Indepreneur Pintar Memanfaatkan Internet, Indipreneur Tidak Selalu

Minggu, 10 September 2017 | 19:49 WIB
0
461
Indepreneur Pintar Memanfaatkan Internet, Indipreneur Tidak Selalu

Pertengahan Desember 2013 saya terikat janji untuk sebuah wawancara dengan Sacha Stevenson di sebuah kedai kopi di bilangan Kemang. Saya berniat menulis sosok perempuan Kanada yang fasih berbahasa Indonesia ini untuk Harian Kompas setelah saya tertarik akting parodinya di Youtube berjudul “How to Act Indonesian”.

Fokus tulisan saya saat itu tentu saja tentang sosok pribadi seorang Sacha dengan akting solonya yang lebih menyerupai monolog dalam berbagai sekuel itu. Juga tentang kelucuan bernada paradoks dan bahkan satir prilaku orang-orang Indonesia di matanya selaku “bule”. Caranya dengan membuat vusialisasi opininya ke dalam video lucu yang diproduksinya. Hasilnya lucu, kendati terasa nyelekit bagi sebagian orang Indonesia yang menontonnya.

Atas kreativitasnya itu, Sacha meraup dollar dari Youtube yang memasangi iklan Google Adsense di video-video produksinya. Ketika iklan di videonya diklik pengguna, maka dari situlah sumber dollar mengalir. Jumlahnya lumayan besar, tergantung berapa banyak pengunjung yang menonton videonya. Semakin banyak yang ngeklik, makin banyak Sacha meraup dollar, meski soal jumlah ia tidak bersedia mengungkapkannya.

[caption id="attachment_3053" align="alignleft" width="586"] Sacha Stevenson (Foto: Kapanlagi.com)[/caption]

Belakangan saya baru tersadar, bahwa apa yang dilakukan Sacha itu sekarang sedang hangat-hangatnya dibicarakan di dunia internet dengan topik “Indepreneur”. Ya, Sacha adalah seorang Indepreneur di dunia internet.

Sacha tidak sendirian. Di belahan dunia lainnya tercatat nama Michele Phan, gadis blasteran AS-Vietnam yang meraup miliaran rupiah hanya dengan memberi tutorial gratis di Youtube tentang bagaimana merawat kecantikan, merias wajah, sampai mengenakan busana. Juga ada nama Eric Latendre yang memberi tips bagaimana melatih anjing yang baik dan benar. Juga di Youtube. Apa gerangan Indepreneur?

Indepreneur merupakan gabungan dua kata; independent dan entrepreneur, makna Indepreneur kira-kira orang atau seseorang yang mengelola bisnis secara mandiri, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), dan tidak bergantung kepada orang lain.

Orang lain di sini adalah pemilik modal, si empunya perusahaan, atau kasarnya majikan. Ia adalah gabungan dari karyawan, pemilik modal sekaligus perusahaan, yang ada pada dirinya sendiri. Inilah kenyataan sekaligus peluang baru setelah lahirnya internet; Indepreneur.

Saya teringat buku Thomas L. Friedman The World Is Flat (2005) yang saya baca beberapa tahun silam yang menggambarkan, setiap orang dari pelosok manapun di Bumi ini memiliki kesempatan sukses yang sama asal mampu mengakses internet. Sedikit banyak buku ini memprediksi –meski bukan itu yang dimaksud— bakal lahirnya para Indepreneur yang lebih mengglobal. Indonesia pun tinggal tunggu waktu tsunami Indepreneur ini, kalau tidak mau dikatakan banjirnya pun sekarang sudah dirasakan.

Sudah menjadi rahasia umum, adalah internet yang membuat nobody menjadi somebody, mengubah no-one menjadi someone. Di sisi lain, internet sudah menjadi musuh sejumlah industri raksasa mainstream di segala bidang; film, musik, media, toko, mal, dan lain-lain. Orang-orang biasa yang bukan siapa-siapa dengan semangat mandirinya dalam berusaha (Indepreneur) menguasai internet dengan sejumlah kemudahan serta keunikan yang ditawarkannya.

Memanfaatkan Internet

Sudah dapat dipastikan, Indepreneur adalah orang-orang kreatif yang penuh inovasi, yang melihat peluang terbuka di internet dengan mencoba-coba usaha swadiri yang bahkan sering tanpa modal alias modal dengkul. Kalaupun ada modal yang harus dikeluarkan, bukanlah modal besar yang jumlahnya miliaran rupiah. Modal Indepreneur adalah berjejaring di internet dengan memanfaatkan booming media sosial yang murah-meriah.

Maka muncullah toko-toko virtual di grup atau fanspage Facebook yang benar-benar digarap oleh perorangan. Juga semakin banyaknya situs toko online yang penggunanya boleh menaruh barang dagangan yang ditawarkannya. Bukan hanya barang, juga jasa. Semisal jasa penerjemahan, privat bahasa asing, sampai jasa refleksi (pijit) telapak kaki.

Seseorang yang tidak punya kamar hotel atau kos-kostan untuk dikontrakkan bisa meraup persentasi dengan bekerjasama dengan si pemilik properti, sementara ia menawarkan dan memasarkan properti untuk disewakan itu di AirBNB, misalnya.

Go Jek untuk memudahkan warga menumpang ojek di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, juga Uber untuk penyewaan taksi, dilandasi oleh semangat Indepreneur ini. Mereka ada ketika melihat peluang usaha melalui internet. Umumnya mereka menciptakan aplikasi di berbagai platform internet mobile seperti Android yang paling populer. Setelah semakin dikenal, maka peluang usaha barupun tercipta. Perorangan yang bertransaksi secara digital di online semakin bertumbuh seiring dengan lahirnya para Indepreneur ini.

[caption id="attachment_3054" align="alignright" width="460"]

Fareed Zakaria (Foto: CNN.com)[/caption]

Perbincangan hangat mengenai Indepreneur dipicu pernyataan Fareed Zakaria, seorang kolumnis yang banyak mengupas persoalan politik dan ekonomi global, saat mengupas perekonomian AS di jaringan televisi CNN. Zakaria mengatakan dengan nada tanya seperti ini; “Jika benar perekonomian bertumbuh, mengapa kita (AS) tidak melihat adanya lapangan kerja untuk kelas menengah?”

Jim Selman, CEO Paracomm Partners International di blog Huffington Post menanggapi “keheranan” Zakaria dengan mengatakan bahwa pertanyaan Zakaria sebagai suatu hal yang wajar. Namun menurut Selman, bisnis sekarang sama sekali tidak tertarik menciptakan lapangan pekerjaan. “Bahkan bila memungkinkan justru menghilangkannya,” katanya. Celaka!

Pendapat Selman ini terkesan aneh dan bertolak-belakang; bagaimana mungkin kegiatan bisnis justru melenyapkan banyak lapangan pekerjaan? Bukankah galibnya bisnis melahirkan lapangan pekerjaan!? Inilah yang kemudian memunculkan diskusi mengenai lahirnya gerakan diam tapi masif para Indepreneur yang tidak terbatas usia, profesi, dan bahkan kedudukan. Ini kenyataan baru di dunia internet.

Untuk memperkuat argumen, Selman menunjukkan bukti mengenai kebiasaan orang-orang masa kini yang sangat mengurangi interaktivitas dengan orang lain (baca petugas atau karyawan) dan lebih memilih berinteraksi dengan berbagai aplikasi. Contoh; sekarang orang lebih suka melalukan reservasi penerbangan hanya melalui aplikasi, bahkan sampai ke pemesanan seat pesawat dan sama sekali tidak bersentuhan atau berhubungan dengan manusia.

Juga untuk pertolongan pertama saat terserang flu berat, orang lebih sering bertanya kepada Paman Google sebelum pergi berobat. Tidak jauh berbeda saat orang memesan ojek melalui Go Jek atau pesan taksi melalui Uber, semua tanpa bersentuhan dengan orang lain, bukan? Pembelian melalui toko online sudah mewabah dan si pemesan tidak perlu pelayan untuk barang yang diinginkan.

Bedanya dengan Indipreneur?

Secara tidak langsung inilah hasil kerja para Indepreneur, yakni para entrepeneur mandiri yang menciptakan lapangan pekerjaan untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Mereka tidak berpikir menciptakan lapangan kerja jika semua hal dapat mereka lakukan sendiri melalui internet.

Mereka umumnya datang dari kelas menengah atau setidak-tidaknya terbiasa mengakses internet. Masuk golongan ini adalah pelaku start-up alias bisnis rintisan dengan pekerjaan utama membuat aplikasi.

Apakah ada perbedaan antara Indepreneur dan Indipreneur?

Indipreneur merupakan gabungan kata indie dan entrepreneur. “Indie” yang juga bermakna independent memposisikan diri sebagai lawan dengan mainstream, yakni perusahaan besar. Katakanlah indie music atau indie film yang memroduksi musik/film secara mandiri, tanpa tergantung pada perusahaan rekaman atau film. Namun, penggiat Indipreneur tidak bisa bekerja sendiri seperti Indepreneur.

Di Indonesia, Indipreneur diartikan sebagai Usaha Kecil Menengah (UKM) yang bukan perusahaan besar. Namun demikian, sebagaima indie music/film, UKM biasanya tidak bisa digarap sendirian, tetapi oleh beberapa orang atau kelompok dengan skala usaha yang masih kecil. Para penggiat Indipreneur ini juga tidak terlalu tergantung kepada internet –bahkan tidak harus berinternet— sebagaimana Indepreneur.

Akan tetapi, para perusahaan besar tidak terlalu mencemaskan kehadiraan Indipreneur karena umumnya tidak akan bisa melawan perusahaan raksasa secara finansial maupun modal. Berbeda dengan para Indepreneur yang notabene adalah orang-perorangan bermodalkan “hanya” semangat dan inovasi, para pengusaha raksasa mainstream layak ketar-ketir. Wajar, agresivitas mereka bisa jadi akan menggerus pasar potensial.

Ini soal keunikan marketing dan kecepatan layanan sekaligus, yang ternyata bisa dilakukan dengan antusias serta penuh dedikasi oleh para Indepreneur.

***