Memahami Orang Jawa

Jumat, 27 Oktober 2017 | 15:01 WIB
0
1487
Memahami Orang Jawa

Sesungguhnya orang Jawa (yang sejati) itu termasuk kelompok etnis paling "pesimistik" menatap masa depan. Pesimis di sini bisa dibaca sebagai melihat ketidakpastian hal-hal yang tidak bisa mereka ramalkan, atau sebaliknya mereka bisa meramalkannya, karena itu mereka memiliki sedemikian besar kekhawatiran.

Karena itulah, bagi orangtua umumnya mereka akan selalu membekali tiga hal pokok bagi anak-anaknya secara langsung maupun tidak langsung.

Pertama, aja dumeh. Jangan mentang-mentang, yang daripadanya muncul banyak sekali turunan "jangan" yang lainnya. Aja kagetan (jangan mudah terkejut), aja gumunan (jangan mudah terkagum-kagum), aja getunan (jangan mudan menyesali), aja aleman (jangan suka manja), dan seterusnya dengan variannya masing-masing. Yang intinya hidup harus "hati-hati", yang pada gilirannya malah melahirkan jargon yang paling suka digunakan untuk mengejek orang Jawa: alon-alon waton kelakon (biar lambat asal selamat).

Kedua, eling harus selalu "ingat". Ingat disini arkiannya sangat jembar dan komprehensif, yaitu ke atas ke bawah, ke kanan ke kiri. Ke atas itu rasa hormat kepada para leluhur, orang tua; ke bawah rasa mengasihi kepada anak turun kita. Sebaliknya ke kanan kiri, itu diartikan menghargai tetangga, rekan bekerja, sanak saudara, dan seterusnya.

Lalu di mana letak Tuhan? Di sinilah muncul istilah sedulur papat, lima pancer. Pancer itu ya dirinya sendiri, di mana Tuhan terletak, Tuhan yang diartikan dalam Islam sebagai sedekat urat nadi kita. Apa yang oleh sufisme Jawa dikatakan sebagai Manunggaling Kawula Gusti.

Hubungan yang sedemikian dekat antara Khalik dan Makhluknya. Filosofi yang malah sering disalahartikan sebagai kedekatan hubungan antara raja (atau pemerintah) dan kawula (atau rakyatnya). Salah besar, karena itu selalu berakhir sebagai "penipuan".

Karena itu, saya lebih percaya dalam tradisi Jawa tidak ada ruang riil yang disebut demokrasi modern sebagaimana yang mula-mula diajarkan oleh Aristoteles. Jawa lebih mengenal harmoni, berdasarkan rembugan: musyawarah dan pemufakatan.

Ketiga, waspada. Kalau eling itu lebih mencerminkan (dunia dalam atau yang keren dalam ilmu manajemen disebut visi), maka waspada adalah dunia luar dan misi-nya. Ia menunjukkan cara bersikap dan berperilaku dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat apalagi bernegara. Hal ini terwujud, dalam banyak hal dalam cara berpakaian terutama.

Sebagai orang Jawa-Mataraman, dengan subkultur Jogjakarta, saya pikir pengertian waspada menjadi berlebih-lebihan cara memaknainya. Misalnya mondolan blangkon menonjol di belakang kepala. Untuk apa? Konon kalau marah buat mukul kepala orang (halah!).

Lalu juga keris terselip di belakang kain, sebagian tertutup surjan. Jadi kalau beberapa waktu lalu, ada calon presiden yang main kuda-kudaan di Lapangan Senayan, lalu di pinggangnya terselip keris, itu bisa dianggap fatalisme dilihat dari sisi kultur Jawa. Ia ingin menunjukkan "kewaspadaan sekaligus kegagahan", tapi dengan cara yang menurut saya tidak pada tempatnya. Bagi orang Jawa, itu sebuah pertanda bahwa ia tidak diterima, menjelaskan kenapa akhirnya ia hanya nyaris menang!

Karena itu dalam menyambut Tahun Baru Jawa, tidak ada satu pun tradisi "hura-hura, apalagi hedonisme". Masyarakat Jawa justru akan menuju ke kesunyian dan menjauhkan diri dari segala hal keduniawian. Di Kraton Jogja dikenal "mubeng benteng, tapa mbisu" (berkeliling Kraton sambil menutup mulut).

Bagi yang abangan pergi ke tempat tetirah, hanya untuk berdiam diri, menekuri semua yang telah lewat, sambil bersiap menatap yang akan datang. Pada masa lalu, semua orang Jawa akan menjadi asketis ketika menjelang malam 1 Sura. Ia akan mandi bersih sekali, berpakaian paling baik, tapi hanya untuk diam dan hening.

Menjauhkan diri dari suara dan cahaya. Ia akan mengingat kembali untuk apa ia ada, mensyukuri apa yang telah dimilikinya, dan memaafkan apa yang telah dilewatkannya. Ia sejenak kembali seutuh-utuhnya bersatu dengan Sang Pencipta-Nya.

Selamat Tahun Baru Jawa, 1 Sura 1951 J.

***