Buku Gunungkidulan Yang Ajaib dan Paradoks Dwi Hartanto

Rabu, 25 Oktober 2017 | 03:51 WIB
0
887
Buku Gunungkidulan Yang Ajaib dan Paradoks Dwi Hartanto

Seminggu terakhir Jogja "babak belur" dihajar rasa malu, setelah seorang alumnusnya terbukti pembohong kelas kakap. Seorang bernama Dwi Hartanto, yang (maaf) sebenarnya "hanya" lulusan S1 Institut Sains & Teknologi Akprind, tapi mengaku lulusan S2 Tokyo Institute of Technology, dan bahkannya lagi melanjutkan studi di TU Delft Belanda.

Lebih buruk lagi, ia mendaku terlibat dalam riset teknologi tinggi dengan lembaga-lembaga kelas dunia seperti NASA, ESA, JAXA, intinya ia mencitrakan diri orang super jenius yang oleh pers secara sembrono dijuluki "The Next Habibie". Pers percaya saja ketika ia bercerita turut dalam pengembangan pesawat generasi keenam dan memiliki banyak hak paten.

Dan semua itu bohong belaka: ia di Belanda hanya sekedar terlibat proyek sederhana kelas mahasiswa, tak memiliki satu pun hak paten. Bahkan tidak terlibat dalam proyek prestisius apapun!

Rahasianya terbongkar, tatkala teman-temannya sendiri yang se-Indonesia menjadi risih dan menyangkal semua klaim-klaim yang dilakukan. Dan Indonesia yang kadung besar hatinya tertipu mentah-mentah oleh seorang paranoid. Absurd!

Di sisi bumi lain, di pelosok desa di Gunung Kidul, seorang guru sekolah negeri membuat buku yang sungguh luar biasa. Bagi saya inilah buku terbaik di tahun ini yang pernah dibuat di Jogjakarta, kalau tidak mau dibilang di Indonesia. Ia menjungkirbalikkan semua kaidah perbukuan modern yang selalu berorientasi pasar dan popularitas.

Buku hasil riset panjang tentang budaya di Gunung Kidul ini, bertebal nyaris 800 halaman ukuran besar (25,5 x 18 cm, dengan ketebalan lebih dari 5 cm). Diketik dengan font kecil dan spasi rapat yang bagi orang tua jelas menyusahkan membaca. Dengan design grafis dan ilustrasi visual manis yang saya pikir "sangat hari ini". Tapi dicetak sangat terbatas dan untuk memilikinya cukup mengganti ongkos produksi 100 ribu rupiah. Ya cuma seratus ribu!

Sisi paling dramatiknya, ia hanya mau disebut "wong gunung" tanpa mau menyebut identitas aslinya. Artinya apa? Di luar ia anti publikasi, ia juga anti materialistik, anti pasar, anti identitas, dan seterusnya, tapi sangat menjunjung tinggi kaidah intelektual dan kesaujanaan (karena setiap artikelnya ia tulis sangat cermat, teliti dan hati-hati) dan memiliki nilai tafsir yang sangat mendalam.

Buku Gunungkidulan ini, sejenis ensiklopedi tematis tentang pernak-pernik kehidupan khas manusia Gunung Kidul, yang sekalipun mungkin sama-etnis etnis Jawa, lebih spesifik lagi sesama kultur Jawa Mantaraman Jogja, tetapi secara sangat in-depth menunjukkan pembeda dengan wilayah Jogja lainnya. Karena itulah, ia lebih suka menyebutnya wong gunung.

Bagian yang paling saya suka dari tiap tema yang diangkat, selalu didahului oleh "seratan Jawa" baik itu berasal dari geguritan, bagian tembang, peribahasa, atau kutipan cerita dalam bahasa aslinya. Nyaris semua teks ditulis dengan cara penulisan Jawa yang benar, di mana tidak boros huruf vokal "o" dan "e".

Saya selalu crigis dan riwil setiap kali melihat orang Jawa selalu salah kaprah menuliskan teks bahasa Jawa hanya berdasar cara dan hasil ia mendengar suatu kosa kata diucapkan. Nyaris semua tema yang diangkat memberikan perspektif baru yang membuat saya kembali menjadi amatiran dan merasa new beginner, karena ia berhasil memadukan teori sejarah, bahasa, arkeologi, antropologi, sosiologi, bahkan agama secara sangat pas dan cantik.

Saya hanya bisa bergumam: kok ana ya wong pintere kaya ngene (kok ada ya orang sepinter ini). Sayangnya ketika, saya chatting dan ngajak ketemuan: ia justru bilang sangat minder dan malu. Merasa bahwa karyanya masih sangat dangkal dan memalukan. Ia adalah typical orang Jawa asketis, sisa-sisa sisi baik dan luhur dari masa lalu.

High thinking, plain living. Ia berkebalikan dengan kasus Dwi Hartanto di atas, tong kosong yang omong kosong. Ia menegaskan bahwa dari rahim yang sama, bisa melahirkan manusia yang sama sekali berbeda mutunya. Di luar hari ini lahir buku-buku yang menyedihkan, yang haus sponsor, tergantung proyek, dikemas hanya sekedar kenes tapi isinya blong dan zonk.

Buku Gunungkidulan menunjukkan keteladanan yang elok, yang tetap memberikan spirit bahwa Jogja masih simbol kedalaman, kesungguhan, dan kesederhanaan.

***