Saya tentu saja bukan fans-nya Gatot Nurmantyo (GN), sedikit pun tidak. Saya harus minta maaf, kalau harus membuat analisa mulai dari perangai wajah (bahasa Jawa halusnya: pasuryan). Selayaknya ia, berhenti jadi Pangkostrad karena terlalu galak dan kurang bersahabat di era milineal di mana roman muka jadi ukuran penting bersosialisasi dan keberhasilan komunikasi di berbagai media.
Ia tampak kaku, tapi bukan tegas. Ketegasan sikap tidak perlu wajah yang galak. Karena itu menurut perhitungan pasuryan Jawa, figur seperti ini akan selalu nggriseni (dari kata risi, artinya bikin risi) atasannya. Suka atau tidak suka, manuver-nya dalam sebulan terakhir, menunjukkan hal tersebut.
Ketika ia bilang, saat mengkomando pemutaran film Pengkhianatan G 30 S PKI: "Ini perintah saya. Kamu mau apa?" Semalam saking risi-nya, Jokowi menjawab secara tidak langsung: "Saya adalah Panglima Tertinggi". Persis di hadapan langsung GN. Lalu apa masalah GN sebenarnya?
Menurut saya ada dua hal pokok: Pertama, dari sisi pikiran baik. Ia over responsibility, merasa terlalu bertanggung jawab. Siapa pun yang pada kondisi seperti ini, mudah berperilaku melewati batas kewenangannya. Ia lupa, bahwa di atasnya masih ada Jendral Wiranto, Menko Polhukam yang merupakan seniornya di TNI AD.
Dalam kasus kebocoran pembicaraan tentang masuknya 5.000 senjata, bagaimanapun ia "salah total". Bukan saja info yang ia dapat salah, tetapi omongannya sampai bocor juga tetap salah. Ia bukan saja tidak sensitif terhadap orang-orang yang dia ajak omong (emangnya semua loyalis-nya), tetapi juga hal yang lebih mendasar: tidak perlu.
Dalam banyak kasus yang bersifat intelijen, semua bisa selesai terutama karena justru dijauhkan dari media. Akibatnya, sulit dipungkuri bahwa tuduhan GN cari panggung menjelang 2019. Walau menurut saya, hal ini juga berlebihan.
Hanya SBY, jendral yang memiliki bakat acting dan playing victims yang baik. Setelah itu, model-model selanjutnya akan mudah jatuh dicurigai sejak awal.
Kedua, dari pikiran negatif. GN telah masuk jebakan dari orang-orang yang bermaksud buruk. Sumbernya bisa siapa saja, tapi ujungnya adalah membuat citra buruk dari Presiden Jokowi. Skenario ini ditujukan untuk menunjukkan ketidakkompakan di lingkungan pemerintahan, buruknya koordinasi, dan seterusnya.
Berbagai manuver disediakan untuk ini, selain dua kasus di atas tentu saja: undangan dari Panglima dan ketiga staf angkatan untuk menonton wayang bersama. Jelas hal ini "super absurd", ketika ia memerintahkan publik menonton film, ia malah ngajak Presiden wayangan.
Suka atau tidak suka, pertunjukan tradisional apapun itu (wayang, ketoprak, ludruk, dst.) itu di masa lalau khususnya era 1960-an identik dengan gerakan Lekra yang menjadi onderbouw PKI. Saya pikir, Jokowi cukup sensitif, apalagi lakon yang dibawakan berjudul Parikesit Jumeneng Nata. Fatal dan mencolok mata sekali bagi orang Jawa.
Tanya kenapa? Parikesit adalah cucu Arjuna, anaknya Abimanyu yang duluan gugur. Ia ksatria dari Hastinapura, pewaris pemenang dari perang Baratayuda. Tapi alih-alih menikmati kemenangannya, Arjuna dan keempat saudaranya Pandawa Lima memilih "jalan sunyi", menyingkir dan mendaki jalan terjal ke Swargaloka. Artinya? Setelah lima tahun periode kosong kepemimpinan militer, harusnya militer lagi yang berkuasa!
Untunglah Jokowi cukup cerdas, ia memilih menonton film Pengkhinatan G 30 S PKI bersama para prajurit di Korem sekitar Istana Bogor. Hingga GN menyusul Jokowi, balik kucing ikutan nonton film. Blunder ke sekian: karena ia tak ubahnya "kaum sinistik" yang menggunakan isu nanggap wayang sekedar alat bermain politik.
Sekali lagi, saya bukan fans GN, sekalipun beberapa kali dalam tulisan saya seolah "membelai dia". Saya hanya tidak ingin Jokowi tambah banyak musuhnya, karena itu yang dikehendaki the outsider dengan "proxy-war"-nya.
Saya masih percaya banyak orang baik di lingkungan militer: Agus Wijoyo salah satunya, ia semua bipolar, walikan di sisi sebelah bila dibanding GN.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews