rata-rata 9 jam sehari itu sudah barang tentu akan mengubah kebiasaan hidup warga. Aktivitas selama rentang waktu itu di Internet bisa bermacam-macam, dari yang sekadar main games, mencari informasi, belajar, atau yang lebih umum tuntutan pekerjaan secara online.

Kembali ke data terbaru Kemkominfo tadi, dari 132,7 juta pengguna Internet di Indonesia, sebanyak 106 juta di antaranya pengguna Media Sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube dan lain-lain. Dari sejumlah media sosial itu, 54 persen atau sekitar 71,6 juta warganet menggunakan Facebook.

Berapa rata-rata lama waktu yang mereka pergunakan untuk bermedsos, ternyata mencapai 3 jam 16 menit. Ini berarti, warganet Indonesia menggunakan seperti waktu mereka di Internet untuk Fesbukan, Instagraman atau Twitteran. Dan, sebanyak 89,9 juta atau 67,8 persen mengakses Internet melalui perangkat smartphone.

Internet dan dalam skala kecil media sosial, selalu mempunyai dua sisi; sisi baik dan sisi buruk. Banyak orang baik di Internet, tetapi tidak sedikit orang orang jahat berkeliaran di Internet.

Berbagai isu yang cuma isapan jempol belaka, informasi hoax, fake news, fitnah, bully, kebencian, separatisme, penetrasi ideologi asing, mengubah ideologi bangsa, pornografi, membenturkan SARA, adalah lahan subur untuk diolah dan dijadikan bisnis oleh orang-orang jahat. Isu soal Kelompok Saracen yang memperdagangkan kebencian serta gerakan ISIS di media sosial hanyalah satu contoh kecil saja.

[irp posts="1656" name="Mewaspadai Fasisme di Negara Pancasila"]

Sebagaimana fungsi utama media massa seperti memberi informasi, pendidikan, hiburan, dan menginspirasi, semua fungsi itu ada di Internet. Jika pada masa lalu fungsi itu diberikan media massa melalui berbagai bentuk media masing-masing, maka sekarang ini SIAPAPUN bisa memberikan keempat fungsi itu melalui media sosial atau media Internet lainnya.

Bedanya, jika lembaga media hanya mengabarkan kebaikan semata (virtue) dengan etika ketat dan nilai-nilai berita yang terkandung di dalamnya, sekarang ini siapa saja bisa mengabarkan kebaikan sekaligus menyebarkan keburukan melalui Internet.

Mereka tidak terikat code of ethics profesionalisme, juga tidak harus patuh pada code of conducts karena bersifat personal dan individualistik. Jika zaman booming blog dikenal jargon “We are all Journalist”, maka ketika gadget (gawai), mereka sekarang bisa berteriak , “We are all Media”.

“Booming” Aplikasi

Sekitar 7 tahun silam Majalah Internet “WIRED” menurunkan artikel Chris Anderson berjudul “The Web is Dead” atau jika diterjemahkan secara bebas, “Internet telah mati”. Asumsi dari artikel yang cukup menggemparkan pada saat itu adalah booming-nya aplikasi (apps) yang “menyesaki” gawai berupa smartphone.

Kenapa Internet dikatakan mati? Sebab untuk menggerakkan aplikasi pengguna tidak harus mengetikkan “www” di peramban (browser), tetapi cukup mengklik ikon aplikasi tersebut yang sudah diundah dari Playstore (Android), Store (Nokia), maupun iTunes (iOS). Artikel Anderson menggambarkan, aplikasi telah mengubah kebiasaan orang berinternet. Jika pada masa lalu bangun tidur orang mencari koran untuk mendapatkan informasi, pada masa itu cukup meraih tablet atau smartphone dan mengklik ikon aplikasi apapun sesuai kebutuhan.

Dunia Internet dan lebih sempit lagi dunia aplikasi Internet adalah “media” yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemerintah Indonesia, mulai dari kementrian, pemerintah daerah, lembaga tinggi negara, sampai Unit Kerja Presiden Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Kuncinya adalah melakukan pendekatan kepada pengguna Internet dengan angka-angka fantastis yang telah disebutkan di atas.

Tidaklah cukup memiliki website resmi UKP-PIP dengan berita-berita yang disampaikan searah ( one way communication), atau memiliki Twitter dan Fanspage di Facebook. Sekarang, dengan penetrasi Internet yang sedemikian besar, informasi dari “pabrik ideologi” bisa disampaikan secara interaktif melalui berbagai aplikasi “Pancasila” di Android maupun iOS.

Pendekatan personal dan institusional (tatap muka, kopdar, pelatihan, workshop) maupun pendekatan digital dengan membangun aplikasi yang bisa diunduh semua pengguna Internet harus dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif melalui berbagai kegiatan.

Aplikasi bersifat interaktif sehingga tidak membosankan untuk diakses. Secara berkala Ketua UKP-PIP, misalnya, mengadakan “Session” berupa tanya-tanya jawab interaktif menggunakan aplikasi teks, audio maupun video. Bisa juga “Duta Pancasila” yang ditunjuk, misalnya artis ternama, yang akan membuka “Session” di aplikasi Pancasila itu. Semua kegiatan berlangsung di Internet. Tentu saja Presiden Joko Widodo secara berkala bisa menyapa pengguna aplikasi itu.

Aplikasi kadang menciptakan “anomali”, tetapi itu biasa. Misalnya saja koran terbesar di dunia sekarang ini sebenarnya Facebook, tetapi ia tidak punya wartawan. Pengusaha taksi dan ojek terbesar saat ini adalah Go-Jek, tetapi ia tidak punya sopir, sepeda motor atau mobil. Demikian pula perusahaan properti terbesar sekarang ini adalah AirBNB, tetapi ia tidak punya rumah atau gedung yang bisa disewakan.

Apa “anomali” yang tercipta jika Pancasila sebagai ideologi bangsa memiliki aplikasi yang berdaya di Internet? Ia tidak harus membangun gedung sebagai cabang UKP-PIP di berbagai daerah, sebab aplikasi sekaligus men-disrupt kegiatan tatap muka untuk memasarkan ideologi secara konvensional, tetapi penetrasi ideologi tetap dapat dilakukan dengan aplikasi yang interaktif.

Intinya, 1.001 persoalan dan pertanyaan seputar ideologi bisa langsung diakses lewat aplikasi Pancasila tersebut, 1.001 informasi yang sifatnya “top down” juga bisa disampaikan kepada subscribers aplikasi tersebut secara berkala.

Jika ISIS dengan kesadaran penuh memanfaatkan Internet untuk menyebarkan ideologinya, UKP-PIP juga bisa melakukan hal yang sama di Internet, yaitu memasarkan ideologi Pancasila sekaligus menangkal ideologi radikal yang ingin mengganti ideologi negara dengan memanfaatkan aplikasi yang dibangun untuk keperluan tersebut.

UKP-PIP jangan hanya jadi penonton!

***

Catatan:

Bahasan ini saya sampaikan pada Diskusi Terbatas UKP-PIP di Jakarta, Jumat 15 Desember 2017