Tidak Ada di Kediamaan Saat KPK Datang, Setya Novanto Larikan Diri?

Kamis, 16 November 2017 | 05:00 WIB
0
160
Tidak Ada di Kediamaan Saat KPK Datang, Setya Novanto Larikan Diri?

"Drama" dua babak antara dua lembaga negara akan segera berakhir setelah Komisi Pemberantasan Korupsi tadi malam menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto. Setelah imbauan KPK agar Novanto menyerahkan diri tidak digubris, Tim KPK tadi malam akhirnya mendatangi kediaman Novanto. Namun, yang bersangkutan dikabarkan tidak berada di tempat kediamannya itu.

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah sebagaimana dilansir sejumlah media online, surat perintah penangkapan diterbitkan KPK karena ada kebutuhan penyidikan oleh KPK dalam kasus KTP Elektronik.

Sebelumnya, Setya Novanto tidak hadir sebanyak tiga kali dalam pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, termasuk dalam pemanggilan Rabu, 15 November 2017 kemarin, untuk diperiksa sebagai tersangka.

KPK belum dapat menyimpulkan, dengan ketidakberadaan Setya Novanto saat KPK mendatangi kediamannya berarti yang bersangkutan telah melarikan diri alias sudah menjadi buron.

Nama Setya Novanto sedang "seksi" menjadi bahan pemberitaan. Bukan "media darling", tetapi lebih tepat "man makes news" jika mau meminjam term jurnalistik. Setnov, demikian Setya Novanto biasa dipanggil, adalah lelaki pohon beringin tangguh yang tidak mudah goyah tertiup angin, bahkan terpaan badai sekalipun.

KPK yang mengirimkan "tsunami" proses hukum baru terhadapnya pun untuk sementara harus bersabar menunggu waktu yang tepat benar-benar menyeretnya paksa.

Setnov termasuk orang yang berani melawan hukum, setidak-tidaknya bisa menentang KPK dengan dalil-dalil hukum yang dijejalkan pengacaranya. Bukan berarti Ksatriya yang menjaga Brahmana, Waisa, dan Sudra. Dalam Hindu, Ksatriya punya tanggung jawab untuk melindungi tiga golongan di atas, demi keberlangsungan hidup manusia. Ksatriya adalah bangsawan, Brahmana Cendekia, Waisa pedagang, dan Sudra babu.

Jika penegak hukum saja dia lawan, apa lagi orang sebangsa Dyann Kemala Arrizzqi, warganet yang iseng  mengunggah meme Setya Novanto saat dirawat di rumah sakit, dengan mudah menjadi tercyduk setelah dilaporkan dilaporkan kepada aparat. Lantas apa hubungan Ksatriya dengan Setya Novanto?

[irp posts="3843" name="Setya Novanto Kembali Tersangka, Kursi Panas Golkar Kini Diperebutkan?"]

Kemarin, Komisi Pemberantas Korupsi (KPKP) memanggil Setnov untuk memberi keterangan sebagai saksi kasus KTP Elektronik. Tapi, Setnov mangkir lagi. Alasannya KPK menyalahi sejumlah aturan mengenai hak imunitas anggota dewan, diantaranya Pasal 20A huruf (3) UUD 1945, Pasal 80 huruf (h) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

Lebih sialnya lagi, Setnov berkirim surat itu kepada KPK dan tersebar di sejumlah media. Isinya Setya menolak untuk diperiksa olehKPK. Tidak tanggung-tanggung, Setnov meminta KPK mengantongi tandatangan Presiden Joko Widodo terlebih dahulu, barulah KPK bisa membawa Setnov untuk dimintai keterangan.

Juru bicara KPK Febri Diansyah kepada sejumlah media mengatakan, surat  yang masuk itu ditandatangani oleh Setya Novanto sebagai Ketua DPR.

Dalam surat itu, Setnov seolah bukan sebagai tersangka, tapi sebagai orang yang teraniaya. Dia berdalih kepada KPK tentang pasal 224 ayat (5) dan pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang sudah diuji materi MK. Disebutkan juga Putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2017 tentang aturan bahwa, penyidik yang memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu.

Rupanya, tak sampai di situ. Setya Novanto juga beralasan tidak menyanggupi panggilan KPK dengan alasan KPK juga tidak bersedia datang saat dipanggil Pansus DPR. Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, penolakan KPK akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan penegakan hukum di Indonesia.

Agak membingungkan, Setya Novanto yang menjadi tersangka, tetapi kenapa KPK yang dipanggil Pansus DPR? Pansus DPR memanggil KPK untuk mengklarifikasi sejumlah temuan dan fakta tentang adanya konflik internal yang mengganggu proses pemberantasan korupsi, dan itu terjadi saat Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka.

[irp posts="4054" name="Berharap Kasus Setnov-KPK Tak Berakhir dengan Penjemputan Paksa"]

KPK tentu saja membela diri. Mereka menolak undangan rapat dengar pendapat (RDP) dari Pansus DPR bukan karena takut, tapi KPK beralasan tidak menghadiri undangan tersebut karena perlu mempertimbangkan sejumlah aturan seperti UUD 1945, UU MD3, Tata Tertib DPR yang saat ini tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.

Inilah isi "surat cinta" Setya Novanto kepada KPK:

 

 

  • Surat panggilan dari KPK telah diterima pada hari Rabu, 8 November 2017, untuk menghadap penyidik KPK sebagai saksi dalam penyidikan perkara TPK Pengadaan KTP Elektronik yg diduga dilakukan oleh ASS

 

 

  • Surat panggilan tersebut secara jelas dan tegas disebutkan memanggil Setya Novanto, pekerjaan: Ketua DPR-RI dengan alamat kantor Gedung DPR-RI dan rumah di Jl. Wijaya dst.

 

 

  • Disebutkan sejumlah aturan mengenai hak imunitas anggota dewan, diantaranya Pasal 20A huruf (3) UUD 1945, Pasal 80 huruf (h) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

 

 

  • Disebutkan aturan bahwa penyidik yang memanggil anggota DPR RI harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan pasal 224 ayat (5) dan pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang sudah diuji materi MK. Disebutkan juga Putusan MK RI No. 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2017.

 

 

  • Dijelaskan bahwa Novanto baru akan memenuhi panggilan setelah KPK mengantongi surat persetujuan dari Presiden RI sebagaimana putusan MK.

 

 

  • Dijelaskan juga bahwa selain belum ada persetujuan tertulis dari Presiden RI, pada hari ini juga Novanto telah lebih dahulu menerima undangan HUT Golkar ke-53 Tingkat Provinsi NTT.

 

 

  • Disebutkan bahwa berdasarkan alasan hukum diatas, maka surat panggilan sebagai saksi tidak dapat dipenuhi.

 

 

 

Kiranya pembaca dapat mengartikan sendiri makna "surat cinta" Setya Novanto kepada KPK di atas.

***