Bagaimana Seharusnya Menyambut Gubernur Baru Jakarta?

Senin, 16 Oktober 2017 | 08:56 WIB
0
422
Bagaimana Seharusnya Menyambut Gubernur Baru Jakarta?

Kalau saja kita mau repot sedikit belajar sejarah, maka kita tak perlu berlebihan dalam menyambut dilantiknya gubernur dan wakil gubernur baru Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Ini berlaku baik untuk pendukungnya maupun yang bukan.

Sejarah Jakarta itu berlumut dengan berbagai cerita "kemenangan yang dipaksakan", cerita pembusukan yang terjadi setiap kali pergantian kekuasaan. Tidak usah merunut terlalu jauh ke belakang, sampai periode kolonial, cukup berhenti sejak Proklamasi Kemerdekaan ini dicetuskan. Karena, kalau ditarik terlalu jauh: sebenarnya Jakarta (dulu Batavia) semestinya bukan lagi ibukota Indonesia (Saat itu Hindia Belanda).

Kalau saja tidak ada malaise tahun 1930-an dan lalu Perang Dunia II, semestinya ibukota kita adalah Bandung, kota yang lebih adem yang dipersiapkan seindah dan semegah Paris di Eropa. Sayang seribu kali sayang, kota ini pun sekarang salah kelola. Hingga berkembang sama brengseknya dengan Jakarta yang semestinya menjadi ibukota yang ditinggalkan.

Pertama, bagi yang masih suka memperingati 17 Agustus 1945, sebagai Hari Proklamasi secara berlebihan, sebenarnya itu hari yang sangat dipaksakan dan sebenarnya "accidental history". Soekarno menyadarii betul itu dan sebenarnya tidak mau begitu. Tapi, beberapa hari sebelumnya, ia diculik sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Ia dipaksa memerdekakan Indonesia.

Akibatnya, kita tahu proklamasi di tengah perang yang belum benar-benar berakhir itu memunculkan revolusi baru. Sisi-sisi yang tak pernah diungkap secara serius adalah munculnya bandit-bandit kota yang mendaku diri sebagai para pejuang. Tak jelas lagi mana pejuang mana preman mana, begal mana tentara. Ini diperburuk dengan sistem politik yang sama sekali belum matang, apalagi infrastruktur ekonomi yang nyaris nol besar.

Akibatnya lagi, kita tahu melewati 10 tahun omong kosong, untuk menata diri secara internal maupun menempatkan diri dalam pergaulan internasional. Baru di tahu 1955, kita diselamatkan oleh Konferensi Asia Afrika di Bandung. Itupun hanya untuk bilang kita Non-Blok dan tidak berpihak kemana-mana. Dan Jakarta adalah kota yang lebih tunggang langgang dengan monumen-monumen baru penuh semangat keangkuhan dan inferioritas.

Kedua, saat terjadi pemberontakan galau G 30 S PKI yang sampai kini tidak jelas siapa dalang sesungguhnya itu. Jakarta adalah konseptor "pembantaian jutaan manusia" di daerah lain. Ia menjadi dalang kasat mata, penangkapan puluhan ribuan orang cerdik pandai tak bersalah. Dan peng-eksil-an ribuan calon intelektual yang sedang studi di luar negeri yang akhirnya hilang tertelan jaman.

Artinya, kesempatan untuk membangun ulang ini kembali cacat karena mengabaikan kebersamaan. Dan lalu kita memasuki era yang kita anggap sebagai "pembangunan nasional" selama 32 tahun. Padahal tak lebih sebuah masa di mana Jakarta menjadi segala-galanya. Indonesia dianggap hanya sebagai bagian dari padanya, dibangun tapi tidak dimajukan.

Segala sikap kritis dianggap sebagai permusuhan, akibatnya terjadi ketimpangan pusat dan daerah yang makin parah. Daerah hanya menjadi satelit yang bisa dihisap untuk memenuhi kebutuhan pusat. Akibatnya, lagi-lagi sama dengan Orde Lama: Jakarta tumbuh menjadi kota terbuka, tanpa kendali, dan mengabaikan tata ruangnya.

Orang melihat Jakarta sekedar sebagai uang, uang dan uang. Akibatnya KKN merajalela, dan berakhir dengan penumbangan rezim Soeharto secara tragis. Ia tumbang oleh "anak-anak kandung"-nya sendiri yang justru di pundaknya ditumpukan ribuan harapan.

Ketiga, saat reformasi bergulir. Dan inilah periodisasi tipu daya yang lebih besar omong kosongnya. KKN yang sebelumnya hanya berkutat di lingkaran partai, keluarga, dan kelompok tertentu akhirnya menjadi wabah yang nyaris tanpa kendali.

Muncul dinasti raja-raja kecil di nyaris semua daerah. Jakarta yang semestinya menjadi pusat koreksi, namun justru menjadi contoh buruk dan lebih buruk lagi dipakai sebagai pembenaran perilaku korup itu. Selama 14 tahun sejak 1998 hingga 2012, Jakarta kembali gagal menjadi inspirasi dalam banyak hal. Hingga muncul pasangan Jokowi dan Ahok.

[caption id="attachment_3299" align="alignleft" width="521"] Foto: Facebook[/caption]

Selama hanya dua tahun, tiba-tiba Jakarta memberi harapan baru yang bukan hanya milik Jakarta tetapi juga Indonesia. Jokowi orang "impor" dari daerah ini, seolah memberi nafas baru baru bahwa tidak hanya Jakarta, tetapi juga Indonesia bisa ditata ulang untuk jadi lebih baik. Akibatnya, ia hanya dua tahun bertahan di Jakarta untuk akhirnya diangkut ke ruang lingkup yang ribuan lebih besar ukurannya dibanding Jakarta, yaitu Indonesia.

Jakarta limbung? Tidak! Ada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ternyata tidak kalah baiknya. Sayang akhirnya ia harus tumbang oleh suatu semangat sektarianisme. Ia harus kalah oleh politik yang "diseting" sedemikian rupa oleh sekelompok orang yang di otaknya hanya ada kehausan kekuasaan dan kelindan kebencian!

Lalu tiba-tiba kita dipaksa untuk "move-on" untuk mendukung pasangan "pemenang semu" yang dipaksakan ini. Masalahnya bukan move on atau tidak! Persoalannya kita tidak mau belajar dari sejarah, bahwa kemenangan yang dipaksakan tidak akan pernah menghasilkan suatu perubahan baik yang benar-benar hakiki.

Apa yang bisa diharapkan pada orang-orang yang rela "menginjak kepala, menghinakannya, dan terakhir memenjarakannya"? Ia bisa saja merasa legal secara konstitusional. Tapi jangan lupa ia membawa cacat moral, bom waktu baru yang setiap saat meledakkan dirinya sendiri.

Senin sore  ini ia akan dilantik, hanya untuk sekedar mengisi kekosongan jabatan, hanya sekedar itu. Berhentilah berharap, tetaplah bahagia. Sebagaimana kredo besar dalam mural ini: Teruslah bekerja, jangan berharap pada negara!

***