Walau akhirnya dilengserkan dari jabatan petinggi sebuah Pansus Hak Angket di DPR, namun publik akan selalu terkenang dengan adegan dramatis tapi sangat karikaturis. Seorang wakil rakyat datang ke KPK membawa koper dan minta ditangkap. Tak ada angin tak ada badai, tiba-tiba ia minta ditangkap, apalagi pendapat publik kalau bukan sekedar "cari sensasi, cari panggung, cari perhatian". Intinya cari-cari apa sajalah.
Inilah wajah anggota parlemen, produk angkatan 1998, yang selalu terbayang-bayang ilusi masa lalunya adalah para pahlawan dan pejuang reformasi. Mereka ini adalah politikus yang terdidik dengan kultur jalanan, merasa diri menjadi peneriak suara rakyat, walau sebenarnya tak lebih meneriakkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
Marilah kita dedah situasi 1998 dulu! Benarkah mereka para pejuang sejati? Kalau benar mereka pejuang, siapa musuh mereka dan situasi apa yang mereka lawan?
Musuh utama mereka kalau boleh dipersempit adalah seorang Presiden tua, yang sudah lelah memerintah dan nyaris tidak memiliki lagi semangat karena ditinggal istrinya. Sedang situasi saat itu adalah krisis moneter global yang sangat parah, yang bukan saja melulu disebabkan utang menumpuk, KKN yang parah, tetapi juga yang paling utama adalah permainan mata uang yang dilakukan para spekulan dunia.
Perlu dicatat, Indonesia bukanlah negara pertama yang jatuh, Malaysia, Thailand, dan beberapa negara Asia lainnya yang secara moneter mulanya lebih stabil lebih dahulu jatuh. Dan Indonesia termasuk yang terakhir. Artinya apa? Sebenarnya tanpa didorong paksa pun, rezim Orde Baru dengan sendirinya memang harus berakhir.
Di sinilah, muncul suatu generasi baru politikus yang lahir dari semangat yang sama "omong kosong"-nya, yang sekarang setiap hari muncul di media massa.
Mereka yang dulu, berteriak sebagai pejuang anti-KKN, sekarang satu persatu tak lebih sebagai penikmat korupsi, pelaku kolusi yang justru sangat berwatak nepotis. Mereka tersebar di berbagai partai yang berbeda, tetapi terkait dengan praktik KKN mereka satu suara.
KPK yang sebenarnya belum lagi jadi lembaga yang utuh dan kukuh, digoyang di setiap periodenya nyaris tanpa jeda. Hal ini menunjukkan satu hal: semua partai itu tanpa kecuali, hanya bisa hidup dengan uang negara. Tak satu pun partai yang keuangannya menunjukkan ciri kuat partai modern yang transparan, akuntabel dan berbasis iuran anggotanya. Kalau pun ada iuran itu hasil korupsi dan setoran dari para legislatornya.
Alasan ekonomi biaya tinggi dalam politik menjadi alasan usang untuk terus korupsi, sambil mereka terus saja bersikap ilusif mereka adalah pahlawan dan wakil rakyat.
Sebenarnya, terkait dengan posisinya sebagai anggota Parlemen saya tak habis pikir bagaimana mungkin orang yang pernah terlibat dalam kasus kekerasan gender, memukul perempuan yang didaku sebagai asistennya di tempat peristirahatan, yang sama sekali bukan domain tempatnya bekerja, masih memiliki nilai validitas dan kredit kepercayaan publik.
Secara moral hazard, apapun temuannya tentang keburukan KPK yang katanya berkoper-koper itu, kalaupun bisa melemahkan atau menutup KPK, tak akan pernah membuatnya dikenang. Memorable saja tidak, apalagi honorable. Apalagi kalau ternyata tekanan itu justru membuat KPK semakin solid dan keras.
Ia untuk disebut dagelan saja terlalu baik, karena seorang pendagel adalah seniman kreatif yang inspiratif. Ia tak lebih seorang joker: The Joker of Year!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews