The Joker of The Year

Minggu, 24 September 2017 | 06:51 WIB
0
305
The Joker of The Year

Walau akhirnya dilengserkan dari jabatan petinggi sebuah Pansus Hak Angket di DPR, namun publik akan selalu terkenang dengan adegan dramatis tapi sangat karikaturis. Seorang wakil rakyat datang ke KPK membawa koper dan minta ditangkap. Tak ada angin tak ada badai, tiba-tiba ia minta ditangkap, apalagi pendapat publik kalau bukan sekedar "cari sensasi, cari panggung, cari perhatian". Intinya cari-cari apa sajalah.

Inilah wajah anggota parlemen, produk angkatan 1998, yang selalu terbayang-bayang ilusi masa lalunya adalah para pahlawan dan pejuang reformasi. Mereka ini adalah politikus yang terdidik dengan kultur jalanan, merasa diri menjadi peneriak suara rakyat, walau sebenarnya tak lebih meneriakkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

Marilah kita dedah situasi 1998 dulu! Benarkah mereka para pejuang sejati? Kalau benar mereka pejuang, siapa musuh mereka dan situasi apa yang mereka lawan?

Musuh utama mereka kalau boleh dipersempit adalah seorang Presiden tua, yang sudah lelah memerintah dan nyaris tidak memiliki lagi semangat karena ditinggal istrinya. Sedang situasi saat itu adalah krisis moneter global yang sangat parah, yang bukan saja melulu disebabkan utang menumpuk, KKN yang parah, tetapi juga yang paling utama adalah permainan mata uang yang dilakukan para spekulan dunia.

Perlu dicatat, Indonesia bukanlah negara pertama yang jatuh, Malaysia, Thailand, dan beberapa negara Asia lainnya yang secara moneter mulanya lebih stabil lebih dahulu jatuh. Dan Indonesia termasuk yang terakhir. Artinya apa? Sebenarnya tanpa didorong paksa pun, rezim Orde Baru dengan sendirinya memang harus berakhir.

Di sinilah, muncul suatu generasi baru politikus yang lahir dari semangat yang sama "omong kosong"-nya, yang sekarang setiap hari muncul di media massa.

Mereka yang dulu, berteriak sebagai pejuang anti-KKN, sekarang satu persatu tak lebih sebagai penikmat korupsi, pelaku kolusi yang justru sangat berwatak nepotis. Mereka tersebar di berbagai partai yang berbeda, tetapi terkait dengan praktik KKN mereka satu suara.

KPK yang sebenarnya belum lagi jadi lembaga yang utuh dan kukuh, digoyang di setiap periodenya nyaris tanpa jeda. Hal ini menunjukkan satu hal: semua partai itu tanpa kecuali, hanya bisa hidup dengan uang negara. Tak satu pun partai yang keuangannya menunjukkan ciri kuat partai modern yang transparan, akuntabel dan berbasis iuran anggotanya. Kalau pun ada iuran itu hasil korupsi dan setoran dari para legislatornya.

Alasan ekonomi biaya tinggi dalam politik menjadi alasan usang untuk terus korupsi, sambil mereka terus saja bersikap ilusif mereka adalah pahlawan dan wakil rakyat.

Sebenarnya, terkait dengan posisinya sebagai anggota Parlemen saya tak habis pikir bagaimana mungkin orang yang pernah terlibat dalam kasus kekerasan gender, memukul perempuan yang didaku sebagai asistennya di tempat peristirahatan, yang sama sekali bukan domain tempatnya bekerja, masih memiliki nilai validitas dan kredit kepercayaan publik.

Secara moral hazard, apapun temuannya tentang keburukan KPK yang katanya berkoper-koper itu, kalaupun bisa melemahkan atau menutup KPK, tak akan pernah membuatnya dikenang. Memorable saja tidak, apalagi honorable. Apalagi kalau ternyata tekanan itu justru membuat KPK semakin solid dan keras.

Ia untuk disebut dagelan saja terlalu baik, karena seorang pendagel adalah seniman kreatif yang inspiratif. Ia tak lebih seorang joker:  The Joker of Year!

***