Tukang Kibul Itu Bernama Partai Politik

Selasa, 21 November 2017 | 09:58 WIB
0
392
Tukang Kibul Itu Bernama Partai Politik

Dari berbagai berita tentang Pilkada Serentak tahun depan, yang segera paling tampak adalah ketakutan yang nyata dari 'para'parpol itu. Ketakutan pada kekalahan.

Dari DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, semuanya hanya pameran bagaimana parpol telah gagal menjalankan peran politiknya, tetapi tak mau menyadari hal itu. Peran politik hanya dimaknai dalam pengertian prosedural formal, bukan dalam pengertian substansial atau eksistensial keberadaan partai.

Beruntung DIY tak ikutan Pilkada, kecuali untuk Walikota dan Bupati. Bukannya tanpa Pemilu tidak demokratis? Demokrasi macam apa yang hendak dibanggakan? Beberapa tahun setelah dilantik sebagai raja, Sri Sultan Hamengku Buwana IX pada tahun 1941 membentuk Dewan Desa, sebagai perwakilan rakyat. Anggotanya, adalah usulan (dengan sendirinya melalui mekanisme pilihan) yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

Jika pimpinan masyarakat, atau pemimpin rakyat, mampu melaksanakan tugas sosial-politiknya dengan baik, yang berujung pada kesejahteraan warganya, apalagi yang hendak dicari? Sementara dengan sistem yang dikata adil, seringkali ujungnya justeru berbalikan arah. Lebih karena sistem kepartaian kita, juga sistem demokrasinya, sarat dengan permainan para elitenya belaka.

Siapa yang sibuk dengan Pilkada Jabar, Jateng dan Jatim? Juga DKI? Para atasan partai, kaum oligarkis dengan para calo dan cantolan donasi mereka.

Maka betapa tak mudah mereka menentukan siapa calonnya. Karena partai bukan mekanisme menggodog kader, melainkan hanya usaha papan nama untuk legitimasi yang berujung pada transaksi ekonomi, bukan negosiasi politik.

[irp posts="3032" name="Golkar Jatim Selangkah di Depan Dibanding Partai Lain. Apa Indikatornya?"]

Mengapa Golkar memilih Ridwan Kamil, dan bukan Dedi Mulyadi yang notabene kader berdarahnya? Mengapa Kofifah Indar Parawangsa masih juga ditarik-tarik untuk bertarung lagi melawan Syaifullah Yusuf? Hanyalah contoh kecil, bagaimana partai tak pernah menunjukkan kinerja kepartaian.

Tapi kalau orang partai tak suka dibilang bodoh, apalagi gagal, bisa jadi mungkin memang tidak bodoh, melainkan culas. Berpolitik hanya untuk menaikkan kesejahteraan diri-sendiri, keluarga, sanak-famili, atau kelompoknya belaka. Memang masih harus nunggu berapa tahun lagi, partai politik bisa diharap?

Akan lama, sekiranya rakyat masih suka-rela dikibuli. Tapi tidak terlibat dalam demokrasi, juga hanya membuat penjahat lebih leluasa melenggang kangkung. Contohnya, apa yang dialami Setya Novanto, yang mahasiswa dan buruh paling militanpun tidak mendemonya.

***