Jika Bapak-bapak dan Ibu-ibu Tak Bisa Satu Suara, Diamlah!

Jumat, 10 November 2017 | 13:16 WIB
0
498
Jika Bapak-bapak dan Ibu-ibu Tak Bisa Satu Suara, Diamlah!

Kepala negara sedang berusaha tegas kepada bawahannya. Perkara beda pendapat para bahawannya yang diumbar ke publik. Sang RI-1 pun sering dibikin repot.  Memang susah kalau ada bawahan yang sok pintar dan mengumbar kepintarannya.

Lebih parah lagi jika apa yang dipertontonkan kepada publik sekadar debat kusir di media massa atau media sosial, sekadar menunjukkan "gue yang paling benar, elo yang salah". Sunguh-sungguh tidak bisa diterima dalam kehidupan berorganisasi dan berserikat. Apa yang terpikir oleh masyarakat luas kepada pimpinan, jika bawahan berdedat terus?

Setidaknya itu lah secuil kisah di negeri kami dan kita. Negeri yang telah memiliki pemimpin bangsa sebanyak tujuh kali. Tetap saja, pemimpin-pemimpin tersebut memiliki cerita tentang bawahan yang bertengkar atau berbeda pendapat dengan pemimpin.

Alasan kebebasan mengutarakan pendapat di muka umum memang benar. Ngomong itu dilindungi oleh konstitusi. Tapi ya tidak berdebat kusirlah. Atau jangan saling sok-sok-an adu kuat.

Dahulu kala, sejak bangsa ini dikatakan merdeka pada 17 agustus 1945, muncul ‘Dwi Tunggal’. Pendiri bangsa ini sempat beda pendapat. Bahkan, bukan hanya dengan sang wakil, pemimpin pertama pernah mengganti seluruh kabinet. Begitulah politik, pelbagai alasan bisa saja muncul sebagai pembenar.

Nakhoda bangsa kedua dikenal lama membawa bahtera negeri. Selama 32 tahun berkuasa, dikenal dengan ‘the smiling genderal’. Kepemimpinannya bahkan dirindukan oleh sebahagian orang. Meskipun sebahagian lain menghujatnya. Tetap saja, sulit melihat nakhoda kedua bangsa merobak kabinet. Paling-paling masa jabatan bawahannya di militer yang mungkin saja ditukar karena menyinggung sang nakhoda.

Bapak bangsa ketiga, sang jenius yang diakui seluruh bangsa. Kecerdasannya menjadi awal pembaharuan bisnis dirgantara Indonesia.

Langkah yang penuh kehati-hatian, bagaikan master catur mengatur langkah anak catur diatas bidaknya. Namun sang negarawan bangsa harus kalah oleh situasi. Bukan karena beda pendapat, para bawahan malah mundur secara teratur atas keinginan sendiri. Hingga senayan mengatakan bahwa ia harus merelakan jabatan yang diemban selama beberapa bulan, untuk pergi dan beralih posisi.

Pemimpin keempat adalah kiyai, guru agama nan humoris. Dia menyederhanakan masalah besar menjadi lelucon. Dengan santai, sang kiyai menjawab pertanyaan yang buat penanya pusing sendiri. Sang guru yang sederhana sering kali mengganti bawahannya. Dalam hitungan bulan saja, perganian bawahan bisa terjadi. Ya begitulah panuntan yang satu ini, canda tawa yang diajarkannya mungkin terlalu serius bagi lawan politik. Sehingga ia pun dimakzulkan. Tapi dia tetap tenang dan menghadapi semua situasi dengan santai sembari mengumbar lelucon khas.

Ibu negara pertama selaku pemimpin kelima adalah putri sang ‘founding father’. Ibu menggantikan kiyai yang pergi dengan penuh ketenangan. Sifat keibuan yang mencintai anak-anaknya terbukti dengan keinginannya mempertahankan bawahan. Tidak ada perombakan, kecuali sang bawahan mengundurkan diri. Begitu lah ibu negara, memimpin dengan penuh kasih sayang. Sehingga enggan mengganti kabinet.

Pemimpin ke-enam adalah militer kedua yang memimpin bahtera bangsa. Dia pernah meraih penghargaan sebagai lulusan terbaik akademi militer. Nakhoda yang tenang namun tegas ini sempat mengutarakan : "Kapal harus berlayar. Yang tidak ada gunanya kita ganti dengan awak yang lain. Ini fair, adil. Ini etika pemerintahan,” pada 5 Desember 2005.

Bagi pemilik sah partai berlambang bintang mercy dominasi warna biru ini, menjaga situasi politik lebih penting dari pada mempertahankan kabinet. Perubahan kabinet sempat membuat beberapa pelaku politik kecewa. Tetapi sang jenderal teguh dengan pendirian untuk mempertahankan dua priode kepemimpinannya.

Nakhoda ketujuh, sang pembawa mimpi rakyat kecil. Dia memberi harapan bahwa sipil yang biasa-biasa saja bisa memimpin bangsa. Dia bukan pemilik partai, melainkan tokoh sederhana yang mampu meraup suara dengan ketulusannya bersama anak-anak bangsa. Tapi jangan bilang ia tidak mampu memimpin bawahan. Jika melawan, pergantian bawahan terjadi dengan seabrek penjelasan logis dengan keterangan berupa penilaian.

Beleid penutup mulut

Sekarang, usia kepemimpinan nakhoda ketujuh tinggal dua tahun. Berarti sudah tiga tahun pemimpin rakyat memimpin bahtera melewati deburan ombak lautan masalah bangsa. Parahnya, awak kapal kadang membuat rusuh dan mengusik ketenangan nakhoda.

Biasanya, sang pemimpin cukup menegur dan bawahan langsung mengiyakan dengan sikap “siap perintah komandan”. Ternyata tidak, adu mulut awak kapal kadang harus didiamkan dengan pemanggilan ke ruang nakhoda. Bukan hanya bawahan kabinet, para pemegang senjata pun sempat berdebat sampai menghebohkan jagat raya. Pemimpin ini pun memanggil lagi untuk pendiaman.

Dengan segenap pertimbangan, maka pemimpin ketujuh bangsa pun meneken instruksi presiden. Memang luar biasa “bawahan jaman now”. Tidak bisa perintah mulut, terpaksa menggunakan surat perintah satu suara. Bahkan sang wakil membela dengan menceritakan pengalamannya. Pernah pemimpin ini meminta dengan marah agar bawahan tidak berdebat. Tetapi ya namanya “bawahan jaman now” tetap saja berulang seakan aktifis yang memperebutkan podium dalam rapat.

Entah bagaiman nasib surat sakti perintah untuk satu suara. Apakah bisa membuat para bawahan patuh kepada pimpinan? Semoga saja intruksi ini tidak mengulang masa “the smiling genderal” dengan bahasa bawahannya “kata bapak presiden begini, begitu, mengerti kan?”

Eh, ngomong-omong, pejabat teras kepolisian sekarang ini sedang bikin kegaduhan baru terkait KPK, ya?

Sessssttt..... kasih tahu Pak Kapolri dan Pak Bareskrim, baca lagi Inpres yang baru dikeluarin Pak Jokowi kemarin!

***