Cerita tentang Para Lanun

Kamis, 23 November 2017 | 12:00 WIB
0
395
Cerita tentang Para Lanun

Realitas kehidupan Indonesia hari ini, sebenarnya adalah cerminan kehidupan para lanun. Lanun secara harafiah adalah penghalusan dari kata perompak atau yang umum dikenal para pembajak. Di Jawa, istilah seperti ini tidak dikenal, tapi populer sebagai "begal".

Tesis awalnya adalah ayam yang kelaparan di lumbung padi. Segala ada, semuanya tersedia, tapi karena banyak hal kita harus mencurinya atau merampoknya di rumah sendiri. "Banyak hal" itu bisa apa saja, akibat faktor kebodohan, kemalasan, kalah bersaing, merasa paling berhak (daripada berkewajiban), dan seterusnya.

Benang merahnya sisi negatif dari watak dasar manusia inferior, yang sebenarnya memang watak umum dari masyarakat daerah equator. Dilimpahi semua keuntungan alamiah, secara iklim maupun sumberdaya alam. Tapi tak bisa melihatnya sebagai potensi, akhirnya sudah cukup senang ketika sekedar diberi imbalan fee, royalti atau upeti.

[irp posts="1756" name="Siapa Gerangan Aktor-aktor Politik Yang Dimaksudkan Presiden Jokowi?"]

Intinya tidak mau repotnya, yang penting kebagian. Apa yang disebut Koentjaraningrat: watak tukang trabas, jalan pintas, atau main slonong!

Dalam sejarahnya, para lanun itu mulanya adalah masyarakat yang pada dasarnya orang baik-baik, cinta damai dan justru selalu terbuka untuk berbagi. Hanya ketika para "kolonialis" datang, untuk mula-mula berdagang, namun lama-lama karena berwatak menangan dan cenderung merampok. Maka karena kalah secara hukum, secara teknologi, secara apapun, lahirlah mereka sebagai lanun.

Perasaan tertindas dan tersisih inilah yang melahirkan watak perompak. Mereka ambil jalan pintas, jalan paling gampang untuk memperoleh segala sesuatu. Konon di Indonesia, banyak suku bangsa yang memiliki watak seperti ini. Bahkan mereka selalu bangga dan menganggapnya sebagai suatu legenda yang patut dikenang dan dilestarikan.

Saya tidak ingin menyebut sukunya (nanti jadi rasis), tapi bisa dilihat dari kemampuan mereka menguasai lautan, teknologi pembuatan kapalnya, sifat dasarnya yang berani dan suka berkelahi. Mulanya memang yang diserang adalah kapal-kapal imperialis dari Barat, namun lama-lama juga kapal dagang dari Timur Jauh, dan akhirnya sesama bangsa sendiri di Nusantara. Mana ada perompak pilih-pilih sasaran. Memangnya perompak budiman?

Dan di hari-hari kemarin kita melihat para lanun itu bersimaharajalela dalam panggung politik dan ekonomi nasional. Bahkan dengan cara yang lebih canggih dan kekinian, yang sebenarnya bukan watak dasar para lanun. Bila para lanun dulu, berani berhadapan langsung dengan musuhnya, saat ini lebih suka pakai cara-cara yang dulu ciri khas orang pedalaman yang suka kasak-kusuk, pinjam tangan orang lain, fitnah san-sini, kongkalikong, memprovokasi, dan sebagainya.

[irp posts="2168" name="Demo 212; Unjuk Rasa, Unjuk Soliditas, dan Unjuk Kelemahan"]

Mereka bisa punya seribu wajah dengan topeng yang berbeda-beda. Bisa membolak-balik perkataan, mengubah posisi duduk dan berdiri seenaknya sendiri. Posisi dasarnya adalah ban serep, tapi selalu ingin menjadi "king maker". Selalu berbicara tentang kepentingan akhirat, tapi yang dikejar selalu nafsu duniawi. Menumpuk kekayaan, melalui pembegalan berbagai proyek besar, menggunakan tangan kiri-kanan para kerabatnya.

Terakhir Si Raja Lanun ini, menggunting dalam lipatan: menamatkan riwayat seorang baik, dengan segala cara, dengan semua kemungkinan yang bisa ia lakukan. Ia merasa sukses? Belum konon ini hanya antara.

Yang selalu terperdaya dan kalah itu tentu saja rakyat (yang tentu saja tak kunjung cerdas dan mudah lupa) dan orang baik yang hanya suka bersuara (tapi malas bergerak itu).

Dan sekarang semua berteriak lantang, kembali memasang gambar Garuda Pancasila. Mereka lupa musuh terbesarnya ternyata Wakil Lurah-nya sendiri.

Mari kita tunggu ia menusukkan badik ke punggung Pak Lurah yang dianggap orang udik yang lemah itu. Dan setelah itu kita bersorak: Hore!

***