Membaca Makna Pertemuan Presiden Jokowi dengan SBY

Selasa, 31 Oktober 2017 | 18:21 WIB
0
158
Membaca Makna Pertemuan Presiden Jokowi dengan SBY

Tak ada angin, tak ada isu politik yang krusial, apalagi gaswat-dasrurat, tiba-tiba mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menemui Presiden Jokowi di Istana Negara. Tidak ada sama sekali ingar-bingar, apalagi agenda yang terencana secara protokoler kepresidenan sampai kemudian muncul kabar pertemuan empat mata antara Presiden dan Bapak Mantan itu.

Tentu saja masyarakat berhak bertanya-tanya. Jika ada anggapan bahwa itu kelanjutan dari dukungan Partai Demokrat terhadap Undang-undang Ormas tentu berlebihan. Tanpa dukungan "floating party", untuk menunjuk partai yang tidak jelas keberpihakannya, Undang-undang itu tetap akan lolos.

Lepas dari pro-kontra di media maupun masyarakat, Undang-undang ini memang "kumpulan pasal karet" yang kurang efektif jika tujuannya sekedar menangkal HTI, FPI, MUI-GNPF, dan lembaga-lembaga sejenis yang setiap saat bisa bersikap seperti bunglon. Jika mereka lemah akan merajuk, sebaliknya jika pemerintah melemah akan ngelunjak.

Apalagi kalau landasannya tetap sama demokrasi, HAM, kebebasan berserikat, dan sebagainya. Jika meminjam istilah hubungan internasional ini hanya bagian dalam politik deterence untuk sesaat menjaga stabilitas negara dan perdamaian hidup bersama. Ia bukan panasea jangka panjang.

Lalu apa pentingnya pertemuan keduanya?

Beberapa hari sebelumnya, Jokowi telah menolak rencana yang diinisiasi Polri dan ditunggangi secara terbuka oleh DPR untuk membentuk Densus Tipikor. Hal ini berkaitan erat dengan kritik dan tekanan keras yang dilakukan DPR, yang di banyak kalangan dianggap sebagai upaya pelemahan KPK.

Bagi saya, sebenarnya apa yang dilakukan DPR itu baik-baik saja, karena memang selama nyaris 18 tahun KPK berjalan tanpa suatu kritik yang sedemikian keras seperti saat ini.

Sehingga sering disindir, apa yang dilakukan KPK tak lebih sebagai "KPK-tainment", sejenis hiburan untuk sebuah rumah besar perilaku koruptif yang memang menyebar bagai wabah, nyaris di semua sektor eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Baik di sektor militer, swasta, maupun media.

Semua pada dasarnya sama-sama maling, dengan posisi yang tak termaafkan kondisi tebang pilih pada pelakunya. Memang dosa terbesar KPK pada hal ini: ia hanya berhenti pada kebijakan tebang pilih, bahkan pada satu kasus yang nyata-nyata telah tersidik secara utuh dan tersidang secara tuntas. Sebut saja satu kasus yang ditangani KPK yang bisa menjangkau dari pucuk daun hingga ke akar-akarnya. Tidak ada!

Dan selalu saya sampaikan dan ingatkan tanpa lelah, Orde Reformasi di bawah SBY adalah seburuk-buruknya era dalam sejarah pemerintahan NKRI. Di sepuluh tahun masa SBY, sebenarnya adalah masa terbaik untuk melakukan kick back, titik balik untuk menata ulang Indonesia menjadi lebih baik.

Kondisi ekonomi internasional sedang dalam kondisi stabil, harga-harga komoditi ekspor Indonesia pada titik tertinggi. Sehingga semestinya, pemerintah tidak perlu lagi berurusan dengan World Bank, IMF atau ADB.

Periode terbaik untuk menghentikan hubungan menjadi penghutang adalah di masa SBY. Tapi boro-boro hal itu dilakukannya, tapi ia malah berutang lebih banyak. Sebagian untuk membiayai proyek-proyek yang akhirnya mangkrak, sebagian lagi dibagi-bagikankan dengan partai-partai kroninya yang sekarang tak lebih menjadi "benalu" pada partai yang saat ini berkuasa.

Ironinya, di masa periode kedua SBY, adalah masa di mana paling banyak menteri-menteri yang ditangkap oleh KPK. Bahkan Partai Demokrat adalah partai dengan reputasi terburuk sebagai pelaku korupsi yang mencolok mata. Sial bagi partai ini, dimotori oleh Nazaruddin yang sebelumnya Bendahara Umum partai ini, tak pernah takut dan segan menunjuk hidung tentang kemungkinan keterlibatan putranya atau bahkan SBY itu sendiri.

Sikon terkini adalah titik balik buat KPK dan Jokowi. KPK akan naik kelas, mengembalikan reputasinya yang sekedar semenjana dan berada di masa senja. Itu bila ia akhirnya berani menyentuh keluarga Cikeas (entah itu si anak, bapak-nya atau malah sang ibu). Karena ia adalah "hutang tugas negara" yang harus dibayar!

KPK tidak akan dianggap lebih "bernyali" jika kelasnya masih tetap bupati atau gubernur. Sudah tidak ada anehnya lagi. Sedang bagi Jokowi, ujian terpenting dalam dua tahun terakhir masa pemerintahannya, seperti sering disebut banyak pengamat: masalah penegakan hukum!

Seberapa berani ia menyentuh "buku tabu" para presiden terdahulunya. Apakah ia se-nothing to loose sebelum ia menjabat Presiden. Atau akhirnya tak lebih daripada pendahulunya itu, yang terlalu banyak berhitung walau akhirnya tetap salah hitung juga.

Jangan tanya apa kasusnya atau pilihan kasus yang mana? Masak KPK datanya kalah banyak dan detail dibanding saya yang bukan siapa-siapa!

***