Efek Kebablasan Julukan RI-3 untuk Gubernur DKI Jakarta

Senin, 23 Oktober 2017 | 18:03 WIB
0
736
Efek Kebablasan Julukan RI-3 untuk Gubernur DKI Jakarta

Sebenarnya saya malas betul mengomentari seminggu masa jabatan Gubernur DKI Jakarta. Di luar belum menghasilkan prestasi apa-apa, kecuali kehebohan yang tak perlu. Juga pelan-pelan kita mulai sadar bahwa berada pada titik mana kita berada.

Christianto Wibisono, kakak kelas saya di FISIP UI yang sejak Peristiwa Kerusuhan 1998, memilih tinggal di luar negeri untuk menamani hidup anaknya berujar, penggunaan istilah pribumi itu bukan tanpa kesengajaan. Walau tampak sangat tersamar, tapi menyimpan bahaya yang sangat nyata.

Pribumi disini diartikan secara sempit sebagai Islam. Ia sejak hari pertama, telah memberi isyarat bahwa ia menjadi simbol keduanya. Siapa pun yang menentang dirinya berarti menentang pribumi dan Islam. Dan setelah itu, terlihat nyata bagaimana ia berperilaku "seenaknya" baik di jalanan maupun protokoler pemerintahan.

Ada peristiwa sederhana yang luput jadi bahasan publik, tatkala sebelum pelantikan Najwa Shihab mewawancarainya secara khusus. Saya tidak tahu untuk media siapa wawancara itu dilakukan, karena setahu saya ia tidak lagi di Metro TV. Dalam wawancara itu secara sangat sembrono, dikatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta itu ibaratnya adalah RI-3.

Saya tidak tahu apakah itu seloroh, geguyon atau becandaan yang spontan. Tapi setahu saya, baru kali ini saya mendengar ada "metafora-hiperbolik" sengawur itu. Sejak kapan, DKI Jakarta jadi lebih penting dari provinsi lain? Sejak kapan Gubernur lebih tinggi dari Menko atau bahkan Menteri?

Sejak lama saya tidak ngefans dengan Najwa Shihab, bagi saya apa yang dilakukannya selama ini bukan pendidikan politik yang baik dan benar, dia hanya menggunakan isu politik sebagai entertainment dan bahan olok-olok. Keberpihakannnya selalu sumir dan rapuh, bahkan terhadap kebenaran dan kehakikian itu sendiri. Bagi dia semua kawan, tapi juga semua lawan. Saya tidak pernah sama sekali menyesalkan bila akhirnya acara Mata Najwa berakhir. Selesai, ya wis rampung!

Satu peristiwa terakhir, yang mungkin agak lepas dari liputan adalah terkait hubungan Gubernur DKI dan Presiden. Bukan rahasia lagi, bahwa Jokowi dianggap telah membuang, sebut saja "Mr. Gabener". Karena reputasi dan prestasinya selama jadi Mendikbud sangat memprihatinkan, sehingga diberhentikan di seperempat jalan.

Satu-satunya hal baru yang saya catat hanya acara orangtua mengantar anak di hari pertama sekolah. Lainnya apa coba?

Konon, Presiden siap menerima kapan pun menunggu permohonan. Eh, Gubernur bicara nunggu adanya pangggilan Istana. Inilah efek instan dari "labelling" yang diberikan media kepada dirinya. Mungkin hanya hal sepele, tapi bagi si yang dilabeli dan pendukungnya tentu akan mengangkat tinggi ego dirinya. Sesuatu yang memang sangat dibutuhkan untuk memulai lagi agenda-agenda pribadinya yang sempat selama beberapa waktu nyaris tampak terkubur.

Masalahnya sepede itukah dia? Tentu harusnya tidak, mengutip apa yang dikatakan Obama, apa yang dilakukan dirinya dan kelompoknya bukanlah hal elok dan mudah dimaafkan. Pemecah belah warga memang berhak berkuasa sesaat, tapi tidak untuk kursi yang lebih tinggi.

Secara politik, sebenarnya pasangan Gubernur DKI Jakarta yang baru ini tidaklah memiliki akar yang kuat, baik secara sosial maupun politik. Yang satu (hanya) punya nama, yang satu (hanya) modal dana. Cocok untuk ukuran pilkada berbasis politik uang. Keduanya hanya "boneka", yang apapun kelak dilakukannya akan serba salah.

Mengikuti selera pendukungnya akan berhadapan dengan hukum yang seakan mata elang siap menerkam. Bertindak lurus dan normatif, akan dianggap mengkhianati pendukungnya dan berbalik arah akan menjatuhkannya.  Itulah risiko dari kemenangan yang dipaksakan dengan segala cara. Tidak ada pilihan yang lebih baik.

Dan ini baru seminggu, tapi seolah semua sudah menjadi jelas apa yang akan terjadi sebulan atau tidak sampai setahun ke depan.

Apa itu, mari kita tunggu!

***