Kala Pers Terlalu Cerewet dan Kejam terhadap Sandiaga, Apa Salah Dia?

Rabu, 15 November 2017 | 08:35 WIB
0
321
Kala Pers Terlalu Cerewet dan Kejam terhadap Sandiaga, Apa Salah Dia?

Mereka belum seumur jagung menghuni Balai Kota DKI Jakarta, namun Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saban hari harus meladeni pers atas berbagai persoalan. Rasanya terlalu kejam mencecar dua orang ini dengan seabrek masalah DKI Jakarta yang memang tak pernah habis-habisnya sejak kota ini bernama Sunda Kelapa. Kurang fair-lah!

Saat di depan mereka, para insan pers itu terlihat serius dan terkadang menunjukkan kesan sangat respek kepada dua orang penguasa Jakarta tersebut. Pertanyaan-pertanyaan diajukan pun sekilas terasa sangat sopan, santun, dan bahkan tetap tidak melupakan Kamus Besar Bahasa Indonesia meskipun mereka hanya sedang bertanya. Saking begitu respeknya para pekerja media ini kepada mereka.

Sampai kemudian meluncurkan penjelasan demi penjelasan dari Anies atau Sandi. Dari harapan indah Anies yang ingin membangun Jakarta dari uang halal hingga Sandiaga yang terpaksa memanggil pejabatnya sekadar untuk menjelaskan masalah yang harus dihadapinya.

"Pak Wali sini bantuin, woy! Malah ngobrol di situ!" teriak Sandi di depan para wartawan di Balai Kota, Selasa 7 November 2017 lalu seperti dilaporkan Kumparan.com.

Saat itu Sandi sedang ditodong dengan pertanyaan seputar masalah Tanah Abang, dan para wartawan tetap saja ngeyel menanyakan masalah itu kepadanya. Tak pelak sebagai manusia biasa, Sandiaga merasakan kepanikan kalah dihujani pertanyaan terlalu serius.

Sandi makin menyadari jika wartawan terasa kian cerewet saja sejak ia menemani Anies memimpin DKI. Dulu, saat ia masih menjadi pengusaha, ia bisa memilih wartawan mana saja yang dapat mewawancarainya. Selain, dia pun bisa menitahkan lebih dulu agar kalimat dari mulutnya bisa dipoles lagi ketika dituangkan ke dalam naskah berita.

[caption id="attachment_3813" align="alignleft" width="500"] Sandiaga Uno (Foto: Tribunnews.com)[/caption]

Sekarang, wartawan yang muncul di depannya dengan maaf, sangat tidak sopan. Apa saja yang meluncur dari mulutnya ditayangkan begitu saja di TV, dan ditulis apa adanya. Kenapa tidak dipoles kek sedikit, demi menyelamatkan citranya sebagai orang paling disegani se-Jakarta Raya. Ini malah dari titik komanya terlalu apa adanya.

Saat ia berbicara dan terlalu banyak menggunakan huruf "e" beberapa waktu lalu pun para wartawan itu pun menurunkan berita itu begitu saja ke media mereka. Hasilnya, banyak yang biasanya hanya gemar menonton Komedi Tunggal alias Stand Up Comedy, malah memilih menonton hasil wawancara itu hanya untuk bisa tertawa.

Begitu juga saat Sandi memanggil Rustam Effendi, mantan Wali Kota Jakarta Pusat, dengan nada terkesan "menghardik", lagi-lagi karena terekam di berbagai media, malah menjadi bahan lawakan lain bagi publik.

[irp posts="1263" name="6 Tahun Lalu Anies Masuk 20 Tokoh Besar Dunia, Sandiaga Orang Kaya"]

Bahkan akun Twitter saya yang hanya merespons berita itu dengan pertanyaan singkat, "Kok Sandi terlihat bingung atas tanggung jawabnya sendiri?" Malah saya yang ketiban untung karena seketika mendapatkan retweet sekaligus mendapatkan follower lebih banyak. Apakah saya senang menangguk untung di tengah kegelisahan Sandi?

Iya, saya senang atas follower Twitter yang makin banyak saja, tapi sebagai warga DKI jelas saya kurang bisa menerima pemimpin kota ini dicela!

Ah, betapa salehnya terlihat muka saya ini ketika menegaskan kalimat itu ya? Membela seorang pemimpin yang didukung oleh tujuh juta umat, dan sudah membuat alam kubur pun pernah heboh ketika ia dengan Anies ingin menguasai DKI, sebab ada sekian banyak calon penghuni kubur lain yang terancam tak disalatkan jika saja mereka tidak menang.

Sudah, lupakan masa lalu itu. Soal kehebohan hingga ke alam kubur itu cukup menjadi cerita masa kampanye saja. Saya tak perlu ikut-ikutan membesar-besarkannya lagi bukan? Toh saya tak lagi harus merasa diteror takkan disalatkan lagi karena mereka berdua telah terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Semua calon penghuni kubur sudah lega.

Masalahnya tersisa hanya kala mereka berdua harus berhadapan dengan wartawan. Para pekerja media itu memang terkadang terlalu sadis, lebih sadis dari para penguji skripsi Anda di masa kuliah. Para penguji sidang skripsi Anda cuma ada beberapa orang, sedangkan wartawan ini bisa sampai belasan orang mengerubutinya.

[irp posts="750" name="Pernikahan Dini Sandiaga-Mardani Terancam Berakhir Sampai di Sini"]

Pernah Anda bayangkan bagaimana rasanya jika dosen penguji skripsi Anda mengerubuti dengan seabrek pertanyaan yang dapat mengancam kelestarian rambut di kepala? Beruntung karena biasanya Anda dengan para dosen itu terpisah oleh jarak dan waktu, karena mereka hanya duduk di belakang meja dan Anda sendiri berada di tempat agak jauh--hingga aroma mulut dosen Anda itu pun takkan terdeteksi.

Betapa malangnya Sandi, ketika ia harus menjalani wawancara door-stop, ia diadang di depan pintu, dan para wartawan yang mencecarnya nyaris tak memberikan celah untuknya bergegas pergi. Alhasil, tanpa persiapan, tanpa data yang ada di tangan, ia harus menghadapi semua pertanyaan itu. Ini berat, saudara-saudara!

Di sinilah kenapa muncul video di mana Sandi memberikan jawaban yang mirip gaya Moerdiono yang pernah menjadi Menteri Sekretaris Negara di era Orde Baru dulu. Yang beda adalah Moerdiono dulu masih dapat bicara runut dan jelas meskipun bicaranya terlalu lamban.

Sedangkan Sandi? Tampaknya ia memang sedang dididik oleh Anies agar terbiasa sendiri, mandiri, terutama menghadapi insan pers. Sebab ada pesan Kunto Aji yang harus diterima dengan apa adanya, "Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku sendiri..."

Anies sadar jika ia tak bisa selalu membantu Sandi terselamatkan dari kerewelan kalangan pers atas banyak pertanyaan. Maka itu ia membiarkan beberapa masalah agar menjadi bagian Sandi saja. Dengan ini, saat kelak ia diminta pertanggung-jawaban atas kinerja pemerintahnya, Anies bisa sedikit mencuci tangan, "Ada yang jadi wilayah tanggung jawab saya, ada wilayah tanggung jawab Pak Sandi, dan ada lagi wilayah Pak Rustam dan pejabat yang pernah dipecat Basuki Tjahaja Purnama."

Jadi, sekarang Sandi perlu mengambil berbagai strategi untuk menghadapi pers. Sebab selama ini tampaknya mengandalkan strategi ala Winston Churchill tentang bagaimana berbicara, "Kata-kata pendek adalah yang terbaik. Kata-kata yang akan terus diingat oleh orang-orang adalah yang terbaik dari semuanya."

Tampaknya ada kekeliruan Sandi dalam menginterpretasikan pesan Churchill itu, sebab se-DKI saat ini hanya mengingat "Eeee ... eee ... eee ..."

Jangan lupa, terlepas pers terkesan rewel di tengah situasi ini, tapi Anies dan Sandi tak bisa menampik manfaat dari pekerja media. Sebab merekalah yang akan turut membangun identitas kedua figur pemimpin DKI ini, membuat keberadaan keduanya makin terlihat di tengah publik, makin dikenal, hingga membantu pesan mereka tersampaikan lebih luas.

[irp posts="276" name="Sandiaga Uno Yang Kesulitan Mencari Jodoh""]

Sejauh ini, Sandi belum cukup menguasai hal ini. Jadi, Anies sebagai figur yang lebih piawai membuat media mengurangi kecerewetan di depannya, harus membantu koleganya itu juga. Sebab jika diibaratkan berkendara dengan sepeda motor -seperti pencitraan di awal mereka memimpin- jika satu ban saja meletus, yang sulit terhalang berjalan lebih jauh tak hanya yang duduk di jok belakang, tapi juga siapa yang memegang setir.

Sebab, seperti pernah disinggung Jay Conrad Levinson dalam buku Guerrilla Publicity, publisitas adalah seni dan ini adalah seni menempatkan diri sebagai pusat perhatian.

Seni yang baik, tentunya, akan menjadi penjelas bahwa di belakang yang terlihat itu nantinya memang ada sesuatu yang istimewa, yang dibangun dengan kegigihan dan kerja keras. Sedangkan seni yang buruk, hampir selalu dipengaruhi banyak hal buruk di belakangnya.

Ke depan, jika seni itu telah dikuasai Sandi dengan baik, ia tak perlu lagi meneriaki pejabatnya dengan "Woyyyy!" Sebab, itu hanya pantas ditunjukkannya jika kelak ia beralih profesi sebagai kondektur di Terminal Pulo Gadung, misalnya.

Woooyyyyy..... nggak gitu juga kali!!

***