Falsafah "Poligami" Cara Jokowi Yang Jadi Beban Jelang Pilpres

Senin, 13 November 2017 | 20:42 WIB
0
179

Joko Widodo dua periode! Itulah yang kerap dikumandangkan pendukung eks Wali Kota Solo yang kini sudah memasuki tahun-tahun terakhirnya di posisi Presiden Republik Indonesia yang terpilih pada 2014  lalu. Kampanye dua periode makin gencar dikumandangkan, ketika makin dekat ke tahun politik 2019, tahun berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang.

Di sisi lain, pertarungan politik di daerah pun makin memanas, dan disinyalir akan berpengaruh langsung pada dukungan terhadap Jokowi sendiri di Pilpres mendatang.

Dalam tiga bulan terakhir, ada berbagai survei bermunculan yang memetakan berbagai kemungkinan terkait nasib Jokowi dan kampanye dua periode dilancarkan pendukungnya. Salah satu survei yang tak dapat diremehkan adalah laporan dari bulan lalu yang dikeluarkan Lembaga Media Survei Nasional alias Median, yang menyebutkan bahwa ada 40,6 persen publik yang menginginkan sosok di luar Jokowi dan juga Prabowo Subianto yang selama ini dipandang sebagai rival terberatnya.

Survei Median itu sendiri memang keluar pada bulan lalu, tepatnya 2 Oktober 2017. Dari survei yang juga dipublikasikan di berbagai media arus utama itu disebutkan jika Jokowi sendiri hanya mencatat perolehan suara 36,2 persen, berikut Prabowo hanya 23,2 persen.

Kala banyak publik terpaku pada persentase di antara dua sosok tersebut, Rico Marbun yang merupakan Direktur Eksekutif Median mengingatkan faktor 40,6 persen suara. Artinya, jika memang ada alternatif yang lebih baik, bukan tak mungkin, Jokowi dan Prabowo tersalip sekaligus.

Detik.com pada 23 Oktober 2017 melansir pendapat Rico Marbun bahwa para pemilih yang berada di dalam persentase 40,6 persen itu adalah mereka yang memang tak menginginkan Jokowi dan Prabowo sekaligus. "Publik menginginkan adanya alternatif," kata Marbun saat itu.

Maka itu persoalan persentase publik yang lebih besar dari yang mendukung Jokowi atau Prabowo dinilai potensial dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang lebih jeli, yang tak hanya berkutat di lingkaran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ataupun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Di sisi lain PDIP dan Gerindra pun makin gencar melakukan gerilya ke daerah-daerah. Saking gencarnya kedua partai saling sikut, beberapa partai lain acap luput jadi perbincangan. Termasuk keberhasilan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menguasai DKI  pun acap digambarkan sebagai keberhasilan Gerindra dan kegagalan PDIP. Sedangkan partai-partai lain acap diposisikan sebagai "tim hore".

Padahal bukan rahasia ada banyak pemain lama di partai baru, dan pemain lama yang tetap berada di partai lama. Partai Golkar misalnya, meskipun telah banyak ditinggalkan tokoh-tokoh sentralnya, namun mereka tetap menjadi "beringin keramat" yang masih menjadi tempat banyak orang "membakar kemenyan" untuk mendapatkan nasib lebih baik.

Banyak politisi yang masih ingin berpayung di bawah rindangnya beringin.

Tak terkecuali Partai Persatuan Pembangunan. Mereka yang belakangan sempat tak diperhitungkan, acap muncul riak, hingga sempat terpecah, namun magnet mereka sebagai "Partai Islam paling berpengalaman" masih berpotensi untuk meyakinkan bagi sebagian kalangan.

Golkar dan PPP pun tak kalah gencar "setor muka" ke daerah-daerah. Mereka ingin hadir ke mana-mana, dan rindu disebut di mana-mana. Akar-akar Golkar terus merayap ke mana-mana, PPP pun makin mencuri perhatian di mana-mana. Daerah menjadi batu pijakan bagi mereka, untuk meyakinkan diri dapat melompat lebih jauh atau harus menapak dulu selangkah demi selangkah.

Paling tidak, Golkar dan PPP membawa ancaman tersendiri, karena kekuatan pengalaman dan penetrasi jauh lebih kuat dibandingkan wajah-wajah baru.

[caption id="attachment_722" align="alignleft" width="300"] Amien Rais, Bro (Foto: Kompasiana.com)[/caption]

Bagaimana Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat? Publik takkan lagi dapat mencapai "orgasme" dengan wajah Amien Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono. Amien tak bisa lagi "berdagang" dengan penokohan dirinya sebagai tokoh reformasi karena publik lebih membaca hasil dari reformasi alih-alih sekadar menumbangkan Soeharto.

Juga SBY, punya batu sandungan dengan serentetan kasus korupsi yang dilakukan orang-orang  kepercayaannya. Kemampuan SBY membangun citra kelompoknya tak sebaik saat ia masih berada di jalan tol hingga ia bisa dua periode menghuni Istana Presiden.

Tak pelak, lagi-lagi partai-partai lama menunjukkan geliat lebih meyakinkan terlepas mereka pun tak sepenuhnya luput dari kemelut dan sengkarut masalah. PAN dan Demokrat masih kelimpungan dapat menonjolkan siapa, sedangkan partai-partai baru masih berhadapan dengan dua masalah serius; selain meyakinkan publik, mereka juga masih harus lebih meyakinkan diri sendiri dapat menjadi David yang mampu menumbangkan Goliath.

Masalahnya?

Jokowi akan berada di depan tantangan teramat serius. Ia membiarkan segalanya mengalirkan, membiarkan segala irama ditentukan oleh mereka yang punya kepentingan tetap mendukungnya hingga Pilpres mendatang dan ia sendiri fokus pada pekerjaannya; atau, ia sendiri harus bisa memainkan dua peran sekaligus antara perannya sebagai presiden dan peran sebagai calon presiden.

Di sini Jokowi dihadapkan masalah tidak mudah. Ia bisa memaksa dirinya meniru lelaki penganut poligami. Bagaimana membuat istri pertama tetap merasa paling dicintai dan paling diperhatikan, selain dia pun harus mampu membuat istri kedua merasa paling dicintai dan  paling diperhatikan.

Antara tanggung jawabnya di pusat, dan peran yang harus dia mainkan ke daerah-daerah itulah, dengan segala misi Pilpres mendatang itu, yang mau tak mau akan memaksanya harus membagi perhatian.

Sementara publik, entah yang mengaguminya atau tidak, mendukungnya atau tidak, tetap menunggu; apakah Jokowi mengambil "filsafat poligami" atau belajar dari pengalaman pribadinya dalam berumahtangga. Apa itu? Bahwa beristri satu dan memaksimalkan diri pada satu istri lebih menenangkannya, membebaskannya dari tekanan tak perlu, memerdekakannya dari perasaan bersalah, hingga ia pun tak menguras pikiran untuk membuat istri kedua tak diketahui istri pertama.

Analogi macam apa ini, bah! kata orang Medan, tapi dengan perumpamaan macam beginilah rakyat dapat melihat mereka sedang di bawah lindungan ayah kandung atau ayah tiri! Lah, malah ke sini lagi?

Ya sudah, mari garuk kepala dulu. Toh bukan mustahil jika Gerindra kelak justru jadi pendukung Jokowi! Ya, jika Prabowo tak ingin buang-buang waktu lagi, Jokowi mampu menunjukkan kualitas lewat seabrek bukti, dan PDIP terlalu berambisi menjadikan Puan Maharani jadi wakil presiden atau bahkan presiden.

Eh, jangan bilang yang terakhir itu dagelan, sebab politik itu adalah dagelan di atas dagelan, lho.

***