Biarlah, Tak Perlu Ada Bandara di Samarinda

Selasa, 12 Desember 2017 | 18:01 WIB
0
489
Biarlah, Tak Perlu Ada Bandara di Samarinda

Balikpapan secara resmi mengirim surat mengajukan keberatan jika panjang landasan Bandara Samarinda Baru (BSB) APT Pranoto di Sungai Siring Samarinda. Poin keberatannya adalah pada panjang landasan. Intinya, Bandara APT Pranoto tidak boleh sama, apalagi mengalahkan Bandara Aji Muhammad Sultan Sulaiman Sepinggan Balikpapan.

Sebagai warga Samarinda, saya sangat maklum dengan protes yang dilayangkan Balikpapan. Sebagai warga negara yang baik, izinkan saya mengusulkan agar hentikan saja pembangunan Bandara Samarinda itu demi Balikpapan. Kalau perlu Samarinda tak perlu punya bandara sama sekali.

Warga Samarinda dan sekitarnya sudah sangat kuat dan jago melintasi jalur darat. Sudah kebal melintasi jalur Bukit Soeharto. Warga Balikpapan mungkin ada yang mabuk ketika ke Samarinda dan lewat jalur itu. Saya dan warga Samarinda lainnya sudah biasa dan telah sangat hafal dengan jalur tersebut.

Sejauh mana pun perjalanan kami tempuh, mau ke Jakarta bahkan ke Eropa sekali pun, kami tetap harus melalui jalur Bukit Soeharto dulu. Maka, bagi warga Samarinda, liburan ke belahan dunia lain itu hanya ibarat mimpi belaka. Selepas jalan-jalan ke Eropa, Amerika, atau bahkan menunaikan umrah, begitu sampai Balikpapan, harus kembali ke alam nyata. Harus melintasi jalur berkelok Bukit Soeharto.

Lalu, bagaimana dengan bangunan Bandara APT Pranoto yang sudah telanjur dibangun? Ya biarkan saja. Toh daerah ini sudah terbiasa membangun dan membiarkannya mangkrak. Tuh lihat buktinya. Banyak bangunan di Kompleks Stadion Utama Palaran yang kini mangkrak. Jadi jangan khawatir, bangunan bandara itu bakalan banyak punya teman.

Lagi pula, kalau Samarinda memiliki bandara, kasihan jalan tol yang selisihnya hanya 20-an kilometer dibanding jalanan umum itu. Siapa yang mau lewat? Wong jalur Samarinda-Balikpapan selama ini lebih banyak dilalui kendaraan yang mau ke bandara.

Demikian juga dengan nasib rumah makan dan warung di sepanjang Bukit Soeharto. Kalau Bandara Samarinda beroperasi, warung dan rumah makan itu pasti sepi. Paling utama rumah makan tahu asal Jawa Barat itu, jelas tak banyak lagi yang mampir.

Jadi, demi kebaikan bersama, sebaiknya Samarinda memang tak perlu punya bandara. Mungkin dari dulu Samarinda sudah ditakdirkan tak perlu punya bandara. Sebab nyatanya, banyak yang tidak rela Samarinda ini maju. Apakah memang warga Samarinda tidak boleh maju? Apa memang warga Samarinda tidak boleh punya kebiasaan weekend ke luar kota?

Saya sebagai warga Samarinda, sudah terbiasa menyusuri jalanan Bukit Soeharto itu tengah malam atau pagi buta. Saat akan terbang dengan penerbangan pertama pagi hari, tengah malam sudah harus bangun. Ketika orang lain bangun malam untuk salat Tahajud, saat itulah saya harus menuju pangkalan travel dengan ojek, kemudian menuju Bandara Sepinggan.

Sebaliknya, ketika terbang dari Jakarta dengan penerbangan terakhir, maka sudah pasti harus menyusuri jalanan Bukit Soeharto tengah malam, dan sampai Samarinda dini hari. Bagaimana dengan warga Tenggarong, Bontang, dan Sangatta? Jelas lebih seru. Mereka adalah warga yang sangat tangguh dan tidak manja, tidak pernah mengeluh.

Sebagai umat manusia yang baik, saya tahu bagaimana harus bersyukur. Bersyukur masih bisa tinggal di Kota Tepian yang penuh kehangatan dan keakraban. Bersyukur tinggal di daerah yang penuh kekompakan. Saya bersyukur masih punya Bandara Temindung yang kini semakin mirip dengan bandara mainan? Kenapa mainan? Karena hanya pesawat kecil yang singgah. Itu pun kalau ada yang terbang.

Lalu bagaimana jika tidak ada pesawat? Ya itulah yang membuat semua bersyukur. Artinya pegawai bandara tak perlu kerja. Sopir taksi bandara pun tak lagi perlu mengemudikan kendaraan. Pun petugas portir bandara bisa tidur sepuasnya. Sebagai umat yang baik, mereka sangat yakin, rezeki sudah ada yang mengatur, tidak akan tertukar.

Maka, aneh rasanya kalau ada kota tetangga yang ketakutan jika Samarinda punya bandara. Seolah-olah Yang Mahakuasa tak lagi adil dan pasti memberi bencana jika landasan pesawat di Samarinda juga sama panjangnya. Apakah mereka takut ada rezeki yang tertukar?

Tidakkah mereka bersyukur sudah punya bandara yang besar dan megah? Tidakkah mereka bersyukur punya pantai yang bisa dikunjungi oleh sanak keluarga? Tidakkah mereka bersyukur pelabuhannya selalu disinggahi kapal ukuran besar yang bisa membawa penumpang ke mana saja? Lantas, nikmat mana lagi yang mereka dustakan? Haruskah nikmat yang banyak itu masih harus dibumbui sikap iri dengki dengan Samarinda? Entahlah.

Sebagai warga yang baik, saya hanya bisa menunggu saja. Ada bandara atau tidak, warga Samarinda terbukti bisa melanglang buana ke mana saja. Untuk warga kota tetangga, mari doakan agar mereka tidak lupa untuk selalu bahagia. Semoga.

***