Kewenangan Lembaga Praperadilan Kerap Disalahgunakan

Rabu, 22 November 2017 | 11:59 WIB
0
438
Kewenangan Lembaga Praperadilan Kerap Disalahgunakan

Dalam kasus tersangka korupsi Setya Novanto melawan KPK di sidang praperadilan, terlihat bahwa lembaga praperadilan dengan kewenangan yang ada, saat ini sangat potensial untuk disalahgunakan, karena batas-batas kewenangannya sangat mudah dilampaui.

"Pada gilirannya, hal ini potensial merusak bangunan sistem peradilan pidana Indonesia," Kata Rony melalui siaran pers hasil putusan Eksaminasi beberapa hari lalu.

 

Kesimpulan didapat setelah Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas melaksanakan eksaminasi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 97/PID.PRAP/2017/PN.JKT.SEL tertanggal 29 September 2017 di Padang, Senin, 20 November 2017.

Setelah mempelajari Putusan Praperadilan Setya Novanto melawan lembaga antirasuah itu , LKBH FH Universitas Andalas berinisiatif melakukan pengujian (eksaminasi) secara akademik terhadap putusan tersebut.

[irp posts="4318" name="Inilah Hakim Kusno Yang Pimpin Praperadilan Kedua Setya Novanto"]

Eksaminasi ini dilakukan dengan memberi catatan dan kritik terhadap putusan pengadilan untuk tujuan mengawal proses penegakan hukum dan juga untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

Wakil Sekretaris LKBH FH Unand Benni Kharisma mengatakan bahwa proses eksaminasi ini dilakukan dengan melibatkan tujuh orang eksaminator, yaitu :

 

 

  • Prof. Dr. Elwi Danil, SH., MH. (Guru Besar Hukum Pidana FH Unand),

 

 

  • Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., MH (Guru Besar Hukum Administrasi Negara FH Univ. Katolik Parahyangan, Bandung),

 

 

  • H. Ilhamdi Taufik, SH., MH., (Wakil Ketua LKBH FH Unand),

 

 

  • Gandjar Laksmana Bonaprapta, SH., MH. (Pakar Hukum Pidana FH Universitas Indonesia),

 

 

  • Yoserwan, SH., MH., LL.M (Pakar Hukum Pidana FH Unand),

 

 

  • Sudi Prayitno, SH., LL.M (Advokat),

 

 

  • Rony Saputra, SH., MH. (Advokat)

 

 

Lalu, Hakim Praperadilan dalam memeriksa dan memutus permohonan praperadilan telah melakukan penyimpangan terhadap tiga asas hukum acara pidana, yaitu:

(1) asas lex spesialis derogat legi generalis; (2) asas proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, dan (3) asas audi et alteram partem.

Rony mengatakan bahwa sesuai asas lex spesialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP sepanjang juga diatur dalam UU KPK, maka ketentuan dalam KUHAP dikesampingkan oleh ketentuan dalam  UU KPK.

"Dalam putusannya, hakim praperadilan justru tidak mempertimbangkan kekhususan UU KPK terkait hal dimaksud," kata Rony.

Pelanggaran asas peradilan cepat, karena sesuai Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, gugatan praperadilan sudah harus diputus selambat-lambat dalam waktu 7 hari.

"Pada kenyataannya, permohonan ini diputus melewati waktu yang ditentunya dan menghabiskan selama waktu 25 hari," ujar Rony.

Pelanggaran asas audi et alteram partem terjadi karena hakim tidak memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan bukti-bukti guna meperkuat dalil dan bantahannya.

"Dalam memutus perkara ini, hakim praperadilan telah melampaui kewenangan praperadilan. Kewenangan diatur dalam Pasal 77, Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP," kata Majelis Eksaminasi Putusan.

Selain itu, praperadilan juga berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sesuai Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014.

[irp posts="4324" name="Praperadilan Yang Kedua Kalinya, Fredrich Berharap Setya Menang Lagi"]

Terkait kewenangan praperadilan sesuai Putusan MK tersebut, dalam Perma No. 4 Tahun 2016 diatur bahwa untuk pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan tersangka, praperadilan hanya menilai aspek formil dan tidak boleh memasuki pemeriksaan materi perkara.

Dalam pemeriksaan perkara ini, hakim justru keluar dari batas kewenangan yang dimiliki. Tindakan melampaui kewenangan tersebut karena hakim telah melakukan pemeriksaan terhadap kualitas alat bukti yang seharusnya dilakukan dalam pemeriksaan pokok perkara.

Selain itu, tindakan melampaui kewenangan juga dapat dilihat dengan adanya diktum putusan yang menyatakan, memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto.

Hakim praperadilan seharusnya hanya menguji ihwal apakah sudah terpenuhi syarat minimal 2 (dua) alat bukti untuk menetapkan tersangka, bukan menilai kualitas alat bukti.

Dalam putusan praperadilan ini, hakim bukan hanya menilai ada atau tidaknya 2 alat bukti secara kuantitatif, melainkan telah masuk pada pemeriksa pokok perkara terkait keabsahan alat bukti.

Hakim praperadilan telah meruntuhkan bangunan prosedur penanganan hukum terhadap perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu orang (penyertaan).

Hal itu terjadi karena hakim secara sadar melakukan kekeliruan dalam menilai dan menempatkan alat bukti yang diperoleh dari alat-alat bukti lain yang perkaranya melibatkan beberapa orang.

Dalam pertimbangannya, hakim perkara ini justru hendak menjelaskan bahwa tidak ada alat bukti untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka karena semua alat bukti merupakan alat bukti untuk tersangka lainnya.

Berdasarkan ajaran penyertaan (deelneming), penuntutan terhadap tersangka-tersangka dalam tindak pidana penyertaan dapat saja dilakukan secara bersamaan dengan bukti-bukti yang juga sama.

Hanya saja, dalam praktik, penindakan terhadap tindak pidana penyertaan tidak jarang dilakukan secara terpisah. Sekalipun dilakukan secara terpisah, namun bukti-bukti yang digunakan untuk tersangka yang satu dapat pula digunakan untuk tersangka yang lain.

Hal itu merupakan konsekuensi logis dari bahwa yang sesungguhnya terjadi hanya satu tindak pidana, di mana tindakan itu dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama.

KUHAP dan UU KPK tidak mengatur secara eksplisit tentang kapan waktunya seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, namun sesuai Pasal 1 angka 14 KUHAP, penetapan tersangka harus berdasarkan atas bukti permulaan.

Frasa “bukti permulaan” ditafsirkan oleh MK melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 sebagai minimal 2 alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Dengan demikian, apabila syarat minimal 2 alat bukti telah terpenuhi, penetapan tersangka sudah dapat dilakukan oleh penyidik, dan tidak mesti diletakkan pada bagian akhir penyidikan.

Dalam UU KPK, proses pengumpulan alat bukti tidak saja dilakukan pada saat penyidikan, melainkan sudah dilakukan pada saat proses penyelidikan.

Jika bukti-bukti telah diperoleh pada saat proses penyelidikan, maka sangat terbuka ruang proses penetapan tersangka dilakukan pada saat dimulainya penyidikan sebagaimana dilakukan dalam kasus Setya Novanto.

Walaupun demikian, hakim praperadilan  justru menyatakan bahwa penetapan tersangka harus dilakukan di akhir proses penyidikan.

Pendapat hakim praperadilan tersebut jelas tidak tepat, bahkan keliru, karena menafikan bahwa proses memperoleh minimal 2 alat bukti tidak harus pada bagian akhir penyidikan, melainkan dapat dilakukan KPK pada saat proses penyelidikan.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut, demi untuk menjaga wibawa dan konsistensi penegakan hukum di republik ini, Majelis Eksaminas merekomendasikan beberapa  hal sebagai berikut :

   

Sekalipun Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma No. 4 Tahun 2016 sebagai panduan dalam pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, namun pengawasan terhadap pemeriksaan praperadilan terkait status tersangka haruslah diperkuat atau diperketat.

[irp posts="4322" name="Inilah Keuntungan Jika Setya Novanto Bersedia Jadi Justice Collaborator""]

Pengawasan sangat diperlukan karena praperadilan untuk perkara sah atau tidaknya status tersangka sangat rentan masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Jika sudah masuk ke pokok perkara, pelaksanaan lembaga praperadilan sesungguhnya telah menyalahi keberadaanya.

Putusan praperadilan ini mesti menjadi bahan evaluasi bagi penegak hukum, baik polisi, jaksa maupun KPK dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Seluruh tahapan penyelidikan maupun penyidikan yang diatur dalam KUHAP maupun UU KPK haruslah dilaksanakan secara detail agar proses penyidikan tidak dengan mudah dirusak melalui proses praperadilan terhadap penetapan status tersangka.

Lembaga-lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan sudah harus memperbaiki administrasi penanganan perkara, khususnya administrasi terkait surat perintah penyidikan (SPRINDIK) dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).

Dengan telah dapat diujinya keabsahan penetapan tersangka melalui praperadilan, seharusnya penetapan tersangka dilakukan melalui surat tersendiri yang terpisah dari SPRINDIK maupun SPDP.

Dengan pemisahan itu, jika terdapat gugatan praperadilan, maka yang akan dibatalkan hanyalah penetapan tersangka saja. Adapun proses penyidikan tetap dapat dijaga dan dipertahankan.

Dengan demikian, proses penyidikan tidak serta merta dapat diperintahkan untuk dihentikan sebagaimana terjadi dalam praperadilan Setya Novanto ini.

***