Manusia Lintas Agama

Sabtu, 9 Desember 2017 | 06:42 WIB
0
506
Manusia Lintas Agama

Kita hidup di abad 21. Setidaknya, ada empat ciri utama abad 21. Pertama, nalar memainkan peranan penting dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Ini terbukti dari berkembangnya ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial dan teknologi.

Dua, abad 21 ini ditandai dengan semakin kencangnya badai globalisasi. Jaman ini ditandai dengan perubahan pemahaman manusia tentang ruang, waktu dan identitas, terutama akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang amat cepat.

Tiga, semua ini menciptakan keterhubungan yang luar biasa besar antara berbagai negara di dunia. Tidak ada satu pun negara yang bisa menciptakan keadilan dan kemakmuran, tanpa kerja sama dengan negara-negara lainnya.

Empat, globalisasi juga mengubah banyak bentuk masyarakat. Masyarakat homogen, yang satu ras, suku ataupun agama, menjadi semakin sedikit, bahkan hilang sama sekali. Jalan menuju kemakmuran ekonomi hanya dapat ditempuh, jika kemajemukan masyarakat ini diakui dan dikelola dengan adil serta damai. Jika kita ingin hidup sehat dan makmur di abad 21, kita perlu menyingkapi keempat hal tersebut secara tepat.

Lalu, bagaimana wujud manusia abad 21 ini yang cocok dengan keempat keadaan di atas? Jawabannya satu, yakni manusia lintas agama. Manusia lintas agama berarti menjadi manusia lintas budaya, karena agama dan budaya memang tak terpisahkan.

Pola hidup lintas agama ini ditandai dengan enam hal;

Pertama, manusia lintas agama tidak fanatik terhadap satu ajaran tertentu. Radikalisme yang salah arah dijauhi. Sikap tertutup dan diskriminatif terhadap orang-orang yang berasal dari agama lain juga dihindari.

Dua, manusia lintas agama belajar dari semua agama dan tradisi yang ada. Ia didorong rasa ingin tahu yang besar untuk memahami berbagai agama dan kebudayaan dunia yang beragam. Ia melihat, bahwa Tuhan memang satu, namun jalan untuk mengenal-Nya amatlah beragam. Ia melihat keindahan di dalam keberagaman jalan spiritual.

Tiga, setelah belajar dari semua tradisi, ia lalu menemukan kebijaksanaan yang bersifat lintas tradisi. Kebijaksanaan ini mewarnai kehidupan spiritual maupun sosialnya. Sikap tertutup dan kasar lenyap dalam terang kebijaksanaan lintas tradisi ini. Sikap lembut dan bersahaja dalam gaya hidup lalu menjadi gaya kesehariannya.

Empat, wawasan luas juga merupakan buah dari kemauan untuk menjadi manusia lintas agama. Wawasan itu sendiri menjadi kenikmatan berharga bagi orang yang memilikinya. Orang yang berwawasan luas memiliki banyak kemungkinan. Ia juga bisa membantu banyak orang dengan keluasan wawasannya tersebut.

Lima, bentuk nyata dan kebijaksanaan lintas tradisi dan wawasan yang luas adalah sikap toleran dan terbuka. Kunci dari toleransi adalah saling menghormati satu sama lain, tanpa pandang bulu. Kunci dari sikap keterbukaan adalah kemauan untuk belajar terus dari satu sama lain, demi perkembangan diri dan perkembangan hidup bersama.

Enam, manusia lintas agama sadar betul, bahwa agama harus dipisahkan dari politik. Politik adalah soal urusan bersama yang mencakup beragam orang dengan beragam agama. Sementara, agama itu urusan pribadi, sekaligus urusan beberapa orang yang memiliki agama serta keyakinan yang sama saja. Ketika agama dan politik dicampurkan, yang terjadi adalah penyelewengan ajaran-ajaran agama, sekaligus diskriminasi terhadap kelompok agama dan keyakinan minoritas.

Jelaslah, bahwa menjadi manusia di abad 21 berarti menjadi manusia lintas agama. Jika ini tidak dilakukan, orang terjebak pada sikap fanatik dan radikal salah arah. Konflik dan diskriminasi adalah buahnya.

Akibatnya, ketika banyak bangsa sudah berpikir maju tentang rekayasa genetika, eksplorasi dasar laut, serta mengirim orang ke Mars, bangsa kita masih ribut sendiri soal bolehkah memberi selamat kepada penganut agama lain yang merayakan hari raya.

Cape deeh…

***