Kembali ke Cendana

Rabu, 13 Desember 2017 | 14:36 WIB
0
442
Kembali ke Cendana

Bermula dari stiker Pak Harto berserakan pada Pilpres 2014 dengan kalimat "Piye enak zamanku tho," seolah kita diminta mengkilas balik bahwa zaman itu aman, nyaman, dan menyejukkan. Tidak salah memang karena mereka yang mengatakan itu adalah pelaku pada zaman itu.

Nyaman yang dikasih dari subsidi, uangnya dari utang, aman dan seolah menyejukkan, dari kontrol sosial di mana mulai Babinsa sampai semua aparat harus satu suara, bersuara lantang Kodim dan Koramil langsung tampil.

Istilah orang Madura kalau ditanya situasi mereka bilang semua aman kecuali kalau Pemilu, kalau tidak memilih Golkar sepatu Pak Dandim bisa pir mampir di hidung saya. Kantor Kodim saja bisa dicat kuning saat itu.

[irp posts="5477" name="Ingin Selamatkan Golkar, Titiek Soeharto Undang 23 Politikus Sepuh"]

Titiek Soeharto calon Ketum Golkar juga mengatakan itu pada 10 Desember malam, bahwa rakyat menginginkan Golkar pulang kandang ke Cendana. Dia lupa kandangnya sudah lama tak ada, melihat lukisan dengan kita di dalam frame-nya memang sulit memahami warnanya.

Itulah mereka, kacamata yang dipakainya kacamata lama, mereka begitu yakin bahwa mereka masih bisa kembali berkuasa, dia lupa semuanya sudah berubah dan harus berubah, makanya saya katakan, bila mereka sadar, akan lebih mulia mereka mengurusi sosial dari uang berkwintal yang pernah mereka jarah dengan cara mudah. Sayang memutar haluan memang butuh kejujuran dan kekuatan.

Golkar yang selalu seksi harus berbenah diri, kaum tua harus berhenti dan yang muda harus berani karena zaman now sudah bukan lagi cuma memelihara ambisi, ada frame kebangsaan yang butuh energi untuk digali dan di eksekusi demi kelangsungan Indonesia yang penuh prestasi bukan terus saling mencaci.

Cendana silakan berusaha, bahkan rujuk antara Titiek dan Prabowo perlu dibuat rencana, tapi sekali lagi Indonesia tidak lagi bisa cuma sekedar dikuasai, Indonesia harus lebih bisa menjadi digdaya di mata dunia dan itu butuh anak muda yang punya jiwa satria pengabdi untuk Nusantara, kita butuh Gajah Mada muda bukan Arung Palaka.

Anak muda jadikan Cendana sebuah referensi kesalahan menata negara sehingga menjadi sumber malapetaka.

Kita dikangkangi Singapura dan Malaysia, dan hanya bisa berpelukan dengan Filipina yang punya pemimpin dengan selera sama. Ya sama-sama tak meninggalkan apa-apa.

Ora enak zamanmu pak, konco-konco arep nggawe zaman baru seng luweh sugeh lan makmur sedoyo...

Jokowi harga mati, dan saya rela mati untuk Jokowi sang pengabdi negeri.

***