Muhi, Sepotong Kisah Menyentuh Perasaan dari Tanah Israel

Selasa, 21 November 2017 | 04:12 WIB
0
227
Muhi, Sepotong Kisah Menyentuh Perasaan dari Tanah Israel

Bunyi sirine ambulance yang berseliweran malam itu sangat mengganggu bagi Muhi, bocah laki-laki yang berada di rumah sakit di Israel. Abu Naim, kakeknya, sengaja menyembuyikan perihal sirine ambulance tersebut yang tiba-tiba meraung sepanjang jalan sebab perang. Alasannya simpel, agar Muhi tidak tahu perang yang terjadi antara negaranya dengan negara tempat Ia berada sekarang, Palestina dengan Israel.

Muhammad atau biasa dipanggil Muhi merupakan seorang keturunan Arab warga Gaza, Palestina. Sewaktu bayi  Ia harus mendapatkaan penanganan medis di rumah sakit Israel sebab peralatan medis di Gaza tidak memadai untuk menangani penyakitnya. Muhi juga harus rela kedua tangan dan kakinya diamputasi akibat infeksi.

Untuk bisa dirawat di Israel, Muhi harus didampingi oleh seseorang yang berusia di atas 55 tahun. Jadilah Abu Naim, kakeknya yanng rela berpisah dengan keluarganya demi kesembuhan cucu kesayangannya.

Di tengah perang yang seolah tidak akan pernah berhenti antara Israel-Palestina, ada sisi humanis yang terpotret dalam sebuah rumah sakit di Israel. Meski Muhi warga Gaza, Ia mendapat perawatan yang sama dengan pasien anak-anak lainnya. Tidak ada perbedaan. Sungguh, itu potret kedamaian yang luar biasa antara dua pihak yang sedang bersitegang.

[irp posts="1964" name="Monique Rijkers, Jurnalis Yang Kampanyekan Toleransi Lewat Film"]

Muhi kecil yang begitu aktif, cerdas, dan bersemangat mencoba kaki dan tangan palsunya berlari di lorong rumah sakit. Semua terlihat senang dan bahagia dengan keceriaan Muhi. Termasuk Buma, seorang Israel yang mendidikasikan hidupnya untuk membantu orang lain mendapat perawatan medis. Salah satunya membantu Muhi.

Kedekatannya dengan Abu Naim menjadi gambaran betapa indahnya persaudaraan dalam perbedaan. Meski antarnegara mereka memiliki sejarah gelap, tidak menjadikan mereka juga ikut larut dalam perang tersebut. Jalani keyakinan masing-masing, tanpa perlu memaksa dan hiduplah dalam kedamaian.

Abu Naim tidak sekalipun mengajarkan Muhi membenci mereka yang berbeda. Tenaga medis dan sukarelawan rumah sakit juga tidak memperlihatkan kebencian kepada Muhi yang notabene berasal dari negara musuh. Malah, Muhi bagai memiliki keluarga baru yang begitu amat peduli dan menyayanginya sepenuh hati sebagai makhluk Tuhan yang tidak  berdosa.

Muhi bahkan bisa berbahasa Ibrani selain berbahasa Arab seperti orang-orang Palestina. Muhi juga sering  melakukan dan meniru ibadah orang Yahudi karena memang Ia tumbuh di lingkungan seperti itu. Tapi Abu Naim tak pernah melarang apalagi mengatakan itu salah.

Dari bayi semenjak dibawa ke rumah sakit di Israel, Muhi tidak pernah bertemu dengan orang tua dan keluarganya. Ia hanya tahu nama saja dari cerita Abu Naim. Hiba, ibu Muhi, harus melewati berbagai pemeriksaan di tiga perbatasan dulu sebelum akhirnya bisa bertemu dengan Muhi setelah bertahun-tahun. Pertemuan itu amat sangat menyedihkan.

Hingga akhirnya Muhi berusia tujuh tahun,  Ia tidak bisa kembali ke negaranya, Palestina. Ia sekarang tinggal bersama kakeknya, Abu Naim, di Israel yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Rumah sakit. Akhirnya Abu Naim bisa bekerja Di Israel karena sudah memiliki visa sementara. Ini jugaa tak lepas dari bantuan Buma, saudara Israelnya.

Itulah film dokumenter berjudul ‘Muhi: Generally Temporary’ yang disutradarai oleh Rina Castelnuovo-Hollander dan Tamir Elterman ini diangkat dari kisah nyata selama mengikuti perjalanan hidup Muhi selama empat tahun. Film ini pertama kali diputar pada 2017 San Fransisco International Film Festival. Berkat Tolerance Film Festival yang digelar oleh Hadassah Indonesia, warga Jakarta dan sekitarnya bisa turut menyaksikan film tersebut.

Tolerance Film Festival 2017 ini diselenggarakan selama lebih kurang seminggu, mulai dari 14-19 November 2017 menampilkan film-film berbau toleransi di dua tempat berbeda, di Atamerica dan Institut Francais Indonesia. Ini merupakan event yang harus sering diselenggarakan demi terwujudnya Indonesia atau Jakarta khususnya menjadi kota dengan tingkat toleransi antar umatnya  tinggi.

[irp posts="1795" name="Mengakrabi Toleransi lewat Film-film Yang Menginspirasi"]

Sebab, berdasarkan hasil hasil kajian dari Setara Institute yang dirilis pada Kamis 16  November 2017 lalu, menyebut Jakarta berada  diperingkat paling bawah dalam praktik toleransi dari 94 kota di Indonesia.

Ini tidak begitu mencengangkan sebab bisa terlihat beberapa tahun belakangan memang isu SARA selalu menjadi alasan perpecahan dan perkelahian diantara sesama rakyat Indonesia. Terllebih ketika isu SARA digoreng saat pemilu. Puncaknya saat pilkada beberapa bulan lalu.

Hal ini disebabkan karena banyak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah di Jakarta. Apalagi semenjak isu agama atau SARA digoreng pada pilpres 2014 hingga pilkada Jakarta beberapa waktu lalu.

"Dalam pemeringkatan Indeks Kota Toleran 2017, DKI turun dari peringkat 65 jadi ke 94 atau mendapat skor terendah, yakni 2,30 persen, dalam hal intoleransi dan politisasi identitas keagamaan di DKI menjelang, saat, dan setelah Pilkada 2017," kata peneliti Setara Institute, Halili, di Bakoel Koffe, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis 16 November 2017.

Kenyataan ini sungguhhlah menyedihkan. Sebab Jakarta merupakan kota yang dihuni oleh beragam etnis, suku, hingga agama. Sangat disayangkan jika kota ini menjadi tidak toleran terhadap perbedaan.

Andai potret toleransi antarumat seperti  film ‘Muhi’ ini ditemukan di semua tempat di dunia, pasti tidak akan ada lagi perang, rasisme, ujaran kebencian, bahkan hal-hal buruk dari sikap intoleransi.

Marilah menerima perbedaan yang ada. Sebab Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk menimbulkan peperangan dan perpecahan, tapi untuk saling menghormati dan belajar satu sama lain.

***