Mengapa Jokowi Larang Menterinya Obral Perbedaan Pendapat?

Kamis, 9 November 2017 | 21:46 WIB
0
563
Mengapa Jokowi Larang Menterinya Obral Perbedaan Pendapat?

Negara Indonesia dengan berbagai pulau dan keberangaman suku dan budaya menjadi negara paling demokratis di dunia. Berkaca pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1944, citra demokrasi Indonesia telah terlihat secara bening, sabagai salah satu dari tiga negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan Amerika.

Dengan begitu, Indonesia harus berbangga menjadi negara yang paling nyaman di dunia dalam berbagai hal. Termasuk dalam menyampaikan pendapat secara bebas, dan demokratis guna mencapai maksud dan tujuan keberlangsungan sebuah negara.

Dalam pasal 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa, 1), Negara Indonesia ialah negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. 2), Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksankan menurut UUD 1945, dan 3), Negara Indonesia adalah negara hukum.

Lantas, apa perlu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan dan Pengendalian Kebijakan di Tingkat Kementerian dan Lembaga Pemerintah? Atau ada tujuan lain dibalik Inpres tersebut, seperti meminimalisir kegaduhan yang baru-baru ini terjadi terkait pembelian 5.000 pucuk senjata yang mengakibatkan silang pendapat antara antara BNN, BIN dan Polri?

Detik.com, Senin 6 November 2017 kemarin menurunkan berita betajuk, Presiden Larang Para Pembantunya Umbar Perbedaan Pendapat ke Publik. Hal itu dilakukan Jokowi dengan tujuan menciptakan keselarasan dalam pemerintahannya dan meminimalisir kegaduhan yang  terjadi.

"Perbedaan itu sebenarnya hal memperkaya pandangan, tapi kalau belum menjadi keputusan lebih baik diputuskan dalam rapat, kalau sudah diputuskan oleh Bapak Presiden sebaiknya wajib untuk mengikutinya," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Pramono mengatakan, dalam pemerintahan Jokowi saat ini tak ada silang pendapat yang berarti. Selama rapat, kata dia, semua perbedaan telah selesai dalam rapat. "Ya kalau ada perbedaan pendapat ya diselesaikan dalam rapat," kata dia.

Ia juga menyakinkan bahwa, hingga saat ini, setiap kali rapat dilaksanakan, belakangan Presiden Jokowi jarang menegur para menterinya. Sebab, kata dia, Jokowi adalah sosok yang paling menghormati perbedaan pendapat. "Nggak masalah kalau ada perbedaan pendapat itu, kan beliau sangat demokratis," kata Pramono.

Namun, sambung dia, jika memang ada juga perbedaan pendapat terkait dengan substansi kebijakan, Menteri dan kepala Lembaga dilarang mempublikasikan perbedaan tersebut ke media sosial karena ditakutkan akan menghadirkan polemik ke tengah masyrakat.

Sementara, Kompas.com pada hari yang sama menulis, Presiden Jokowi miminta kepada seluruh kabinetnya untuk fokus pada pekerjaan masing-masing. Ia tidak mau para menterinya membuat masyarakat bingung dan khawatir dengan pernyataan-pernyataan yang diunggah ke media sosial, yang akhirnya membuat stabilitas negara terganggu.

Di hadapan seluruh jajarannya, termasuk Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jokowi juga menegaskan bahwa, dalam pemerintahan dirinya adalah adalah kepala negara dan panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Oleh sebab itu, Presiden meminta kepada semua yang hadir dalam rapat tidak bertindak dan bertutur kata yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

"Perlu saya ingatkan, tahun 2018 sudah masuk tahun politik, ada pilkada, ada tahapan pileg, ada tahapan pilpres sudah masuk. Oleh karena itu, sekali lagi, jangan melakukan hal yang menimbulkan kegaduhan, menimbulkan kontroversi. Kita bekerja saja sudah," kata Jokowi.

Walau tak secara langsung, Jokowi dengan Inpresnya tersebut sebenarnya ingin mengatakan bahwa, ribut-ribut terkait pembelian senjata 5.000 pucuk senjata api kemarin adalah jalan diterbitkannya Inpres Nomor 7 Tahun 2017.

Berikut empat poin penting dalam Inpres yang dikeluarkan Jokowi:

 

 

  • Menteri dan Petinggi Lembaga Pemerintah harus menyampaikan laporan tertulis kepada Presiden.

 

 

  • Penyusunan kebijakan yang berdampak luas dan lintas sectoral harus melibatkan sekretaris kabinet.

 

 

  • Dilarang mempublikasi perbedaan pendapat kepada publik sampai tercapainya kesepakatan.

 

 

  • Mendagri dan Menkumham harus melakukan tindak lanjut terkait dengan kebijakan pemerintah daerah.

 

 

***