Kuliah 17 Menit dari Profesor Mahfud MD

Senin, 27 November 2017 | 10:00 WIB
0
415
Kuliah 17 Menit dari Profesor Mahfud MD

Ketika menyampaikan pendapatnya di acara Indonesia Lawyer Club, 22 November 2017, Prof. Mahfud MD telah dengan jelas dan jernih, mewakili suara hati nurani sebagian besar rakyat Indonesia, yang selama ini hanya bisa jengkel doang.

Dalam kesempatan itu, para pembela Setya Novanto, seperti Fredrich Yunandi, Otto Hasibuan, dan lawyer pokrol-bambu Fahri Hamzah, tak berkutik. Semua dalil-dalil hukum, yang selama ini diajukan ketiganya, menjadi mentah, dan tak bernilai. Untuk kuliah gratis itu, terimakasih Prof. Mahfud!

Para penguasa, apalagi politikus, selama ini selalu memakai dalih azas praduga tak bersalah, yang menurut Prof. Mahfud sesungguhnya hanya acuan hakim. Tetapi azas itu sering diselewengkan elite kekuasaan yang terjerat kasus hukum, untuk menutupi kebusukan mereka.

Kita tidak tahu, di mana hati nurani para pembela dan pendukung Setya Novanto ini. Kasus korupsi e-KTP sungguh nyata. Sudah ada putusan hakim dengan terdakwa lain.

Rakyat dikorbankan langsung, bukan karena tak kebagian duit Rp2,3 trilyun, melainkan hak mereka mendapatkan pelayanan publik.

Duit Rp2,3 trilyun itu jika dibelikan mesin pembaca kartu (card reader) untuk kantor kecamatan, atau kantor desa se Indonesia Raya, akan menjadikan pelayanan public menjadi makin baik dan benar. Namun, dengan berbagai masalah e-KTP itu, hak rakyat banyak dirugikan.

[embed]https://www.youtube.com/watch?v=xPFyjuo12TA[/embed]

Sudah begitu, Alissa Wahid mengata-ngatai bahwa masyarakat melihat kasus Setya Novanto hanya memperlakukan sebagaimana kita menikmati gossip selebritas. Waduh, omongan kayak gitu kok juga sempet-sempetnya dilansir media. Rakyat memang tak tahu, bagaimana menyalurkan kejengkelan. Apalagi kalau sudah Fahri ngomong anggota DPR mempunyai hak imunitas.

[irp posts="4491" name="Cara Fredrich Yunadi Bersih-bersih Meme Setya Novanto"]

Bagaimana rakyat tidak jengkel, jika yang menjadikan parlemen itu justru tak bisa mengaksesnya, bahkan seolah rakyat hamba sahaya dan mereka penguasa. Kita masih pakai teks lama, dengan idiom dari buku kuno yang menempatkan kekuasaan sebagai sentral. Masih memakai idiom zaman Ken Arok dan Patih Gajah Mada.

Kita butuh para cendekiawan yang independen, untuk menemani rakyat mengetahui hak-haknya. Bukan mereka yang mengadukan ke polisi hanya gara-gara kita bikin meme.

***