Setya Kenakan Rompi Oranye, Kursi Ketua DPR Jatahnya Puan Maharani

Senin, 20 November 2017 | 07:48 WIB
0
366
Setya Kenakan Rompi Oranye, Kursi Ketua DPR Jatahnya Puan Maharani

Bahkan sebelum Setya Novanto mengenakan rompi oranye KPK tadi malam, perebutan posisi Ketua DPR sudah ramai diperbincangkan. Wajar, sebab setelah Sang Ketua dikabarkan "menghilang" tetapi kemudian diketahui mengalami kecelakaan sehingga perlu di rawat, kursi empuk jabatan tertinggi di legislatif itu tidak boleh kosong.

Kemudian setelah KPK mengumumkan secara resmi penahanan terhadap Setya Novanto, ia mau tidak mau harus melerakan kursi Ketua DPR itu diisi. Perkara diperebutkan macam burung nasar mengincar bangkai, itulah realitas politik yang akan muncul sebagai episode dari babak lanjutan "drama" politik sekalgus hukum di negeri ini.

Pada masa lalu, sebelum Undang-undang MD3 diubah, ketentuan politik mengatur, siapa yang meraih suara terbanyak pada Pemilu yang otomatis peraih kursi DPR terbanyak, dialah yang berhak menduduki kursi Ketua DPR RI. Namun, hal ini tidak terjadi dalam politik kekinian karena ingar-bingar usai Pilpres 2014 di mana Koalisi Merah Putih yang kalah "mengkudeta" Undang-undang itu dan mengubah sesuka hatinya.

Saat itu, Partai Golkar yang masih seperahu dengan KMP yang dipimpin Prabowo Subianto, menjadi oposan terhadap sang juara Pilpres, yaitu Joko Widodo yang kini menjadi Presiden RI. Karena Golkar peraih suara terbanyak di antara KMP, maka kursi Ketua DPR jatuh ke tangan "Fraksi Beringin" dan Setya Novanto-lah yang didapuk sebagai ketuanya.

Setelah Pemilu 2014, aturan tentang alat kelengkapan pimpinan DPR menjadi pertaruhan sekaligus pertarungan politik seru yang tidak kalah dengan pertunjukkan Gladiator. Pertempuran antarkoalisi mempengaruhi situasi Gedung Senayan.

PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014 kehilangan haknya menduduki kursi Ketua DPR. Sebabnya, Koalisi Golkar, PKS dan Gerindra mendominasi forum Senayan itu. Mereka seolah bancakan bagi-bagi kekuasaan, ibarat kawanan ikan lele yang juga ingin ikut di air yang mengalir.

KMP yang mengubah aturan terkait hak menduduki kursi Pimpinan DPR tidak terbendung, bahkan oleh eksekutif yang sudah beralih ke tangan Jokowi. Semua suara terbanyak pemilu berubah menjadi pemilihan di DPR.

Nah, siapa yang lihai melobi anggota DPR, dialah pemilik kursi elit DPR, sekaligus menunjukkan bahwa politik bisa menggunakan kuasa untuk merebut kekuasaan itu sendiri. Nasib apes memang, PDI Perjuangan yang memperoleh 23.681.471 suara nasional (18,95 persen) dikalahkan oleh Partai Golkar dengan 18.432.312 suara (14,75 persen).

[irp posts="2729" name="Jokowi Dikatakan Diktator, Mengapa Megawati Pasang Badan?"]

Sekadar mengingatkan kembali, setiap Fraksi di DPR saat itu mengajukan usul dan diputuskan melalui voting untuk pemilihan pimpinan DPR pada Oktober 2014. Koalisi Golkar bersama Partai Gerindra, PPP, PKS serta PAN mencapai 292 kursi atau separuh lebih kursi di parlemen. Dengan mekanisme voting, KMP berkemungkinan mengantongi tiket pimpinan DPR. Jumlah kursi koalisi bisa bertambah dari Demokrat, dengan 61 kursi, yang mengklaim netral.

PDI Perjuangan, meskipun memenangi pemilu, hanya mengumpulkan 207 kursi dengan mitra koalisinya, Partai Nasdem, PKB dan Hanura. Sumber di Golkar menyebutkan posisi Ketua DPR merupakan syarat Golkar ketika diajak bergabung dalam koalisi. Golkar mengajukan Bendahara Umum Setya Novanto sebagai kandidat yang akhirnya sejarah mencatat, dialah salah satu Ketua DPR yang pernah ada.

Senjata makan tuan

Masih ingat ada adagium politik yang mengatakan “tidak ada teman Ssejati dan tidak ada musuh abadi, semua hanya kepentingan”. Politik memang sangat dinamins, siapa yang sanggup bertahan dalam ‘persaudaraan politik’, maka keuntungan berpihak kepadanya.

Selama tiga tahun, politik nasional sudah mengubah wajah atas nama kepentingan dan kekuasaan atau sekedar mengamankan stabilitas internal partai. Golkar dan PAN merapat ke KIH, meninggalkan Gerindra dan PKS.

Dahulu, ketentuan suara terbanyak diganti oleh KMP demi menggagalkan KIH merebut unsur pimpinan DPR. Sekarang, ketentuan tersebut menembus pertahanan pencipta. KMP sudah "ompong" dengan hanya berisikan dua sejoli koalisi, Gerindra dan PKS.

Sebaliknya, KIH menguat dengan anggota PDI 91 kursi, Golkar 73 kursi, PAN 48 kursi, PKB 47 kursi, PPP 39 kursi, Nasdem 36 kursi dan Hanura 16 kursi. Sebaliknya, Gerindra hanya mengandalkan 73 kursi ditambah 40 kursi PKS. Nah, dunia berputar balik, sekarang tujuh partai melawan dua partai, di mana Partai Demokrat dengan 61 kursi kemungkinan, bakalan absen atau walk out. Lebih mengenaskan lagi kalau Demokrat malah merapat ke pemerintah!

Membaca situasi kekinian, PepNews melihat potensi PDI Perjuangan sebagai pimpinan gerbong koalisi pemerintah dapat menghimpun kekuatan politik di Senayan. Caranya, didorong untuk mengubah Undang-undang MD3 yang sempat dirombak KMP.

[irp posts="4282" name="Jokowi Sebenarnya Butuh Figur Seperti Setya Novanto, Mengapa?"]

Pertanyaan bermuara pada, siapa sosok yang layak dimajukan PDI Perjuangan selaku pemenang Pemilu yang berhak mendapat jatah kursi Ketua DPR?

[caption id="attachment_4296" align="alignright" width="396"] Puan Maharani (Foto: Okezone.com)[/caption]

Publik berpaling kepada sosok Puan Maharani, "pewaris tahta" partai yang kini dipegang ibunda, Megawati Soekarnoputri. Ini dengan catatan Undang-undang itu diamandemen lagi, sehingga kemungkinan PDI Perjuangan dengan Puan-nya berhak maju dan merebut kursi Ketua DPR sangat terbuka. Sejatinya, kursi itu memang hak Puan kalau tidak dikudeta oleh politik Golkar, Gerindra dan PKS di awal-awal pembahasan tahun 2014.

Akan tetapi koalisi pemerintah belum bisa mendapatkan peringkat ‘tertib’. Menurut August Melaz, menghitung politik bukan hanya jumlah kursi. Direktur Eksekutif Sindikasi dan Pemilu Demokrasi ini mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan alat ukur “Tingkat Kedisiplinan Koalisi” di Senayan.

“Kekompakan koalisi koalisi partai pendukung Pemerintah dapat diukur menggunakan Rice Index. Ini dapat dilihat dari lima kasus pengambilan kebijakan yang melibatkan Pemerintah dan DPR. Satu pembahasan Rancangan Undang-undang, empat pembahasan Perpu,” kata August Mellaz, di Jakarta, 1 November 2017.

Setidaknya, Puan Maharani harus mengetahui bagaimana pola mengamankan kedisiplinan partai-partai yang menyatakan ikut dalam koalisi pemerintah. Presiden Joko Widodo bersama dengan Megawati Soekarnoputri harus bergerak cepat, bila masih ingin merebut kursi Ketua DPR untuk kepentingan Pilpres 2019.

Jika perlu, Megawati dapat berdamai dengan Soesilo Bambang Yudhoyono untuk mendapatkan suara Fraksi Demokrat. Posisi Menteri untuk Agus Harimurti Yudhoyono dapat menjadi pertimbangan dalam memuluskan Puan Maharani menduduki tahta DPR.

Disiplin partai koalisi partai wajib. Semua ketua umum partai wajib memubuhi kesepakatan hitam di atas putih. Sumpah setia dalam koalisi pemerintah kali ini mesti lebih jelas setlah Setya Novanto, sang Ketua DPR, mengenakan rompi oranye tadi malam. Menyerahkan kursi Ketua DPR kepada Puan Maharani menjadi masuk akal.

***