Dari Papua, Presiden Jokowi Bisa Menimang-nimang Gatot atau Tito

Rabu, 22 November 2017 | 18:49 WIB
0
324

Tim gabungan TNI dan Polri akhirnya berhasil menyelamatkan warga yang disandera di Kampung Banti, Kimbeli, dan area longsoran Distrik Tembagapura oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pada Jumat, 17 November 2017 lalu. Sebanyak 344 sandera diselamatkan oleh tim gabungan dalam operasi penyelamatan tersebut.

Kisah dramatis bertabur, menyatu dengan luapan kegembiraan publik. Kisah menelusuri pegunungan berhari-hari. Polesan berani mati di lapangan asal sadera selamat. Pada akhirnya penolakan tanda jasa oleh lima perwira. Semua bagaikan film heroik yang menambah kebanggaan bangsa kepada TNI dan Polri.

Apakah TNI dan Polri benar-benar menyatu dalam alam pemikiran rakyat. Mari kita baca kutipan kontributor Tika Azaria berikut ini :

Ungkapan tersebut bermakna seolah mengirim pesan bahwa Polri tidak mampu menangani konflik yang terjadi sejak 1 November itu dan perlu turun tangan TNI untuk memastikan penyanderaan tersebut berakhir. Publik bisa saja menilai, ada tendensi seolah-olah TNI lebih superior di banding Polri. TNI turun tangan, selesailah masalah,  warga sipil yang menjadi sandera pun bisa diselamatkan.

[irp posts="4401" name="Hindari Gesekan Peran dan Tugas TNI-Polri di Lapangan!"]

Ini berkaca dari sejarah panjang dua institusi aparat negara TNI/Polri yang awalnya bersatu lalu kemudian dipisahkan dengan tugas masing-masing saat reformasi bergulir.

Bahwa TNI merasa lebih superior dari Polri, sebab Polri merupakan pisahan dari ABRI saat itu. TNI bertugas menjaga ketahanan negara, sementara Polri lebih kepada menjaga keamanan negara.

"Tidak Menyatu" adalah kode

Terlihat ada persoalan dalam pembebasan sandera. Seakan sebuah kode pertanda, perselisihan antara TNI dan Polri masih meruncing di lapangan. Deretan kisah perseteruan itu mulai dari ‘Aksi Bela Islam’ yang berjilid-jilid.

Saat itu, TNI dengan sigap membantu para pendemo untuk mendapatkan air. Dengan bantuan prajurit dari balik pagar kantor militer. Umat Islam dapat berwudhu dan melaksanakan sholat. Berbeda penangan dengan Polri, meskipun sudah naik ke mobil sound utama, kerusuhan tetap terjadi. Akibatnya, Umat langsung menerima TNI dan seolah-olah jauh dari Polri.

Setelah itu, upaya menyapa dan menjumpai umat Islam dilakukan oleh baik oleh Tito Karnavian maupun Gatot Nurmantyo, masing-masing sebagai petinggi TNI dan Polri. Umat Islam tentu saja lebih bisa "menerima" Gatot daripada Tito. Sehingga, nama sang Panglima terus meroket ibarat jet tempur menembus langit. TNI makin dicintai.

Belum lagi adanya kisruh pembelian senjata oleh Polri yang tanpa persetujuan TNI, yang diramaikan oleh Gatot. Publik pun ramai membahas.

Apa yang bisa kita baca dari balik kisah tersebut? Rakyat bersimpati kepada TNI dan posisi Gatot menguat, bahkan Presiden harus turun tangan untuk menenangkan Sang Panglima. Barulah persoalan ratusan pucuk senjata Polri mencair dari kebekuan komunikasi antar lembaga.

Nah, sekarang kisah pembebasan sandera di Timikia, Papua. Tidak perlu dijelaskan lagi. Masyarakat langsung jatuh hati dengan jiwa patriot prajurit TNI. Kepedulian Panglima dan startegi tempur konsep ‘gerilya’ terbukti ampuh. Panglima Gatot kembali menaiki anak tangga kepopulerasan publik.

Panglima Wapres

Setelah deretan panjang kisah antara Tito dan Gatot, sampai di sini terlihat peran Gatot lebih kuat. Secara politik, aksi di Papua menambah nilai Panglima. Meskipun baru Partai Nasdem yang ‘telanjur’ mengungkapkan poros ‘Jokowi-Gatot’, ada potensi poros tersebut menjadi nyata.

Memang benar, memilih Tito mungkin akan lebih nyaman bagi Jokowi dalam hal politik internal koalisi. Tetapi tidak semua mendukung. Ingat, politik itu sangat dinamis. Tito belum mampu menunjukkan prestasi yang kuat dalam hal membantu kemenangan Jokowi pada Pilpres ke depan.

Terlebih Polri sedang menghadapi kicauan pembela KPK. Semua berawal dari upaya hukum pembela Setya Novanto yang berkeinginan mengurusi KPK secara hukum. Apakah hal ini menguatkan nama Tito dalam politik?

[irp posts="4129" name="Ketika Kader Partai Nasdem Serukan Duet" Jokowi-Gatot"]

Bukan menguat, malah menurunkan popularitas Kapolri secara politik. Karena pembela KPK pasti terus menyerang untuk mengamankan lembaga anti rasuah dan Tito lewat Bareskrim yang sempat akan memidanakan dua pimpinan KPK akan terus jadi bulan-bulanan.

Berbeda dengan TNI. Panglima Gatot langsung mendatangi KPK dalam hal mengungkap kasus korupsi helikopter. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan Panglima menyatakan siap mendukung KPK membongkar kasus korupsi di internal TNI. Hasilnya? Gatot dikesankan lebih memiliki niat baik untuk memberantas korupsi.

Seandainya saja hanya ada dua nama bakal calon Wakil Presiden diatas meja Presiden, maka publik akan memastikan Panglimalah yang akan terpilih. Nama kuat, faktor militer, di dukung umat Islam dan bersedia membela KPK membersihkan korupsi adalah nilai kunci seorang Gatot Nurmantyo.

Tahapan pencalonan memang masih lama. Semua pihak, Gatot, Tito maupun calon dari kader parpol masih memiliki peluang mendampingi Presiden Jokowi.

Persoalannya adalah bagaimana cara memberikan nama yang bisa diterima oleh semua parpol dan dia memiliki nama baik di hati rakyat?

***