Bagi Turki, Jerusalem adalah “red line” (garis merah) dalam konflik Palestina-Israel. Maksudnya, kalau kota tempat masjid Al-Aqsha itu digeser statusnya, itu berarti tindak kekerasan adalah reaksi yang pasti muncul di mana-mana. Sekarang, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengakui Jerusalem seagai ibukota Israel dan akan memindahkan kedutaan besar AS di Tel Aviv ke Jerusalem.
Tidak mungkin Trump tak paham bahwa pengakuan yang dia berikan untuk kota Jerusalem sebagai ibukota Israel, pasti akan menyulut reaksi keras dari kaum muslimin di seluruh dunia. Lantas, mengapa pemerintah AS tetap bersikukuh mengambil langkah pengakuan itu?
Secara diplomatis, jawabannya bisa macam-macam. Misalnya, pengakuan itu adalah puncak kehebatan lobi zionis Israel di AS. Bisa juga disebut sebagai keinginan Trump untuk mencatatkan sensasinya di buku sejarah. Atau, bisa juga karena pemerintah zionis Israel dan pemerintah Trump sama-sama penganut paham ekstem yang berketetapan hati bahwa “ethnic cleansing” (pembersihan etnis) terhadap warga Arab-Palestina harus segera dilakukan.
[irp posts="5376" name="Inilah Pidato 11 Menit Donald Trump Yang Bangkitkan Amarah Dunia!"]
Salah satu cara tercepat untuk memproses “ethnic cleansing” itu adalah dengan menyulut pemberontakan dari warga Palestina. Pengakuan AS terhadap Jerusalem sebagai ibukota Israel, hampir pasti akan memancing pemberontakan itu. Kalau tindak kekerasan membesar, Israel kemudian akan mempunyai alasan untuk memberlakukan langkah ekstrem atas nama perlindungan rakyatnya.
Langkah ekstrem itu bisa berupa penutupan total kota Jerusalem. Setelah itu, semua kawasan permukiman warga Palestina di kota itu akan dikosongkan dengan cara paksa dengan dalih keamanan nasional Israel. Seterusnya, mereka akan membangun tembok yang akan mengelilingi komplek masjid al-Aqsha. Kira-kira begitulah kemungkinan rencana Israel.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Jerusalem adalah “red line”. Yakni, “garis merah” bagi kaum muslimin. Artinya, tindak kekerasan yang akan dilakukan Israel terhadap Jerusalem dan warga Palestina di kota itu, bisa mengubah situasi menjadi “merah”.
Donald Trump sangat ceroboh. Dia ditipu oleh zionis Israel untuk hal yang sama sekali tidak signifikan bagi AS. Tidak ada keuntungan apa pun bagi Washington dalam mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Sebaliknya, AS akan membuat ribuan “hot spot” (titik api) di berbagai pelosok dunia yang akan menyulitkan negara itu sendiri. Yang akan menimbulkan ancaman keamanan terhadap warga mereka.
Dengan mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, dan kemudian memindahkan kedutaan AS ke kota itu, mungkin Presiden Trump merasa dirinya menjadi kuat. Atau, tampak kuat. Soalnya, tak satu pun presiden AS selama ini, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat yang bersani menabrak “garis merah” Jerusalem. Presiden yang “hawkish” (galak) sekali pun, seperti George W Bush, tetap memilih status quo Jerusalem.
Trump memang sedang mencoba melepaskan diri dari kebijakan AS yang bersifat “monoton” di Timur Tengah. Dia kelihatan ingin membuat “inovasi” politik luar negeri dengan spekulasi bergaya bisnis. Dia membuat “produk baru” yang, menurut kaidah pemasaran, bisa laris terjual tetapi bisa juga membuat dia bangkrut.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews