Demokrasi dan Depresi

Selasa, 12 Desember 2017 | 17:15 WIB
0
564
Demokrasi dan Depresi

Pengalaman ribuan tahun sejarah peradaban manusia menunjukkan, bahwa demokrasi merupakan bentuk tata pemerintahan terbaik yang pernah ada. Ia membuka peluang bagi rakyat untuk mengecek tata kelola pemerintahan yang ada. Ia membuka kesempatan bagi terwujudnya keadilan dan kemakmuran tidak hanya bagi segelintir orang, tetapi untuk semua. Namun, demokrasi dengan mudah tergelincir ke dalam depresi yang akan membunuh demokrasi itu sendiri.

Dari depresi

Pada awalnya, demokrasi lahir dari eksperimen segelintir orang di dalam tata politik. Mereka muak dengan beragam penindasan politik dan ekonomi yang terjadi. Pemerintah tak peduli pada kebutuhan rakyat, dan sibuk terus memperkaya diri melalui korupsi. Di luar negeri, pemerintah terus melakukan menjalankan politik konflik, dan bahkan berperang dengan negara lain demi meraih kekayaan yang lebih besar.

Semua keadaan ini menyiksa rakyat yang harus hidup dalam kemiskinan, atau terlibat di dalam perang yang bukan milik mereka. Rakyat pun menjadi tak berdaya, karena tekanan politik dan ekonomi yang datang tak terbendung. Inilah yang disebut keadaan depresi kolektif. Pada satu titik, depresi yang terjadi tak tertahankan lagi, dan meletuslah revolusi berdarah yang memakan banyak korban, namun penting untuk membawa perubahan politik.

[irp posts="5390" name="Manusia Lintas Agama"]

Dari revolusi darah tersebut, terutama di abad 21, rakyat biasanya langsung bekerja untuk mewujudkan demokrasi, baik sebagai sistem maupun sebagai budaya. Ini jugalah yang terjadi di Indonesia pada 1998 lalu. Secara umum, ada lima pilar dasar demokrasi. Kelimanya saling terhubung, tanpa bisa dipisahkan.

Sistem dan budaya demokrasi

Pertama, demokrasi adalah sistem pemerintahan, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan rakyat. Dalam arti ini, rakyat bukanlah hanya kelompok mayoritas, melainkan semua rakyat terkait. Hak-hak kelompok minoritas juga dijamin oleh hukum yang sama dengan kelompok mayoritas. Pada titik ini, keadilan untuk semua menjadi kemungkinan yang nyata.

Dua, di dalam sistem demokrasi, kekuasaan politik tidak dipusatkan kepada satu orang atau satu pihak semata, tetapi dibagi setidaknya menjadi tiga. Ide pembagian kekuasaan ini berguna untuk memastikan, supaya ada proses saling mengecek antara kekuasaan yang ada, sehingga tidak terjadi penyelewengan. Secara umum, tiga bentuk kekuasaan itu adalah kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden dengan para menterinya untuk menjalankan kebijakan, kekuasaan yudikatif berada di tangan lembaga penegak hukum dan kekuasaan legislatif berada di dalam perwakilan rakyat, guna membuat undang-undang.

Tiga, demokrasi tidak hanya soal membangun sistem, tetapi juga membangun budaya. Di dalam demokrasi, budaya yang diperlukan adalah budaya kebebasan sipil, termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat, kebebasan beragama dan kebebasan berorganisasi. Tiga bentuk kebebasan ini tidak mengambang tanpa arah, melainkan berpijak pada nilai-nilai nasional yang tercantum di dalam konstitusi negara tersebut. Konstitusi pun tidak bisa dibuat seenaknya, melainkan harus mengacu pada nilai-nilai dasar Hak-hak Asasi Manusia.

Empat, masyarakat demokratis di abad 21 adalah masyarakat majemuk. Artinya, di dalam masyarakat tersebut, ada beragam orang dan kelompok yang berbeda nilai, namun hidup bersama di dalam sebuah komunitas. Untuk menjamin terciptanya keteraturan dan keadilan, hukum amatlah penting. Maka dari itu, kepastian hukum haruslah ditegakkan di dalam masyarakat demokratis. Hukum bukan sekedar tulisan, namun juga perlu dilaksanakan.

Lima, karena unsur terpenting di dalam demokrasi adalah kedaulatan rakyat, maka peran serta rakyat di dalam penciptaan dan pelaksanaan tata pemerintahan amatlah penting. Rakyat harus mendapatkan pendidikan yang selayaknya, sehingga mereka bisa menjadi warga negara yang cerdas dan kritis. Kesehatan dan kesejahteraan mereka pun harus dijaga, dan itu merupakan tanggung jawab penuh dari negara. Dengan peran serta warga negara yang cerdas, kritis, sehat dan sejahtera, maka demokrasi bisa mewujudkan tujuan-tujuan utamanya, yakni pemerintahan yang bersih dan adil.

Menuju depresi

Tidak ada yang abadi di bawah langit. Sebagai sistem tata kelola pemerintahan sekaligus budaya, demokrasi pun mengalami masa jaya, dan kemudian surut menuju kehancurannya. Demokrasi lahir dari depresi masyarakat, dan berjalan secara perlahan menuju depresi berikutnya. Biasanya, yang muncul berikutnya adalah tirani otoriter yang berpijak pada kekuatan militer.

Ada dua hal yang memicu timbulnya depresi di dalam demokrasi. Pertama, kebebasan sipil merajalela, sehingga menimpulkan kekacauan di dalam hidup bersama. Pada bentuknya yang sehat, kebebasan akan menciptakan batas-batasnya sendiri yang berpijak pada nalar sehat. Namun, pada bentuknya yang ekstrem, kebebasan bisa merusak nilai-nilai hidup bersama, seperti meluasnya pornografi, dan melahirkan bentuk radikalisme baru, baik dalam bentuk radikalisme agama, ataupun ideologi.

Dua, gagalnya penegakan hukum tak mampu membendung ledakan kebebasan yang terjadi, sehingga tercipta kekacauan di dalam hidup bersama. Kelompok radikal berkeliaran, tanpa terbendung. Nilai-nilai bersama dirusak, tanpa ada kontrol dari pemerintah ataupun masyarakat luas. Politik dan ekonomi membusuk dari dalam, sehingga menciptakan rasa ketidakberdayaan di dalam sanubari warga.

Rasa ketidakberdayaan inilah yang merupakan ciri utama depresi, baik pada tingkat pribadi maupun hidup bersama. Demokrasi yang jatuh ke dalam kekacauan akan menciptakan depresi semacam ini. Lahir dari depresi, demokrasi bergerak secara perlahan namun pasti ke dalam depresi berikutnya. Ketika ini terjadi, beragam teori sosial dan filsafat akan terasa sia-sia. Ini bukan sebuah pesimisme, melainkan belajar menerima kenyataan apa adanya.

***